Dengan muka malu yang teramat dalam Aisyah langsung menundukkan wajahnya dan duduk diposisi semula.
Tidak berapa lama, Bu Nely keluar membawa dua gelas minuman. Dan langsung menaruhnya diatas meja.
“Rupanya kamu sudah pulang Fadli, ayo duduk dulu disini, ibu mau memperkenalkan guru les parhan yang baru,” ucap Bu Nely.
“Namanya Fadli, mungkin dia juga putra Bu Nely,” batin Aisyah.
“Masak perempuan udik ini yang akan mengajar les Parhan, mana mungkin dia punya kemampuan,” cerca Fadli asal bicara.
Hati gadis dua puluh tahun itu perih mendengar penghinaan dari laki-laki yang baru saja ditemuai. Seandainya dia tidak mengingat bahwa dia dan adiknya membutuhkan uang untuk biaya kuliah dan sekolah merek, ingin rasanya Aisyah mencakar mulut pria sombong, dan lari serta membatalkan keinginannya untuk mengajar les private. Tapi keadaan yang membuat gadis itu tetap bertahan walaupun dengan hinaan yang sangat menyakitkan.
“Fadli, jaga mulutmu kamu tidak boleh berbicara seperti itu. tidak seharusnya kamu menilai orang dari penampilan dan status ekonominya,” suara Bu Nely meninggi.
“Sudah berapa orang yang mami datangkan kesini untuk mengajar Parhan. Dari level rendah sampai master tapi tetap saja tidak ada perubahan. Apalagi kalau guru privatnya seperti ini, penampilannya aja kayak begini bagaimana dengan kemampuannya.” Cercaan itu kembali keluar dengan kalimat yang lebih pedas lagi.
Aisyah menarik napas panjang, dia berusaha menahan agar butiran bening tidak keluar dari netranya. Belum sempat Bu Nely mengeluarkan kalimat, lelaki itu langsung melenggang pergi naik ke lantai atas meninggalkan kedua wanita yang beda usia dengan perasaan masing-masing.
“Maafkan kelakuan putra saya tadi, anaknya memang selalu begitu, ucapannya tidak bisa dikontrol, dia selalu berbuat seenak hatinya, sampai saya ibunya tidak dianggap,” keluh Bu Nely.
Prilaku yang ditonjolkan anak laki-laki yang bernama Fadli terkesan angkuh dan sombong sangat kontras dengan prilaku Bu Nely yang bersahabat. Bagi wanita tersebut penampilan Aisyah tidak jadi masalah baginya. Satu yang diharapkan wanita itu adalah anak bungsunya bisa kembali berprilaku ceria seperti dulu.
“Kasihan sekali ibu Nely, memiliki anak seperti itu. Bagaimana bisa menghargai orang lain, sementara kepada orang tuanya saja prilakunya seperti itu,” gumam Aisyah dalam hati.
Ada rasa tidak tega melihat wanita paruh baya yang sekarang duduk di depannya. Tampak butiran putih ingin menerobos keluar dari netranya. Matanya terlihat berkaca-kaca menahan sedih. Sebelum butiran bening itu bercucuran, buru-buru telapak tangannya mengusap kedua matanya.
Untuk beberapa saat suasana hening, tidak ada sepatah kata pun keluar dari kedua wanita yang duduk berhadapan. Masing-masing menata perasaan atas kejadian yang barusan terjadi. (Bersambung)