Pada tulisan sebelumnya di bagian pertama (1), sudah saya ceritakan bahwa kami berasal dari keluarga kecil dari pasangan Makkulau Lantik – Sitti Aisyah yang sangat bahagia. Hidup di lingkungan pertanian. Akrab dengan sawah dan ternak bebek.
Ayah kami adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Perkebunan Kotamadya Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Beliau menjabat sebagai Kepala Balai Pembibitan Pertanian, Dinas Perkebunan yang lokasinya berada di daerah Kampung Pai, Kecamatan Biringkanaya, Kotamadya Makassar.
Soal ayah kami, ternyata selama ini ayah mengidap penyakit kanker otak, dan beliau tidak pernah bercerita tentang riwayat penyakitnya itu. Mungkin karena kami dianggap masih kecil, dan terlalu dini untuk mengetahui hal-hal seperti itu.
Kebahagiaan yang selama ini kami nikmati bersama, tiba-tiba hilang dan tidak akan ada lagi. Semenjak ayah sudah meninggal, kehidupan kami sangat berubah secara drastis.
Ibu yang biasanya hanya menjaga adik bungsu kami, dan memasak di dapur, tiba-tiba saja setiap hari keluar rumah mencari nafkah untuk kami berenam.
Yaitu menjual kain sutra Bugis dan juga menjual beras di pasar. Tapi itu setiap hari dikerjakan dengan sabar dan senang. Kami berlima terkadang merasa sangat kasihan melihatnya.
Bahkan kami sempat tersentak dan kaget ketika waktu itu ibuku berniat pindah dari rumah dinas ayah.
“Kita harus meninggalkan rumah dinas ini, karena sebentar lagi sudah ada yang akan tinggal di sini menggantikan posisi ayahmu”.
Kami hanya bisa menunduk dan terdiam. Tak terasa air mata kami menetes, dan yang terdengar hanya isak tangis kami sekeluarga di rumah itu.
Akhirnya ibu dengan berterus-terang dan menyampaikan secara terbuka kepada kami, bahwa kami semua harus meninggalkan rumah dinas tersebut.
Kami sadar kalau sudah tidak berhak lagi berada di sana. Dengan rasa berat dan hati yang sedih, kamipun meninggalkan rumah dinas tersebut.
“Kita harus pindah dan segera keluar dari rumah dinas ini”.
Alhamdulillah, kami memang masih beruntung karena sebelum ayah meninggal, beliau sudah membeli sebuah rumah yang selama ini ditempati oleh sahabat ayah yang lebih membutuhkan untuk menampung keluarganya.
Dan begitu ayah meninggal, rumah itu sudah dalam keadaan kosong. Maka kami pun segera pindah dan menempati rumah tersebut, yakni rumah sendiri pasca keluar dari rumah dinas bagi pejabat Kepala Kebun Pembibitan.
Sepeninggal ayah, ibu pun akhirnya mencoba bersusah-payah menghidupi kami berenam dengan mencari nafkah sendiri melalui usaha berjualan beras di pasar. Itulah situasi yang sangat prihatin bagi keluarga kami yang hidup tanpa ayah.
Melihat kondisi ini, ibu kami yang kebetulan ada 5 bersaudara, salah satu kakak ibu yaitu tanteku, Nona Daeng Ngasih, meminta agar saya ikut tinggal bersama beliau dan di sana bersekolah. Di pusat kota Makassar atau sekitar 25 kilometer dari tempat tinggal kami selama ini.
Tanteku berinisiatif sendiri, karena mungkin melihat adiknya (maksudnya ibuku) sangat repot menghidupi 6 orang anak tanpa suami. Lalu tanteku berkata,
“Maukah kamu ikut ke rumah tante dan bersekolah di kota Makassar?”.
Jarak antara rumah kami di Sudiang, Mandai dengan pusat Kota Makassar memang lumayan jauh. Kami tak jauh dari bandara di batas kota antara Kota Makassar dengan Kabupaten Maros. Lalu saya menjawab “Iya tante”.
