Cinta Sama Dengan Nol (18)

Fiksiana, Novel22 Dilihat

Jambo

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

Selepas shalat subuh Asty sibuk berkemas-kemas. Ia memakai pakaian olahraga. Memasukkan makanan, minuman dan perlengkapan shalat ke dalam tas. Asty dan dua belas siswanya akan mendaki ke bukit belakang sekolah. Asty sangat bersemangat karena ini adalah pendakian pertamanya. Kata orang, belum keren kalau belum mendaki gunung. Walau ini baru bukit sih. Tidak setinggi gunung. Tapi tak apalah, pengalaman adalah guru yang berharga.

Sebenarnya mendaki bukit ini adalah ide Miza. Ia ingin memperlihatkan kebunnya.Tak berapa lama, motor Miza terdengar dari depan rumah. Asty segera berangkat dengan sebelumnya menyalami Pak Bahar dan Bu Juli.

“Fia ikut Kak ya?” Fia merajuk sejak semalam. Asty hanya bisa menggelengkan kepala karena Fia tidak dapat izin dari Pak Bahar maupun Bu Juli.

“Yang lain sudah kumpul semua Miza?”

“Sudah Bu,”

“Kita parkir di sekolah ya?”

“Ya Bu,”

Miza menjawab pendek-pendek saja. Anak ini benar-benar pendiam.

“Oke, let’s go!”

Miza mengendarai sepeda motor lambat-lambat. Sesekali ia melihat ke arah spion.

“Ada bawa bekalkan Miza?” “Ada Bu”

“Mana?”

“Di tas Dani Bu,”

“Hmmm ya lah.” Asty mengakhiri pembicaraan karena sepertinya Miza memang tidak suka bersuara

 Semua anak sudah tiba di sekolah. Mereka penuh gaya dan cukup segar. Beda dengan ketika jam sekolah.

“Oke, bekalnya ada kan?”

“Ada Bu,”

“Kalau begitu aman. Kalian juga sudah SMA, gak perlu Ibu ingatkan lagi.”

“Kalau lelah, pusing atau sakit langsung lapor Ibu ya. Biar kita selamat pergi pulang, ayo kita berdoa dulu.” Asty memberi instruksi.

Kini mereka siap mendaki. Anak-anak berjalan dengan cepat dan tangkas. Awalnya Asty bisa mengikuti langkah mereka. Namun lama kelamaan Asty kewalahan. Ia merasa sangat lelah. Asty mengajak anak-anak berhenti.

“Katanya bilang sama ibu kalau kami lelah atau pusing, nyatanya ibu yang lelah duluan.” Rasyid menertawakan Asty. Begitupun dengan siswa yang lain. Asty jadi malu sendiri.

Selama perjalanan Asty seringkali berhenti. Beda dengan siswanya. “Wah…kalian kok kuat sekali?” nafas Asty ngos-ngosan.

“Udah biasa Bu. Kami pulang sekolah biasanya ke kebun yang letaknya di atas bukit,” Aris menjelaskan.

“Sejauh ini?” Asty tercengang.

“Iya Bu, kan kata Ibu kalau terus diulang-ulang akan terbiasa, hehe,” Aris tertawa.

“Iya juga ya. Sekarang Ibu yang belajar dari kalian.”

Walau lelah, Asty menikmati perjalanan itu. Pohon pala berjejer dengan rapi. Semakin tinggi, pemandangan di bawah semakin indah. Rumah-rumah tampak seperti kotak-kotak kecil.

Di perjalanan, mereka bertemu pondok-pondok kecil yang dinamakan jambo. Tempat pemilik kebun beristirahat. Di setiap jambo ada kuali dan tungku untuk memasak serta selang-selang yang mengalirkan air dari puncak bukit. Air tersebut digunakan untuk memasak dan berwudhu.

“Itu jamboku Bu,” Miza menunjuk jambonya. Mereka beristirahat di sana. Miza memperbolehkan teman-temannya mengambil buah pala yang sudah besar di pohonnya.

“Ambil saja, tak apa-apa,” kata Miza.

“Lo, buat apa ya? Kalian mau masak apa? Jangan diambil, nanti orang tua Miza marah.” Asty menasehati anak-anak.

“Gak apa-apa Bu. Dari sini ke sini semuanya pala Miza Bu, buahnya banyak.” Miza menunjuk batas-batas kebunnya.

Anak-anak mengambil dengan riang. Zia lantas mengeluarkan pisau dari tasnya. Ia membuka kulit pala dan melahapnya seperti memakan buah apel.

“Ya Allah, kalian makan pala seperti itu?” Asty terperangah.

“Memang seperti ini enak Bu. Apalagi tambah cabe dan garam. Enak Bu, cobalah.” Zia memberikan satu buah pala dan pisau kepada Asty.

“Asty menirukan cara makan Zia. “Week, Asty memuntahkannya. Rasa yang asing. Sepet campur pedas. Rasa yang mengejutkan di lidah. Melihat itu anak-anak tertawa.

“Karena gak biasa tuh Bu,”

“Iya, itu kan buat bumbu masak. Kalian ada-ada saja,”

“Kan lain lubuk lain ikannya Bu. Lain daerah lain kebiasaannya,” Miza menjadi banyak bicara.

“Wah berarti Bu Asty harus menambah dream listnya biar jago mendaki dan makan pala.” Jefri dan yang lain tertawa.

Tinggalkan Balasan