Terpaksa Keluar
Cing Ato
#CatatanHarianSangGuru
#Edisisedih
Senang rasanya ketika anak-anak betah menuntut ilmu di pondok. Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi setiap orang tua, jika anak senang menuntut ilmu. Apalagi pondok salah satu sistem pendidikan yang representatif untuk mendidik anak pada zaman kekinian.
Banyak orang-orang tua berlomba untuk memasukkan anak-anaknya ke pondok agar harapan anak bisa lebih mandiri, jauh dari pengaruh negatif smartphone dan 24 jam berada di pusaran pendidikan. Hidupnya terkontrol dan penuh kedisiplinan.
Namun, semua itu buyar tatkala penyanggahku tumbang. Bingung seribu bingung, ketika aku dan istri tak berdaya dan memerlukan pendamping yang selalu ada di sisiku untuk melayani kebutuhanku. Mencari asisten rumah tangga tidak semudah yang dibayangkan. Memang terkadang ada saudara, tapi tidak selamanya mendampingi, hanya sewaktu-waktu saja.
Terpaksa bontotku harus mengalah untuk risegn dari pondok. Kebetulan hampir sebulan lebih ia libur dari pondok, hingga bisa membantu aku dan uminya. Terkadang hati ini sedih, ingin rasanya anak-anakku menuntut ilmu di tempat yang berkualitas. Tapi semua di luar kuasa aku dan istriku.
Bukan satu-satunya alasan risegn disebabkan oleh ketidakberdayaan aku dan istriku. Tapi ada hal yang janggal menurut aku dan istri setelah kuperhatikan tentang sistem pendidikan di pondok itu. Setelah satu tahun sepertinya bontotku tidak ada perubahan, berbeda dengan kakaknya satu tahun kentara hasilnya. Sistem tarbiyahnya cukup bagus berdasarkan hasil yang diperoleh.
Sistem uang jajan kakaknya dipegang oleh musyrif atau pengasuh santri, sehingga terkontrol. Bahkan kakaknya jarang mengambil uang jajan, sehingga ketika akhir tahun kakaknya bisa membawa pulang dalam jutaan rupiah. Berbeda dengan si bontot dengan sistem ATM. Dan tidak terkontrol untuk pengeluaran sehingga dalam hitungan hari sudah harus transfer lagi. Di samping teman-temannya yang ditransfer ortunya dengan jumlah yang cukup buat iri teman-temannya.
Terkadang dalam hati terbersit kata”Waduh salah pondok, seharusnya pondok yang satu.”
Untuk sementara melanjutkan pendidikan di dekat rumah saja yang cukup jalan kaki sudah sampai. Insyaallah, untuk tingkat selanjutnya mencoba untuk ngikuti jejak kakaknya di Gontor.
Semua yang terjadi tidak perlu disesali. Hidup tidak selamanya lurus laksana mistar, hidup itu berliku-liku. Kadang menurun ke lembah, kadang mendaki bukit, dan kadang tenggelam di lautan. Begitulah kehidupan. Oleh karena itu, syukuri saja apa yang masih tersisa dari hidup ini.
Cakung, 14 Juni 2022