Akhirnya saya ikut ke rumah tante dan bersekolah di sana, sampai tamat dari Sekolah Dasar (SD) dan meneruskan di SMP Negeri Jongaya hingga lulus Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA, sekarang SMK) di Kota Makassar.
Jika sekolah libur, sesekali saya pulang ke rumah ibu untuk berkumpul dengan adik dan kakak-kakakku. Sampai akhirnya, kakak kami yang paling pertama bekerja dan tak lama kemudian kakakku menikah dan berkeluarga.
Begitu pun dengan saya, setelah lulus dari SMEA, maka saya dijodohkan dengan pria pilihan kakek dan nenek yang tidak lain adalah cucu mereka sendiri. Ya, Saya dijodohkan oleh kakek dan nenekku dengan keluarga yang masih satu rumpun.
Tepatnya, suamiku adalah cucu dari kakek yang juga adik nenekku. Dalam lingkungan tradisi keluarga etnis Makassar, status Saya dan suamiku masih “Pindu” atau sepupu dua kali.
Setelah menikah, tahun 1987 saya pun “diboyong” suami ke Jakarta. Suami saya kebetulan semenjak bujangan memang sudah bekerja di Jakarta.
Kamipun terpisah dengan kakak dan adik serta ibu dengan jarak yang sangat jauh, yakni Jakarta – Makassar.
Sampai akhirnya kami pun mempunyai dua anak putera dan putri, bahkan punya menantu dan 2 cucu di Jakarta. Setiap sekali setahun, kami pulang ke Makassar untuk berkumpul bersama kelurga, itu pun kalau hari lebaran.
Setiap tahunnya berlangsung rutinitas pulang mudik seperti itu. Tahun 2015, kami masih sempat berlebaran bersama ibu.
Tapi tahun 2016, terasa ada yang kurang dan cukup mengharukan karena ibu sudah tidak ada lagi bersama kami. Ibu sudah meninggalkan kami menyusul kepergian ayah. Tiba-tiba kok saya sangat rindu dengan kehidupan masa kecilku.
Maka saya minta izin dan pamit ke suami dan kakakku untuk mengunjungi tempat tinggal kami yang dulu. Tempat dimana kami dilahirkan dan banyak meninggalkan kenangan manis di sana.
Maka sore harinya saya berkunjung ke sana, ke rumah dinas Kepala Kebun Pembibitan, Dinas Perkerbunan Kota Makassar.
Alhamdulillah, rumah dinas perkebunan yang pernah kami tempati selama 55 tahun yang lalu itu ternyata masih ada. Saya berdiri di depan rumah dan melihat ke sekelilingnya.
Namun, sore itu bukanlah suasana sore 57 tahun yang lalu. Tidak terlihat lagi padi yang menguning di belakang rumah. Tidak ada lagi bebek yang berenang di sela pematang sawah.
Tidak lagi terlihat riuhnya anak-anak menggembala dan memandikan kerbaunya. Dan bahkan tidak ada lagi pak tani menanam padi.
Sungguh keadaan yang sangat memperihatinkan. Sawah yang luas terhampar, itu sudah tidak ada lagi. Yang saya lihat hanyalah perumahan yang sangat padat.
Kebun yang berbagai jenis tanaman, sudah di penuhi oleh pusat perbelanjaan dan warung-warung serta taman.
Saya hanya bisa terdiam dan meneteskan air mata, rindu akan suasana yang dulu. Kemanakah bebek-bebek itu lagi.
Kemanakah pak tani dan bu tani yang biasanya menyangkul sawahnya. Dan kemana pula riuhnya anak-anak penggembala sapi.
Zaman telah bergeser dan mengikis kearifan budaya lama, dan memunculkan budaya baru. Sawah yang terbentang luas, sudah tidak ada lagi dan sudah digantikan oleh pusat perbelanjaan moderen (Bersambung ke Bagian ke3)
Salam Literasi
Sitti Rabiah
#MasaKecilku2 #KMAA Bagian 5