Reaksi dunia terkait dengan hasil uji vaksin virus corona yang menjanjikan perlu juga diperhatikan bawah vaksinasi tidak semerta hentikan pandemi.
Melihat reaksi dunia yang berlebihan terkait dengan hasil uji klinis beberapa merek vaksin virus corona yang dinilai berhasil, tapi karena tidak ada dengan kualifikasi efektivitas 100%, Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO), Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan: dunia mulai bisa bermimpi tentang berakhirnya pandemi (virus corona-red.) (voaindonesia.com, 5 Desember 2020).
Dr Tedros juga mengingatkan penyebaran virus bisa dihentikan sementara secara terbatas, tapi di depan tetap ada bahaya karena vaksinasi tidak otomatis menjangkau 7,8 miliar penduduk dunia dalam waktu yang singkat. Kondisi ini membuat risiko penyebaran virus corona tetap potensial karena epidemi dan pandemi tidak mengenal batas wilayah secara administratif dan fisik. Hal ini membuat interaksi antar umat manusia di Bumi tetap terjadi dengan risiko penyebaran virus, dalam hal ini virus corona.
Baca juga: Covid-19 Tak Kenal Batas Wilayah, Daerah dan Negara
Data terakhir tanggal 11 Desember 2020, pukul 10.44 WIB, seperti dilaporkan situs independen, worldometer, jumlah kasus positif virus corona di dunia mencapai 70.717.552 dengan 1.588.348 kematian. Laporan ini berasal dari 218 negara dan teritorial serta 2 kapal pesiar mewah.
1. Kebencian Ras, Agama dan Bangsa
Banyak warga di banyak negara, seperti di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa yang menolak penguncian (lockdown), di Indonesia disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bahkan, di AS banyak warga yang mengatakan informasi dan berita tentang virus corona (Covid-19) adalah kebohongan besar. Mereka sebut berita itu justru yang merupakan virus.
Hal itu terjadi karena sentimen ras, agama dan bangsa yang merasuki banyak penduduk Bumi yang memakai ‘kaca mata kuda’ dalam melihat fenomena sosial di social settings. Fundamentalisme pemahaman agama yang sempit dan menganggap diri paling benar juga jadi faktor pemicu sentimen ras, bangsa dan agama. Bahkan, Presiden AS, Donald Trump, mengatakan dia berhasil mengatasi ‘virus China’ ketika dia meninggalkan rumah sakit setelah perawatan dengan indikasi terpapar virus corona.
Warga dunia dengan ‘kaca mata kuda’ dan memilih media sosial sebagai sumber informasi berdasarkan ras, agama dan bangsa tidak beranjak dari pemahaman mereka tentang virus corona yang disebut-sebut sebagai konspirasi (persekongkolan). Ini ironis karena sebagian besar hidup di negara dengan tingkat literasi yang tinggi dan tempat media-media terpercaya bermarkas.
Ada kecenderungan kalangan ‘the haters’ lebih memilih media yang tidak mainstream karena menyajikan informasi yang memenuhi kebencian mereka. Sementara media mainstream berpijak pada asas jurnalisme dengan penyajian berita dengan sumber resmi yang terpercaya dan kompeten. Sementara media sosial justru sebaliknya bahkan memutarbalikkan fakta untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya dengan mengabaikan fakta.
Ketika WHO mengumumkan bahwa virus corona merupakan pandemi kalangan industri farmasi dunia, seperti Oxford-AstraZeneca, Moderna, Pfizer-BioNTech, dan Sputnik V terus bergerak melakukan penelitian dan pengujian untuk menemukan vaksin antivirus corona. Ketika beberapa perusahaan berhasil memproduksi antivirus dengan efektivitas paling tinggi 95%, Dr Tedros kembali mengingatkan dunia bahwa negara-negara kaya dan berkuasa tidak boleh menginjak-injak orang miskin dan terpinggirkan dalam kepanikan untuk memperoleh vaksin.
