Pelajar Internasional di Australia Hadapi Informasi Soal Biaya Hidup yang Tidak Sesuai Kenyataan

Peristiwa38 Dilihat

Perempuan asal China itu mengatakan ia tahu ada “suara-suara radikal yang menyebar ujaran kebencian” terhadap mahasiswa internasional

Oleh: Annika Burgess dan Kelly Wu

Sejak pindah ke Melbourne, Australia, untuk kuliah, Kiki Zhang mengalami kurang tidur, rambut rontok, dan nyeri di bagian dada.

“Setiap hari saya tidak bisa tidur, selalu merasa cemas, khawatir tentang apa yang harus saya lakukan jika saya tidak punya tempat tinggal,” kata Kiki kepada ABC. “Harga sewa rumah sudah terlalu tinggi.”

Perempuan berusia 25 tahun asal China itu mengatakan ia tahu ada “suara-suara radikal yang menyebar ujaran kebencian” terhadap mahasiswa internasional, sehingga mereka semakin disalahkan atas krisis tempat tinggal yang bisa disewa di Australia saat ini.

Namun, kenyataannya, pelajar internasional juga mengalami tekanan untuk urusan tempat tinggal dan sering kali dieksploitasi.

Kiki mencari tempat tinggal di situs web real estat, media sosial, dan forum online. Ia melihat kenaikan harga sewa dari rata-rata 400 dolar (setara dengan Rp 3.974.680) jadi 650 dolar (setara dengan Rp 6.458.855) seminggu untuk apartemen satu kamar tidur.

Dalam sebulan, Kiki bisa mengajukan 30 permohonan penyewaan, hingga akhirnya menemukan sebuah kamar dengan harga sewa 385 dolar (setara dengan Rp 3.825.629,50)  per minggu di apartemen tengah kota, berbagi bersama penyewa lainnya.

Dari halaman informasi visa pelajar Departemen Dalam Negeri Australia, rekomendasi anggaran biaya hidup bagi pelajar internasional adalah 21.000 dolar (setara dengan Rp 208.670.700) setahun. Angka ini belum diperbarui sejak 2019.

Pelajar mengatakan mereka juga masih diberitahu oleh agen pendidikan jika mereka bisa hidup kurang dari itu. Mereka menjual “mimpi” yang jauh dari kenyataan.

Cerita soal sulitnya mencari tempat tinggal serta tekanan finansial sudah menyebar di kalangan pelajar internasional.

Tempat tidur Laura Zhao berupa sebuah sofa di tengah ruang tamu apartemen. (Foto: abc.net.au/indonesian – Koleksi Pribadi)

Laura Zhao, 23 tahun yang belajar di University of Melbourne, mengatakan kenaikan biaya hidup membuatnya “terkejut” dan mereka membuat sejumlah pelajar internasional asal China membatalkan rencana mereka untuk datang ke Australia.

“Saya punya teman yang punya rencana untuk belajar di Australia, tetapi sulitnya situasi saat ini membuat mereka takut dan tidak berani datang,” kata Laura kepada ABC.

Sentimen terhadap pelajar internasional dan masalah keamanan juga memengaruhi keputusan mereka, kata Laura.

Ia menambahkan pandangan mereka soal Australia kini menjadi berbeda dengan apa yang mereka dengar sekarang.

Laura pernah tinggal di hotel atau menumpang tidur di tempat tinggal teman, hingga akhirnya menyerah untuk membayar sekitar 400 dolar (setara dengan Rp 3.974.680) seminggu untuk tempat tidur di ruang tamu di kota Melbourne.

“Saya merasa seperti tercekik dan tidak nyaman tinggal di ruang tamu,” katanya.

“Ini bukan seperti yang pernah saya bayangkan.”

Sektor pendidikan bagi pelajar internasional menyumbang 29 miliar dolar Australia untuk ekonomi Australia pada tahun 2022, menurut lembaga Universities Australia.

Angela Lehamann mengatakan mahasiswa internasional perlu diberi informasi yang akurat dan dapat diandalkan sebelum mereka meninggalkan negaranya. (Foto: abc.net.au/indonesian – Reuters/Loren Elliott)

Pelajar internasional diharapkan membantu mengisi kekurangan tenaga kerja terampil begitu mereka lulus, kata Angela Lehmann, sosiolog dan kepala penelitian di konsultan pendidikan The Lygon Group.

“Ini adalah calon migran ideal yang sudah menunjukkan komitmen untuk tinggal di masyarakat kita dan belajar tentang Australia,” kata Angela kepada ABC.

Ini akan menjadi “kerugian bagi kita” jika mereka tidak merasa didukung, tambahnya.

Angela mengatakan pelajar internasional harus dipastikan memiliki informasi yang akurat dan dapat diandalkan,

Menurutnya informasi seperti ini harus dikomunikasikan melalui “ekosistem” media sosial pelajar internasional.

