Tukang Minyak Keliling Pencetak Para Sarjana.
Cing Ato
Belajar nulis Cerpen
#GadisPengejarBus
#GuruBlogerMadrasah
#PegiatLiterasiMadrasah
#MTsN5Jakarta
………………………########………………………….
“Enak saja ingin jadikan anakku menantunya. Dahulu saya pinjam untuk biaya kuliah saja pelit sekali. Sekarang anakku sudah berhasil hendak dipinta, maaf beribu maaf,” tegas pak Halim.
…,…………………..########……………………………
Hiduplah sebuah keluarga sederhana di daerah Cikarang Jawa Barat, dalam mencukupi kebutuhan hidupnya pasangan suami-istri ini setiap hari harus membanting tulang. Tidak kenal siang dan malam hanya untuk sesuap nasi dan biaya pendidikan anak-anaknya.
Sebut saja pak Halim dan bu Halimah. Beliau dikaruniai beberapa orang anak. Walau dalam hidup sederhana beliau mempunyai sebuah pemikiran maju ke depan dibandingkan dengan kebanyakan orang tua di kampung halamannya.
Melihat bagaimana susahnya mencari rezeki tanpa berbekal pendidikan yang cukup. Beliau siang-malam berdiskusi. Bagaimana caranya agar anak-anaknya tidak mengalami hidup seperti beliau.
Dalam pikiran beliau berdua jalan satu-satunya untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anaknya adalah dengan jalan pendidikan.
Satu-persatu anak-anaknya disekolahkan. Dalam perjalanan hidup tak selalu indah dan lurus pasti ada lika-likunya. Ada saja kesulitan dan kesusahan yang menghampiri untuk menyekolahkan anaknya. Tentunya masalah biaya pendidikan. Walau sudah berusaha sekuat tenaga dan berganti propesi mulai menjadi tukang minyak tanah keliling kampung, kuli menjual batu bata ke kota ( Melangsir: bahasa Cikarang), jual opak singkong, jual nasi uduk, dan bekerja serabutan lainnya dan akhirnya mempunyai warung kelontong, tetap saja belum mencukupi.
Bagus pak Halim dan bu Halimah mempunyai anak-anak yang cerdas dan berakhlak baik. Sehingga semua anaknya selalu membantu orang tuanya. Anak tertua sering membantu belanja ke pasar Cikarang dengan menggunakan sepeda dan dua keranjang di belakang sepeda. Dia gayuh sepeda dengan semangat walau terkadang peluh bercucuran. Demi orang tua dan berlangsungnya pendidikan dia kesampingkan rasa malu dan minder di depan orang sekitarnya.
Bermodal sepeda butut anak-anaknya menggayu sepeda untuk pergi ke sekolah. Namun, pada suatu hari anak tertuanya butuh biaya yang cukup besar dan sementara anak keduanya akan mendaftar kuliah di perguruan tinggi Islam negeri di Jakarta. pak Halim dan bu Halimah tidak mempunyai uang simpanan untuk membiayainya.
“Bu, ke mana ya, kita cari uang untuk biaya si Sulung?’
“Ke mana ya pa?”
“Bu, Ibu pan banyak saudara yang berada. Apa salahnya kita pinjam ke mereka?”
“Oh, iya Pak. Tapi kepada siapa Pak?”
“Coba kepada paman H. Hasan.”
“Ok, Pak kita coba besok.”
“Iya, Bu. Semoga paman bisa meminjamkan.”
“Aamiin… .”
Keesokan harinya pak Halim dan bu Halimah mendatangi rumah pamannya. Rumah pamannya tidak jauh dari rumahnya, hanya tetangga kampung yang dibatasi rel kereta api. Sampailah beliau berdua di rumah pamannya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
“Eh, kamu Lim masuk sini!”
“Iya, paman. Terima kasih.”
“Tumben kamu berdua ke sini, ada apa?”
“Hanya ingin silaturahimi dengan paman.”
“Oh, bagaimana anak-anak kamu?
“Alhamdulillah, paman. Anak-anak saya sehat dan sudah pada sekolah. Yang tertua sudah kuliah, kedua baru mendaftar kuliah, ketiga di SMA, dan yang keempat di SMP, sementara yang bontot belum sekolah.
“Lah, bagus itu kuat kamu menyekolahkan.”
“Nah, itu permasalahannya. Anak pertama butuh biaya dan saya lagi belum pegang uang dan yang kedua baru ingin daftar.Maka itu, saya ke sini bermaksud untuk pinjam ke paman.”
“Lim, kalau kamu tidak kuat membiayai sekolah. Jangan anak disekolahkan semua. Berhentikan salah satunya. Saya kaga ada uang.”
“Tidak papa paman kalau tidak ada. Ya, sudah kalau begitu saya pamit dahulu.”
“Iya, saya tidak bisa bantu. Tapi ingat kalau kamu tidak kuat jangan dipaksakan dan kalahkan anak yang lainnya.”
Pak Halim dan bu Halimah pulang dengan tangan hampa dan sedikit hati gerundel.
“Perasaan hati terasa panas mendengar perkataan paman.”
“Ya, sudah pak tidak usah dipikirkan.”
“Bukan begitu, sudah tidak meminjamkan malahan nyuruh anak kita berhenti sekolah.”
“Ya, sudah. Jika tidak ada jalan lain. Terpaksa kita harus jual apa yang kita punya.”
Pak Halim dan bu Halimah akhirnya menjual sebidang tanah untuk biaya pendidikan anak-anaknya.
Ya, itulah hidup tidak semudah yang kita bayangkan. Hidup itu tidak lurus laksana mistar. Hidup itu berliku terkadang menuruni lembah, terkadang mendaki gunung, dan terkadang tenggelam di tengah lautan.
Kesabaran dan keuletan pak Halim dan bu Halimah berbuah hasil. Semua anak-anaknya sukses menjadi mahasiswa berprestasi hingga sekarang semua anaknya menjadi sarjana.
Keberhasilan pak Halim mendidik anak-anaknya terdengar oleh pamannya. Pamannya mengirim orang untuk menghabarkan bahwa beliau bersedia menjadikan menantu dari anak pak Halim.
Apa yang terjadi dengan pak Halim?
“Enak saja mau jadikan anakku menantunya. Dahulu saya pinjam untuk biaya kuliah saja pelit sekali. Sekarang anakku sudah berhasil hendak dipinta, maaf seribu maaf,” tegas pak Halim.
Kini semua anaknya sudah mendapatkan pekerjaan tetap menjadi pegawai negeri dan sudah mempunyai pasangannya masing-masing. Dari anak-anak yang sukses melahirkan para sarjana pula.
Yang dahulu selalu menggayu sepeda butut, kini berganti jejeran mobil. Jika anak-anak dan cucu-cucunya berkumpul ke rumah pak Halim butuh halaman luas untuk parkir.
Kini pak Halim dan bu Halimah tersenyum bahagia dan berbangga hati. Kemustahilan versus realita berwujud keniscayaan. Pak Halim berfokus kepada tujuan dan proses mengikuti. Jika dia terjebak pada proses. Maka dia takkan sampai pada tujuan.
Pak Halim yakin bahwa pendidikan dapat meningkatkan kualitas hidup dan dia telah membuktikannya.
Salam literasi