Pemprov DKI Jakarta memilih PSBB untuk menanggulangi penyebaran virus corona (Covid-19), adakah hasilnya tanpa tes spesimen Covid-19 massal.
Langkah yang dipilih Pemprov DKI Jakarta untuk menanggulangi penyebaran virus corona (Covid-19) adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama 14 hari yaitu sampai tanggal 20 April 2020. Rentang waktu PSBB ini bisa diperpanjang.
Konsekuensi PSBB yang akan diberlakukan mulai tanggal 10 April 2020 ini adalah:
(1). Sekolah ditutup sehingga tidak ada kegiatan belajar, dan kegiatan usaha pun ditutup sehingga karyawan bekerja dari atau di rumah. Pengecualian bagi kegiatan yang terkait dengan kesehatan.
(2). Kegiatan keagamaan dilakukan di rumah dengan tetap memperhatikan jarak fisik yaitu minimal 1,5 meter.
(3). Membatasi kegiatan pelayanan dan fasilitas umum, kecuali kegiatan yang terkait dengan kebutuhan pokok masyarakat dan kesehatan. Pembatasan juga diberlakukan dalam jumlah berkumpul yaitu maksimal empat.
(4). Pembatasan kegiatan sosial dan budaya sehingga tidak boleh ada kerumunan atau kumpulan massa.
(5). Pembatasan moda transportasi umum, termasuk jarak fisik di sarana transportasi umum.
(6). Pembatasan terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Jika dikaitkan dengan penularan Covid-19 pembatasan yang dijalankan tidak sepenuhnya menyentuh akar persoalan yaitu penyebaran virus secara horizontal di masyarakat. Banyak kasus penularan terjadi dari orang-orang yang tertular Covid-19 tapi tidak menunjukkan gejala, disebut OTG (Orang Tanpa Gejala).
China, misalnya, mencatat 1.541 kasus virus corona (Covid-19) tanpa gejala sama sekali, dan 205 diantaranya merupakan kasus impor (Tagar, 1 April 2020). Kondisi ini yang bisa memperparah penyebaran Covid-19 di Jakarta. Kasus kumulatif Covid-19 di Jakarta pada laman corona.jakarta.go.id disebutkan 1.552 dengan 144 kematian dan 75 sembuh.
Sedangkan Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang dalam proses pemantauan sebanyak 544 dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang sedang dirawat 1.035.
Korea Selatan (Korsel) yang semula diduga banyak kalangan di dunia akan jadi episentrum Covid-19 setelah China ternyata berbalik arah. Episentrum Covid-19 justru menyeberang ke Eropa yaitu Italia dan ke Asia Depan di Iran.
Selanjutnya episentrum Covid-19 menyeberang pula ke Amerika Serikat (AS) sehingga sekarang lima negara di puncak pandemi Covid-19 adalah AS, Spanyol, Italia, Prancis dan Jerman. Kematian terbanyak juga di negara ini. Bahkan, kematian akibat Covid-19 di Indonesia lebih banyak daripada di Korsel.
Yang dijalankan Korsel dalam menghambat laju penyebaran virus corona adalah tes spesimen Covid-19 secara massal mulai tanggal 2 Januari 2020, padahal kasus pertama di Korsel terdeteksi tanggal 20 Januari 2020.
Kalau berkaca ke Korsel tentulah langkah Jakarta dengan rapid test dan PSBB sangat tidak mendukung untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Jakarta. Rapid test tidak menjamin kasus positif Covid-19 terdeteksi karena tes ini bisa menghasilkan negatif palsu (hasil tes non-reaktif padahal sudah ada virus di dalam tubuh) atau positif palsu (hasil tes reaktif padahal tidak ada virus di dalam tubuh).
Sampai tanggal 8 April 2020 pukul 10.15 WIB dilaporkan situs worldometers jumlah warga yang menjalani tes spesimen Covid-19 mencapai 477,304. Dengan jumlah ini berarti tes dijalankan terhadap 9.310 warga per 1 juta penduduk.
Sampai tanggal 1 April 2020 dilaporkan 18.077 warga DKI Jakarta jalani rapid test Covid-19 dengan hasil 299 positif. Hasil ini belum valid karena yang positif harus jalani tes kedua dan yang negatif juga harus jalani tes kedua setelah masa isolasi selama 14 hari.
Jika berpatokan ke Korsel, maka Pemprov DKI Jakarta dengan 10,5 juta penduduk harus mengetes 97.755 warga dengan tes spesimen Covid-19 buka rapid test secara cepat.
Hambatan lain adalah keterbatasan akses air bersih terhadap masyarakat di pemukiman kumuh di Jakarta yang sangat rendah. Ini mempengaruhi pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 karena tidak ada air bersih untuk mencuci tangan. Padahal, salah satu langkah utama mencegah penularan Covid-19 adalah sering mencuci tangan. Itu artinya perlu dibuat tempat mencuci tangan yang mudah diakses oleh warga di pemukiman kumuh (tagar.id, 8 April 2020). *