“Jadi, informasi perlu disampaikan dalam sistem arus informasi mereka sendiri.”

Angela juga memperingatkan tentang narasi yang digunakan, yakni menyalahkan pelajar internasional sebagai penyebab kenaikan harga sewa tempat tinggal.

Penelitiannya menyoroti komentar yang mengatakan pelajar internasional mengambil tempat tinggal “yang sebenarnya ditujukan bagi warga Australia”.

Ada kekhawatiran jika sekitar 40.000 pelajar internasional akan “membanjiri” Australia setelah pemerintah China membuat pengumuman mengejutkan pada bulan Januari, kalau kuliah online tidak akan mendapat sertifikasi gelar.

Kemudian pengumuman anggaran belanja Australia pekan lalu menyebutkan jika jumlah migrasi Australia akan mencapai sekitar 400.000 tahun ini.

Peningkatan angka ini sebagian besar disebabkan karena kembalinya pelajar internasional, pemegang visa terampil, dan peserta ‘Working and Holiday’ visa.

Angela mengatakan ada anggapan jika para siswa mengambil properti dan membuat biaya sewa menjadi melonjak di kota-kota besar.

“Tapi tidak sesederhana itu,” katanya.

Menurutnya masalah-masalah ini sudah ada sebelum mereka datang, yakni meningkatnya biaya hidup di Australia dan makin sulitnya mencari tempat tinggal yang bisa disewa, serta masalah akomodasi jangka pendek.

Rajesh mengatakan penyewa dikenakan biaya tambahan untuk pembersih, tetapi barang-barang berserakan di dalam dan di sekitar rumah. (Foto: abc.net.au/indonesian – Koleksi Pribadi)

Tinggal bersama sembilan orang

Rajesh, seorang pelajar asal India dengan usia yang lebih mapan, tidak mau memberikan nama lengkapnya untuk artikel ini.

Ia mengaku terpaksa pernah tinggal di hotel selama 42 minggu ketika pertama kali datang ke Australia, hingga harus keluar biaya sekitar 10.000 dolar (setara dengan Rp 99.367.000).

Setelah mengirimkan pengajuan sewa yang tidak terhitung sudah berapa kali ditolak, ia menawarkan untuk membayar sewa 12 bulan di muka kepada seorang pemilik rumah.

Ia membayar 255 (setara dengan Rp 2.533.705,50)  seminggu untuk tinggal di luar pusat kota, tepatnya di sebuah rumah dengan empat kamar tidur bersama delapan penyewa lainnya.

Dia tidak hanya tinggal bersama mahasiswa internasional, tetapi sejumlah migran yang tak punya pilihan tempat tinggal lain.

Mulai dari seorang perawat dari Nigeria, seorang ibu dan anak laki-laki asal Sri Lanka, keluarga dari India, bahkan salah satunya adalah warga negara Australia.

Beberapa diantara mereka harus berbagi kamar tidur, sementara yang lainnya tidur di garasi atau gudang yang diubah, demikian penjelasan Rajesh.

Rajesh mengatakan tinggal dengan delapan orang berarti rumahnya selalu penuh dengan barang-barang dan seringkali area bersama tidak bisa digunakan. (Foto: abc.net.au/indonesian – Koleksi Pribadi)

Ia tahu jika kondisi ini ilegal di Australia, tapi ia takut melaporkan pemiliknya.

“Mungkin malah akan menambah kesengsaraan orang lain di rumah.”

Rajesh meminta untuk merahasiakan lokasi tempat tinggalnya untuk artikel ini, karena takut penghuni lain terkena imbasnya.

Angela mengatakan jadi hal umum bagi mereka yang mengalaminya merasa takut bicara.

“Mereka mungkin khawatir tentang eksploitasi atau risiko lain bagi diri mereka sendiri,” katanya.

“Kita perlu memastikan bahwa pelajar, sekali lagi, diberi informasi yang akurat seputar hak dan tanggung jawab dan mitos jika mereka penyebab krisis tempat tinggal di Australia.”

Rajesh awalnya percaya saat pemerintah menyarankan butuh setidaknya 21.000 dolar (setara dengan Rp 208.670.700) untuk biaya hidup di Australia. Tapi saat ini angka tersebut sudah naik.

“Anda tidak dapat bertahan hidup dengan uang itu, kecuali jika mau kelaparan sampai mati,” katanya.

Ia juga menilai para agen pendidikan hanya “menjual mimpi” yang tidak memberikan gambaran jelas soal kehidupan di Australia.

Namun Rajesh masih menganggap dirinya berada dalam posisi yang beruntung secara finansial dibandingkan mahasiswa lain yang “berusaha untuk bertahan hidup”.

“Mengerikan. Benar-benar mengerikan,” katanya. (Artikel ini diproduksi oleh Erwin Renaldi dari laporan ABC News)/abc.net.au/indonesian.*

Tinggalkan Balasan