Badai Pasti Berlalu

Terbaru12 Dilihat

Badai Pasti Berlalu

Seperti tak akan pernah habis, pikirku waktu itu. Aku putuskan pergi bekerja keluar negeri untuk bisa membuat keluargaku lebih baik. Sebagai seorang wanita yang hanya memiliki bekal ijazah SMA akupun tak banyak pilihan untuk bisa bekerja. Di daerahku lulusan tersebut jika merantau sama halnya dengan lulusan SMP bekerja di sebuah pabrik tak membuatku puas. Kuberanikan diri untuk bisa mendapatkan gaji yang lebih, aku tak ingin kehidupanku hanya seperti ini.

“Mil, aku sepertinya mau keluar kerja dari pabrik saja,“ ungkapku pada Mila teman kost ku di sebuah kota industri di daerah Tangerang.

“Yakin kau mau keluar, Rin?” tanya Mila.

“Iya Mil aku capek, lelah bertahun-tahun bekerja disini namun aku belum mendapatkan sesuatu yang kuinginkan.” Jawab Ririn.

Panjang lebar Ririn jelaskan keinginannya untuk bisa membuatkan rumah yang layak bagi orang tuanya di kampung. Selama kerja di pabrik Ririn belum berhasil mewujudkan impiannya itu.

Sebelum Ririn benar-benar memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya saat ini, ia pergi ke kantor tenaga kerja dan dari sanalah ia mendapatkan informasi tentang TKW keluar negeri. Ia mendapatkan info syarat dan ketentuan apa yang harus ia siapkan. Ririn benar-benar bertekad bulat untuk pergi ke luar negeri. Tak lupa Ririn memberitahukan keinginannya pada orang tuanya di kampung. Saat Cuti tahunan dan libur akhir tahun di jadikan Ririn untuk pulang kampung dan menyelesaikan hal-hal yang diperlukan untuk bekerja keluar negeri.

“Maafkan Emak, Nak. Emak tak bisa sekolahkan kamu sampai ke perguruan tinggi. Hanya sampai SMA kemampuan Emak dan Bapak memberi bekal ilmu kepadamu, untuk itu Emak serahkan padamu apa yang menjadi keputusanmu. Kejarlah  cita-citamu!” ucap Emak  lirih dengan mata berkaca-kaca.

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Mak. Aku sudah bersyukur Emak dan Bapak telah mendidik, merawat dan juga menyekolahkan aku sampai SMA. Aku hanya ingin restu dan doa Emak dan Bapak,” sambut Ririn.

Emak tak bisa berucap apapun. Namun air mata mewakili segalanya. Sebenarnya berat bagi Emak untuk melepas kepergian anaknya untuk bekerja keluar negeri. Namun tekad kuat membuat Emak harus merelakan anaknya menggapai cita-cita.

Waktu yang dinanti tiba. Pengunduran diri dari pabrik tempat ia bekerja sudah ia serahkan. Pesangon yang diterima Ririn bisa untuk bekal saat ia berada di balai pelatihan kerja dan juga sedikit bisa diberikan kepada orang tuanya.

***

Pelatihan ketrampilan bahasa dan ketrampilan lainya dilaksanakan di BLK selama 2 bulan. Banyak hal yang aku dapatkan untuk bekalku bekerja keluar negeri, saat harus belajar bahasa Inggris aku sangat mudah menerimanya karena saat SMP aku menyukai pelajaran Bahasa Inggris, jadi aku tak kesulitan dalam menerima dan mempraktekkan berbahasa Inggris. Singapora adalah negara tujuanku.

Tiba saatnya aku dipanggil untuk keberangkatan bersama 3 orang teman lainya. Bersyukur juga aku mendapatkan majikan yang baik.  Tiga bulan pertama gajiku dipotong untuk biaya pelatihan ketrampilan selama di BLK. Setelah tiga bulan lewat aku pun mulai menyisihkan gajiku dan setelah 2 tahun aku bekerja aku  bisa mewujudkan impianku untuk membangun rumah orang tuaku.

Aku pun mulai asik dengan kerjaanku dan setelah habis kontrak selama dua tahun maka aku perpanjang masa kontraku. Kontrak aku perpanjang 2 tahun lagi. Aku sangat menikmati kesendirianku aku senang dan bahagia sekali sampai aku lupa ternyata orang tuaku  sangat sedih memikirkan diriku yang tak kunjung menikah. Memang usiaku boleh di bilang sudah tua. Usia 28 tahun jika di kampung merupakan usia yang sudah matang dan siap untuk berumah tangga.

