Karena suatu momen sulit untuk diulang kembali, apalagi jika momen tersebut punya arti khusus untuk diri kita dan menyangkut orang-orang yang kita sayangi, maka salah satu cara kita untuk mengabadikan setiap momen adalah dengan kita memotret atau berfoto.
Saya yakin, kalian sependapat dengan apa yang saya katakan. Sayang rasanya jika kita tidak mengabadikan momen yang menurut saya kesempatan tersebut sangat berarti, terlebih di era digital sekarang begitu mudahnya mengambil sebuah gambar hanya dengan menggunakan Smartphone yang rasanya hampir setiap orang memilikinya.
Itu pun saya lakukan. Sekitar pertengahan tahun lalu yaitu tahun 2020 saya dan keluarga juga kakak-kakak saya, kami melakukan perjalanan ke Ciamis, Jawa Barat dengan kendaraan sendiri, untuk menghadiri pernikahan adek saya atau anak dari Bibi/ Tante saya.
Maksudnya, seandainya menggunakan kendaraan umum, kita tidak mungkin bisa melakukan sesuatu dengan keinginan kita, misalnya berhenti di beberapa tempat sebelum tiba di tujuan.
Sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya beberapa jam saja dari Jakarta ke Ciamis. Sebelum sampai tujuan dengan waktu yang minim, kami memanfaatkan kesempatan itu mencari spot yang menarik dan berkesan menurut kami, disana pun kami mengabadikan momen dengan berfoto.
Alasannya itu tadi, karena belum tentu bisa mengulangi momen yang serupa, mengingat beberapa kendala atau kesibukan masing-masing.
Salah satu spot yang kami abadikan adalah Alun-Alun Kota Ciamis. Karena Kota Ciamis punya cerita tersendiri bagi keluarga besar kami. Menyoal cerita di baliknya, sebenarnya saya kurang tau banyak, namun menurut cerita kakak saya banyak kenangan disana.
Satu hal yang saya tau, Ciamis adalah tempat kelahiran ibu saya. Cerita sedikit, kami 6 (enam) bersaudara dan saya anak terakhir artinya nomor enam, pastinya dari pasangan suami Istri, bapak saya P. Gultom asal Sumatera Utara (Batak) sedangkan ibu saya Nani Heryani Gunawan asal Ciamis Jawa Barat (Sunda) dan kedua orang tua saya sudah dipanggil Tuhan.
Jauh sebelum bapak saya dipanggil Tuhan, terlebih dahulu ibu saya dipanggil Tuhan. Sedih, tak satupun kenangan yang saya ingat tentang ibu saya. Saya hanya mengenalnya lewat fotonya saja, cantik !
Konon ibu saya menghadap sang pencipta, kala saya berumur 2 tahun. Artinya saya kurang kasih sayang dari seorang ibu, itu sudah pasti.
Satu hal, saya bangga dengan keluarga besar kami yang mencintai perbedaan baik suku dan agama, karena berlandaskan ‘KASIH’.
Tak hanya saya, keluarga besar ibu saya pun bangga dengan kami atau keluarga Gultom karena silaturahim tetap terjaga.
Mengutip pernyataan bibi saya mengatakan, “Kami senang melihat keluarga Gultom, meskipun kakak kami telah tiada (ibu saya), tetapi hubungan keluarga tidak terputus, tidak seperti banyak orang,” ucap bibi saya.
Iya, karena hidup toleransi dan saling mengasihi adalah indah dan itu yang diajarkan kepada kami. Meskipun jarang berjumpa, beruntung ada ponsel yang memudahkan komunikasi untuk selalu bertegur sapa.
Maka disaat momen itu ada, sayang rasanya untuk dilewatkan mengabadikannya lewat foto adalah penting.
Salam Literasi
Karena Menulis Aku Ada
Sukma