2. 100 Juta Warga AS Divaksinasi 100 Hari Pertama Biden Jadi Presiden
Kekhawatiran Dr Tedros mulai terbukti karena laporan People’s Vaccine Alliance, koalisi vaksin, menyebutkan bahwa 53% vaksin yang diproduksi produsen vaksin sudah dikuasai oleh negara-negara kaya (bbc.com/indonesia, 11 Desember 2020). Itu artinya negara-negara miskin akan terpinggirkan dalam perlombaan membeli vaksin virus corona. Angka yang lebih pasti disebutkan bahwa 70 negara berpenghasilan rendah hanya dapat melakukan vaksinasi terhadap 1 dari 10 warga di negara-negara itu. Ini jadi mimpi buruk penanggulangan pandemi virus corona global.
Memang, pabrik farmasi Oxford-AstraZeneca, Inggris, berjanji memberikan 64% dari dosis yang mereka produksi kepada masyarakat di negara berkembang. Tapi, ini juga tergantung pada kemampuan negara-negara tersebut menyediakan dana untuk membeli vaksin.
Inggris merupakan negara pertama yang menyetujui vaksinasi virus corona dengan vaksin produksi Pfizer dan BioNTech, setelah perusahaan tersebut mengumumkan tingkat keberhasilan vaksin yang diproduksi. Vaksinasi di Inggris sudah dimulai tanggal 8 Desember 2020 pada seorang perempuan berumur 90 tahun.
Amerika Serikat (AS) baru akan menentukan nama vaksin yang akan dipakai untuk mewujudkan janji Presiden terpilih AS, Joe Biden, untuk melakukan 100 juta vaksinasi dalam rentang waktu 100 hari awal pemerintahannya setelah dilantik tanggal 20 Januari 2020.
Biden tentu tidak bermimpi karena dia merangkul pakar-pakar kesehatan yang ‘dibuang’ Presiden Donald Trump hanya karena menyampaikan usul yang tidak bisa diterima Trump. Dengan 50 negara bagian berarti dalam 100 hari setiap negara bagian ada 2 juta vaksinasi. Setiap hari 20.000 warga di satu negara bagian menerima vaksinasi virus corona.
3. Menghentikan Pembangkangan Sipil
Perlu juga disimak pernyataan Menteri Urusan Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (HHS) AS, Alex Azar, dalam acara “Fox News Sunday,” 6 Desember 2020: “Kita ingin orang-orang memperbarui komitmen mereka. Harap pakai masker dan hindari kerumunan orang di bar, restoran dan situasi di dalam ruangan.” (voaindonesia.com, 7 Desember 2020).
Harapan Azar itu bertentangan dengan realitas sosial di banyak negara ketika warga menolak menerapkan protokol kesehatan dan menentang PSBB. Ini merupakan pembangkangan sipil yang akan berujung pada bencana berupa perebakan pandemi virus corona karena vaksinasi tidak semerta bisa dilakukan terhadap semua penduduk Bumi.
Baca juga: Hanya Masyarakat Bisa Putus Rantai Penularan Corona
Indonesia yang sudah membeli vaksin produksi Sinovac (China) akan segera mulai melakukan vaksinasi. Tapi, melihat perilaku sebagian warga dalam bentuk pembangkangan sipil, bahkan dimotori pemuka dan tokoh, vaksinasi dengan target awal pada kalangan di garis depan dalam penanganan pandemi, seperti tenaga medis, tidak banyak berarti dalam upaya memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Baca juga: Pembangkangan Sipil Terhadap Protokol Kesehatan Picu Pandemi
Karena masyarakat Indonesia kental dengan patriarki dan jadikan pemuka agama sebagai panutan sudah saatnya pemerintah mendorong tokoh-tokoh masyarakat dan agama untuk mendukung vaksinasi dan menghentikan pembangkangan sipil yang mengabaikan 3 M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan).
Tanpa langkah-langkah ini vaksinasi tidak akan efektif memutus mata rantai penyebaran virus corona di Indonesia. Setiap hari laporan kasus baru antara 5.000-an sampai 8.000-an. Jumlah kasus virus corona di Indonesia sampai tanggal 11 Desember 2020, pukul 10.44 WIB, worldometer, mencapai 598.933 dengan kematian 18.336 Indonesia ada di peringkat ke-19 dunia dan peringkat ke-4 di Asia (dari berbagai sumber) (tagar.id, 11 Desember 2020). *