Tidak (Bagian Dua)
Penulis : Santi Syafiana, S.Pd
Asty merasa hati Doni sedang ditabur bunga-bunga. Ia benar-benar sedang jatuh cinta. Lalu tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Ia membaca-baca lagi history chatting-nya dengan Doni barusan. Sibuk menerka-nerka bagaimana skenario sesungguhnya. Kenapa Doni merahasiakannya dari Nina. Bukankah selama ini tidak ada rahasia di antara laskar propana. Lalu kenapa Doni pergi begitu saja setelah mengatakan ini bukan waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Apa mungkin dia terlalu menjiwai perasaannya setelah mendengar kata tidak berkali-kali. Ini kan hanya pelajaran. Apa mungkin?
Asty terperanjat. Ia berdiri dengan wajah tegang. Sebuah jawaban atas pemikiran yang dirasa tepat mencuat begitu saja dari kepalanya yang katanya selalu encer itu. Ia mendekati cermin. Mematut-matut dirinya dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba lemari, kursi, meja dan buku-buku di kamar itu berubah menjadi pink semua. Oksigen yang dihirup mengeluarkan aroma mawar merah muda. Sebingkai asa yang datang berpilin-pilin tiba-tiba menari-nari dan merangkai gerakan berbentuk hati.
Asty masih mematung namun imajinasinya sudah sampai ke Pluto, planet terjauh dari matahari. Ia sedang meneriakkan aku bahagia sebanyak tiga kali. Tidak kusangka, dayung ini bersambut. Padahal aku siap menyimpannya lebih lama lagi. Syukurnya lamat-lamat dalam riuh gelombang debaran jantungnya.
“Ty, Ty…kamu kok kayak orang kesambet, What’s going on? Ada laron? Mana? Mana?” Ternyata Nina sudah berada di sampingnya. Menggoyang-goyang tubuh Asty yang seperti kerasukan arwah. Konsentrasinya pecah setelah melihat tiba-tiba Asty berdiri dengan semangat ke depan cermin. Padahal sejak zaman ketumbar dulu sudah dia wanti-wanti melakukan itu. Kok sekarang tiada badai tiada hujan, dia malah bergaya di sana secara sukarela ya. Apa dia baru sadar bahwa semua yang dikatakan si cantik Nina ini ada benarnya?
“Hahaha, kamu bisa keganggu juga rupanya. Katanya berlian jatuh pun tidak akan mengalihkan duniamu. Apa aku lebih berharga dibanding berlian itu?” Asty tertawa riang untuk menutupi malu. Tidak menyangka jalan-jalannya ke planet Pluto barusan dapat mengganggu Nina.
“Ih, apaan sih. Aku sudah selesai bacanya. Sambung besok. Tidur yuk. Matikan lampu. Besok kita harus bangun sebelum subuh.” Nina mesem-mesem tidak karuan. Lalu jalan menuju stop kontak. Clek. Lampu dimatikan.
Asty mematikan laptopnya. Membaringkannya baik-baik di atas kasur samping bantal tempat kepala. Penuh kehati-hatian. Seolah ingin menjaga sebaik- baiknya percakapan ia dan Doni barusan, di kepala dan hatinya.
***
Waktu menunjukkan pukul 03.00 dini hari
Nada dering handphone Asty berbunyi nyaring. Dia lupa mengatur nadanya menjadi silent. Asty terbangun. Ia memang tipe anak yang mudah bangun hanya karena suara maupun getar. Duh, siapa yang menghubungiku tengah malam begini. Dengan malas Asty membuka layar ponsel. Sebuah pesan masuk. Dari Doni.
Ty, sorry gangguin kamu lagi tidur. Tapi hatiku gelisah tidak menentu. Apalagi setelah belajar kata tidak darimu tadi. Kontan aku tidak bisa tidur sampai jam segini. Pelajaran tadi rasanya menyentuh sekali. Apa perempuan bermata coklat itu akan menjawab seperti yang kau jawab itu kah?
Antara sadar dan tidak sadar, Asty membaca berulang-ulang pesan yang terpampang jelas di layar ponselnya. Ini jelas dari Doni. Tidak ada manipulasi. Namun ada kata perempuan bermata coklat di penghujung kalimat. Perasaan Asty langsung tidak enak. Planet Pluto tadi sepertinya sudah siap memuntahkan dirinya ke dalam putaran galaksi bimasakti atau segitiga bermuda. Ia jelas-jelas merasakan jatuh sejatuh jatuhnya setelah tahu jawaban akan pemikiran sebelumnya begitu konyol dan terlalu terburu-buru.
Asty merasakan ada lubang besar di hatinya yang begitu sakit dan menyiksa. Beginikah rasanya patah hati? Beginikah rasanya terhenti padahal belum pernah memulai sama sekali. Beginikah rasanya kalah sebelum berjuang? Beginikah rasanya malu yang menghujam?
Asty segera mengambil wudhu. Tahajud adalah pilihan yang jauh lebih baik. Mengadu kepada sang pemberi rasa cinta. Menangis sejadi-jadinya kepada sang maha pemurah. Meminta ketabahan dalam skenario paling buruk sekalipun. Memohon keikhlasan dan penerimaan terhadap kebahagiaan sahabatnya. Membukakan jalan cinta untuknya yang jauh lebih indah.
Lamat-lamat Asty memandang perempuan bermata cokelat yang masih terlelap dalam tidurnya. Ia begitu cantik. Tinggi semampai, hidung mancung, bibir mungil nan tipis. Tubuh ideal dan gaya berbusana feminim. Berbanding terbalik dengan dirinya. Walau imut tapi acakadut dan semrawut. Penampilan asal-asalan yang penting longgar dan menutup aurat. Menjadi sahabatnya adalah kesyukuran karena dia begitu baik dan tulus. Sepadan dengan Doni. Tinggi, keren walau cerewet namun baik dan tulus.
Entahlah. Akan bagaimana kisah ini selanjutnya. Asty beranjak menuju lemari. Mencari buku dyari biru yang sudah lama tidak dia tulis. Membuka halaman demi halaman hingga dia menemukan tulisannya tentang Doni dua tahun silam.
Serupa do’a, aku mencintaimu dalam senyap dan penuh harap. Hmm sudah saatnya kusobek bagian ini. Asty tersenyum getir.