Demi orang tuaku akupun tak perpanjang kontrak lagi. Bekerja 4 tahun di negeri orang ternyata membuatku senang. Aku bisa membeli apapun yang aku suka. Akhirnya aku putuskan untuk kembali pulang. Dari uang hasil kerjaku  di luar negeri aku gunakan untuk modal usaha. Aku buka usaha dengan berjualan pulsa dan juga alat-alat sekolah.

Selama aku usaha di rumah, orang tuaku senang karena setiap saat bisa melihat keadaanku. Mereka menginginkan aku segera menikah.

“Rin, usahamu lancar, Nak. Emak bersyukur, apa yang menjadi cita-citamu terwujud. Jika Emak boleh meminta, Emak ingin kau segera menikah.” Kata Emak.

“Iya, Emak. Nanti jika jodohku sudah dekat pasti Ririn akan menikah,” jawabku datar.

Pertanyaan serupa sering aku dengar dari temanku dan juga tetanggaku. Malas sebenarnya aku jika mendengar pertanyaan yang sama. Siapa sih yang tak ingin menikah, namun aku seperti masih trauma untuk menikah karena kisah cintaku masa itu. Aku terlalu asik dengan duniaku. Hingga suatu hari Emak jatuh sakit. Dan aku tak ada pilihan, aku harus menikah agar Emak merasa bahagia. Aku tahu perasaan Emak bagaimana ia bersedih melihat aku belum menikah. Padahal anak-anak perempuan seusianku banyak yang sudah menikah bahkan semua sudah menikah.

Melalui sahabat SMA ku dulu akupun dikenalkan dengan seseorang. Aku berusaha untuk bisa mengenalnya walau belum juga tumbuh rasa cinta aku menerima lamaranya. Aku melihat dia serius padaku dengan ditunjukkan kehadiranya bersama orang tuanya ke rumah. Tentu saja orang tuaku menerima lamaran itu. Dia termasuk anak dari orang yang disegani di masyarakat.

Hari yang ditentukan tiba. Pernikahan dilangsungkan dengan meriah. Betapa orangtuaku dan juga saudara-saudaraku sangat bahagia. Demikian juga aku, aku merasa bisa bahagiakan orang tuaku. Aku bahagia melihat senyum Emak dan juga Bapak.

Hari demi hari hingga akhirnya aku memiliki seorang putri. Setahun hidup bersamanya aku mengenal suamiku. Aku mengira suamiku orang yang bertanggung jawab. Sejak anak pertamaku lahir aku sudah mulai mengenal karakter suamiku. Aku menilainya dia bukan pekerja keras.  Usaha yang aku jalankan lambat laun terjadi penurunan. Aku yang disibukkan dengan bayi kecil, tak lagi banyak waktu untuk mengurus usahaku. Suamikulah yang menggantikannya.  Sejak ia menikah denganku tiga bulan pertama ia keluar dari tempat kerjanya. Ia membantuku mengurus usaha yang aku jalankan sepulang dari luar negeri. Segala kebutuhan kami tercukupi dari hasil usahaku.

Tentu saja lama-kelamaan usaha yang aku jalankan mulai  sepi. Antara pengeluaran dan pemasukan tentu tak seimbang. Suamiku tak mau tau yang ia tau segala kebutuhan keluarga tercukupi tanpa ia berusaha untuk bekerja sampingan yang lain. Sikapnya mulai berubah dia sering berkata kasar terhadapku. Tiap aku meminta uang untuk menambah kebutuhan keluarga dia selalu mengatakan hal yang manyakitkan.

“Mas, kebutuhan kita semakin bertambah, jika kita hanya mengandalkan warung kita lama-kelamaan warung kita akan rugi,” ucapku pada suamiku.

“Ya gimana lagi aku juga tidak bisa bekarja yang lebih dan menghasilkan uang.Mau tak mau ya seperti ini ka lo ga ya sudah,” jawabnya datar.

“Mas, bukan begitu. Apa Mas tak ingin usaha yang lain atau bekerja apa saja yang penting kita dapat tambahan penghasilan,” harapku.

“Mau kerja apa,? sekarang cari kerja juga susah, udahlah. seadanya saja.” Dengan santainya ia menjawab.

Seperti tak punya semangat untuk bisa buat bahagiakan aku dan juga anakku. Setiap hari dia seperti itu-itu saja. Ingin aku berontak dan pergi kerja lagi keluar negeri. Tapi bagaimana dengan nasib anakku. Akupun berusaha untuk bisa memulihkan usahaku. Namun selalu saja gagal. Aku krang maximal karena aku telah memiliki seorang anak. Ruang gerakku terbatas karena aku juga harus mengasuh dan menjada anakku. Tak mungkin akuserahkan ankku pada Emak yang sudah tua dan sakit-sakitan.

