Cinta Sama Dengan Nol (8)

Fiksiana, Novel20 Dilihat

 Mogok

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

Bu Guru, bisakah turun dulu sebentar?” Asty langsung terjaga dari tidurnya. Tidak salah lagi itu suara Pak Supir. Ia mengucek-ngucek matanya dan mendapati penumpang yang lain turun dari mobil satu persatu. Asty mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hamparan ilalang tinggi menjulang di kiri kanan jalan. Tidak tampak pemukiman penduduk. Ketika pandangannya lurus ke depan, matanya langsung tertumbuk pada jalan mendaki yang sangat curam namun berkelok. Asty bergidik ngeri.

“Sudah sampai Pak?”

“Belum Bu Guru. Hanya ada sedikit masalah,” “Ada apa Pak?”

“Mobil ini tidak sanggup mendaki jalan itu. Tadi sudah dicoba, tapi mundur- mundur lagi. Mungkin kalau bebannya dikurangi bisa sedikit enteng jalannya.”

“Oh ya Pak, saya akan segera turun,”

“Bu guru silahkan jalan ya Bu, olahraga sedikit. Tunggu saja mobil ini di puncak pendakian,” sang supir menjelaskan dengan penuh kehati-hatian walau ditutup dengan senyum ngenes.

Asty pun turun dari mobil mengikuti penumpang lainnya. Olahraga sedikit apanya ini Pak. Ini sudah bisa dijadikan arena lomba panjat aspal untuk olimpiade tingkat internasional. Curam, tinggi dan panas banget lagi. Asty berjalan tertatih-tatih sambil berkata-kata dalam hati. Tidak terlihat kedai minuman atau pemukiman penduduk. Hanya ilalang dan ilalang. Temannya yang lain juga sudah tampak kelelahan, kehausan dan kelaparan. Namun walau begitu mereka tetap tangguh berjalan. Wah benar-benar memiliki daya ketahan malangan yang tinggi. Asty mengagumi teman temannya. Eh tapi rombongan mobil yang lain mana ya?

“Hei kamu! Mungil sekali ya. Kaya’ anak SMA, sanggup gak? Belum apa-apa nih!” seorang lelaki menyapa Asty. Lelaki itu sepertinya yang tadi duduk di kursi samping Pak Supir.

“Hehe, bawaan gen Bang, oh ya ngomong-ngomong rombongan mobil yang lain mana ya Bang?”

“Mobil kita ketinggalan jauh. Supirnya ngantuk. Jadi jalannya lambat banget. Ketinggal deh. Oh ya perkenalkan, saya Doni,”

Doni? Pasaran sekali namamu Don. Duh, jangan-jangan ada yang namanya Nina juga lagi. Asty meringis dalam hati.

“Oh aku Asty Bang!”

Mereka berjabat tangan. Doni yang ini jauh berbeda dengan Doni sahabatnya. Rambutnya hitam lurus belah samping. Tubuhnya pendek untuk ukuran seorang pria. Berkulit putih. Hidungnya mancung sekali dan matanya agak sipit.

“Ngajar Kimia ya? Aku Biologi,”

“Ho oh Bang Doni, hosh hosh,” nafas Asty mulai ngos-ngosan.

“Capek ya? Ini masih permulaan. Di tempat pengabdian kayaknya lebih menguji nyali. Bakal seru nih,” Doni terlihat santai dan menikmati jalanan di siang terik itu.

“Ini sudah masuk daerah penempatan Bang?” Asty penasaran. Dia membuka ponselnya. Ada sinyal.

“Belum kayaknya, tapi udah dekat. Harusnya siang ini kita sudah sampai. Tapi ya mobilnya gitu. Apes deh.”

“Oh ya juga sih. Buktinya ada sinyal. Dengar-dengar kita ditempatkan di daerah gak ada sinyal,” Asty menyimpulkan sekenanya.

“Hahaha, jelas kali ya kamu tipe orang tertutup dan tidak bersosialisasi. Kalau kamu ikuti pembicaraan teman-teman yang ikut program ini kamu akan tahu bagaimana gambaran daerah itu. Mereka sudah mencari informasi dengan mewawancarai teman kuliah mereka yang merupakan penduduk asli daerah setempat. Tempatnya bagus kok. Gak seperti bayangan kita akan ketiadaan sinyal, listrik dan air. Paling hanya satu daerah belum dimasuki listrik. Ke tempat itu harus naik perahu. Di sana tidak ada SMA. Jadi kamu gak mungkin ditempatkan di sana. Kimia kan tidak diajarkan di SMP.” Terang Doni panjang lebar.

“Benarkah? Tadi kata Abang di penempatan nanti lebih menguji nyali. Aku pikir di sana butuh perjuangan yang berdarah-darah,”

“Soal menguji nyali yang saya bilang tadi, walau bagaimanapun itu adalah daerah tertinggal. Pasti ada poin tertentu yang membuatnya menyandang kategori itu. Jadi kita harus siap dengan segala kemungkinan.”

“Hmm gitu ya?” Asty manggut-manggut mendengar penjelasan Doni. Dia jadi tak sabar sampai di lokasi. Semangat Doni sedikit banyak menularinya.

Lama berjalan akhirnya mereka sampai di puncak pendakian jalan. Namun sang mobil belum tampak batang hidungnya. Ternyata memang ada yang korslet dengan mobil itu yang membuatnya kehilangan kekuatan dalam mendaki. Mobil itu balik ke belakang mencari bengkel.

Asty dan teman-temannya terkulai kelelahan di puncak pendakian. Sesekali mobil yang lewat meneriaki mereka. Namun rasa haus dan lapar membuat mereka tidak peduli teriakan itu.

Asty duduk bersandar pada gundukan tanah. Lemah lunglai tak berdaya. Entah ini awal yang baik atau buruk. Kuharap semuanya baik-baik saja. Duhai jalan mendaki. Ada berapa banyak puncak yang harus kumenangi

Tinggalkan Balasan