“Ayo sini, Alvi! Istirahat dulu!”
Alvi mendengar ayah memanggilnya. Dia sedang memperhatikan beberapa bangunan. Banyak bangunan di sekitar taman kota itu.
Dia melihat ada yang atapnya segitiga. Ada juga yang atapnya setengah lingkaran. Bahkan ada juga yang atapnya rata.
Alvi menghentikan kegiatannya mengamati. Dia pun berjalan menuju ayahnya. Ayahnya sedang duduk di bangku taman.
Setibanya di sana Alvi duduk. Dia duduk di samping ayahnya. Setelah itu dia mulai bercerita.
Alvi bercerita pada ayahnya. Dia menceritakan bangunan yang dilihatnya. Bentuknya bermacam-macam.
“Kenapa bangunan itu macam-macam bentuknya, Ayah?” tanya Alvi.
Alvi melihat ayahnya tersenyum. Ayahnya menatap ke arahnya. Mereka pun melanjutkan cerita.
“Bangunan itu dibuat sesuai kebutuhan,” jawab ayahnya.
Ayahnya melanjutkan jawaban, “Oleh karena itu, bentuk bangunannya juga berbeda.”
Alvi menganggukkan kepala. Dia menyimak jawaban dari ayahnya. Namun, jawaban itu belum cukup memuaskannya.
“Selain itu, bentuk bangunan beda-beda sesuai juga dengan keinginan pemiliknya,” jawab ayahnya lebih lanjut.
Tiba-tiba pandangan Alvi tertuju pada satu bangunan. Menurutnya bangunan itu sangat berbeda. Bangunan itu lain daripada yang lain.
“Ayah ayo kita jalan-jalan ke sana!” kata Alvi kemudian.
Keduanya berjalan menuju bangunan itu. Bangunan itu berada di seberang taman kota. Bangunannya terbuat dari kayu.
“Ini namanya rumah panggung,” kata ayah Alvi mulai menjelaskan.
Alvi menganggukkan kepala. Dia dengan tekun mendengarkan penjelasan ayahnya. Dia ingin tahu lebih banyak lagi.
“Kenapa rumah ini berbeda, Ayah?” tanya Alvi sambil menunjuk rumah.
Ayahnya menjelaskan lebih lanjut lagi. Ayahnya mengatakan rumah panggung adalah rumah adat. Termasuk bangunan tradisional.
Alvi pun kembali bertanya, “Rumah adat itu maksudnya apa, sih, Ayah?”
Ayahnya kembali berkata, “Rumah adat itu adalah rumah khas dari suatu daerah di Indonesia.”
“Apa dipakai tinggal juga?” tanya Alvi kemudian.
“Iya. Fungsinya sama untuk tempat tinggal. Bedanya rumah adat sudah ada sejak dulu,” kata ayahnya sambil memegang bagian rumah panggung.
Alvi menganggukkan kepala. Dia berusaha memahami penjelasan ayahnya. Rasa penasaran semakin tumbuh dalam dirinya.
Alvi pun bertanya lebih lanjut lagi, “Maksudnya menjadi tempat tinggal orang-orang zaman dulu, ya, Ayah?”
“Betul! Orang zaman dulu tinggal di rumah adat. Sekarang banyak dibuat tiruannya. Begitu,” kata ayahnya menjelaskan lebih rinci.
Sambil mengangguk-angguk Alvi kembali bertanya, “Kalau yang ini rumah adat daerah mana, Ayah?”
Ayah Alvi tersenyum. Dia mengusap kepala Alvi. Setelah itu dia menjelaskan panjang lebar.
“Ini adalah rumah adat masyarakat Bima Nusa Tenggara Barat. Rumah adat ini harus kita lestarikan. Alvi tahu tidak kenapa?”
Alvi menggelengkan kepala. Dia belum bisa menemukan jawabannya. Namun, dia tidak menyerah.
Alvi mencoba untuk menjawabnya. Meskipun salah dia tidak peduli. Baginya yang penting sudah berusaha.
“E… Karena ini kekayaan Indonesia, Ayah!” jawab Alvi dengan semangat.
“Betul! Selain itu, harus dilestarikan karena agar tidak punah. Alvi tahu kenapa akibatnya kalau sampai punah?” tanya ayahnya lebih lanjut lagi.
Albi terdiam. Dia sedang memikirkan jawaban. Sesekali dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Akhirnya, dia menemukan jawaban. Meskipun tidak yakin benar dia tetap menjawabnya.
“Kalau punah anak-anak di masa depan tidak akan tahu, dong!” jawab Alvi sambil bersandar di tiang rumah panggung.
Ayahnya tersenyum kemudian menjawab, “Tepat sekali! Kalau punah maka orang-orang di masa depan tidak tahu kalau Indonesia kaya adat budaya.”
Keduanya pun tertawa. Hari semakin siang. Setelah itu mereka memutuskan pulang.
Alvi tersenyum girang. Dia telah menemukan jawaban. Oleh karena itu tidak lagi penasaran.
Baca Juga: Tanggung Jawab Kristin
– Sudomo, S.Pt. –
(Email: sudomo.spt@gmail.com)