“Yar Rabb aku serahkan segalanya padamu, maafkan aku yang dulu suka berfoya-foya tak menyangka jika uangku yang begitu banyak lama-kelamaam juga habis. Maafkan aku ya Rabb.” Kubersimpuh mohon apunan dan petunjuk pada Allah Tuhan yang maha kuasa.

Aku harus kuat jalani semuanya demi anakku aku harus bisa sabar dan iklas. Setiap keluarga tentu ada permasalah yang dihadapi. Begitu pula keluargaku. Aku yakin ini adalah bagian dari ujian yang harus aku terima. Untuk menambah penghasilan, aku pun mencoba menjual soto dan juga nasi bungkus. Tak pernah aku bayangkan selama ini. Aku yang dulu tak pernah masuk dapur hanya sekedar untuk membantu Emak memasak, namun sekarang justru aku berjibaku dalam dapur.

Keadaanlah yang membuatku banting tulang untuk mencukupi kebutuhan rumah tanggaku. Suamiku tak sedikitpun punya rasa belas kasihan padaku. Dan hal itu membuat aku juga  merasa berat. Seperti jatuh tertimpa tangga pula. Tak kuduga akupun hamil untuk anak kedua. Entahlah aku harus bersyukur atau bersedih. Yang jelas selama suamiku tak bekerja aku merasa sangat berat untuk menerima kehamilan ini. Ya Rabb, ampuni atas diriku, bimbing aku dan suamiku serta beri hamba kekuatan untuk jalani semua ini. Pintaku setiap saat pada Allah Swt.

***

Anak kedua pun lahir dengan lancar. Mendengar tangisnya hatiku terasa makin pilu. Harusnya aku bahagia. Tapi kenapa ada hal yang membuat hatiku remuk. Tiap tangisnya disitu pula aku meraskan ada kekawatiran. Bagiamana aku akan bekerja dan juga menjaga anak-anakku jika suamiku masih saja seperti itu. Aku harap ada keajaiban Tuhan untuk diberikan pada suamiku. Agar ia berubah dan bekerja apapun asal kebutuhan rumah tangga bisa trcukupi.

Hari minggu bulan dan tahun berganti, Tak ada sedikitpun tanda-tanda untuk suamiku berubah. Hinga pada suatu hari terjadi keributan antara aku dan suamiku.

“Usir saja aku dari sini, biar kamu puas.” Bentaknya padaku saat itu.

“Kenapa harus aku usir, terserah mas mau pergi tau mau tetap tinggal disini aku tak akan melarang. Kenapa sih harus marah-marah. Tidakkah kau bisa bicara yang lembut dan baik-baik. Kita cari solusinya,” kataku dengan masih berusaha untuk tidak emosi.

“Kamu tak peduli padaku, kamu lakukan hal sesukamu, kau tak menghargaiku sebagai suamimu,” timpalmu.

“Apa? Mas bicara menghargai,? hah jika ingin di hargai kau harus menghargai dong. Aku bekerja sendiri tanpa sedikitpun kau peduli. Mana tanggung jawabmu? Aku mulai naik pitam dan hilang kesabaranku.

Kulihat suamiku mengambil kuncimotor dan segera berlalu meninggalkan rumah. Seketika itu terdengar suara tangis anakku yang kecil. Aku raih tubuh mungil itu dan aku peluk. Tak kuasa aku menahan butiran hangat yang  membasahi pipiku. “Sabar ya, Nak,” bisikku lirih.

Setelah beberapa saat tangis bayiku berhenti. Aku segera ambil wudu dan segera laksanakn salat. Aku benar-benar pasrah. Aku baru sadari suamiku menikahi aku bukan karena cinta namun karena aku dulu berduit. Setelah apa yang aku punya habis ia pun berpaling dan tak lagi menyayangiku. Malang benar nasibku, menikah sudah di usia yang tak muda lagi, setelah menikah pun aku hanay mengecap kebahagiaan sebentar. Selebihnya aku banyak merasakan penderitaan akibat ulah suamiku.

Anak-anakku adalah kekuatanku untuk bertahan. Aku yakin aku tak sendiri, ada Allah yang akan menolongku. Aku hanya bisa berdoa untuk suamiku agar diberi petunjuk untuk bisa beranggung jawab untuk keluarganya. Semoga aku selalu sabar menghadapi sikapnya. Badai pasti berlalu, akan indah pada waktunya. Itulah hal yang aku yakini.

#KarenaMenulisAkuAda

#Day36KMAAYPTDChallenge

Gunugkidul, 27 September 2021

Tinggalkan Balasan

2 komentar