Catatan: Ternyata pada tahun 2013 Pemkot Bandung sudah sesumbar akan bebas HIV/AIDS pada tahun 2015, tapi fakta menunjukkan sampai HAS 2023 kasus HIV/AIDS tidak hilang dari Kota ‘Kembang’ Bandung – Mimpi di Siang Bolong Sebut Jawa Barat Bebas AIDS Tahun 2015. Penulis.
“Hari AIDS Sedunia 2023, Kota Bandung Targetkan Nol Kasus dan Tanpa Stigma” Ini judul berita di bandung.go.id, 2/12/2023.
Di lead disebut: Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung terus berupaya menekan penyebaran dan penularan HIV/AIDS serta menanggulanginya. Strateginya antara lain dengan melakukan pelacakan cepat, agar penyintas HIV/AIDS terlacak dan segera diobati permanen.
Menemukan kasus yaitu warga yang tertular HIV adalah langkah di hilir yaitu mereka sudah tertular HIV karena perilaku seksual dan nonseksual berisiko.
Bagaimana mungkin bisa nol kasus HIV di Kota Bandung kalau penanggulangannya hanya di hilir yaitu mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS.
Baca juga: Mengapa Kasus HIV/AIDS di Jawa Barat Paling Banyak di Bekasi dan Bandung?
Biarpun mereka menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ART) tidak menghentikan insiden infeksi HIV baru di luar warga yang menjalani ART.
Yang terjadi adalah risiko penularan dari warga pengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) yang menjalani ART rendah. Bahkan, mereka akan menghentikan penularan mulai dari diri mereka seperti yang mereka ucapkan ketika hendak menjalani tes HIV.
Insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di hulu, terutama pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual berisiko yang justru tidak ada program untuk menjangkaunya.
Laki-laki yang tertular HIV/AIDS, terutama di kalangan heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) dan biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan yang sejenis) tidak otomatis terdeteksi karena ketika mereka tertular HIV tidak semerta menimbulkan gejala dan keluhan terkait dengan HIV/AIDS.
Penjangkauan yang dilakukan komunitas pada umumnya adalah di kalangan gay atau LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki). Sedangkan kalangan heteroseksual dan biseksual tidak terjangkau karena tidak bisa dilihat dengan kasat mata dan mereka juga tidak punya komunitas atau sejenisnya.
Maka, mereka itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Yang punya istri secara horizontal menularkan ke istri. Jika si istri tertular, maka ada pula risiko vertikal penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Disebutkan: Pemkot Bandung juga menargetkan tidak ada lagi kasus HIV/AIDS baru di tahun 2030.
Caranya?
Dalam berita tidak penjelasan yang konkret tentang bagaimana cara yang dilakukan Pemkot Bandung untuk menghentikan insiden infeksi HIV baru.
Salah satu risiko penularan HIV/AIDS pada laki-laki dan perempuan dewasa adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Kota Bandung, di luar Kota Bandung bahkan di luar negeri.
Nah, bagaimana cara Pemkot Bandung mengawasi warganya yang melakukan perilaku seksual berisiko di atas baik di Kota Bandung, di Tanah Air atau di luar negeri?
Tidak ada penjelasan yang jelas dalam berita.
Selain itu ada pula risiko penularan HIV/AIDS yang juga tidak kasat mata yang terjadi pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering ganti pasangan, seperti pekerja seks baik di Kota Bandung, di Tanah Air atau di luar negeri.
Sekarang ini pekerja seks tidak lagi ada di jalanan dan tempat-tempat atau lokalisasi pelacuran, tapi sudah pindah ke media sosial dengan transaksi melalui daring (dalam jaringan) dengan Ponsel.
Eksekusinya juga dilakukan di sembang tempat dan sembarang waktu sehingga mustahil bisa dijangkau untuk melakukan progam pencegahan.
Selain itu tidak semua warga yang mengidap HIV/AIDS terjangkau untuk menjalani program ART sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Kota Bandung dan di luar Kota Bandung tanpa mereka sadari.
Stigma (pemberian cap buruk) terhadap Odha bisa terjadi karena identitas mereka bocor atau dibocorkan. Padahal, salah satu asas tes HIV adalah konfidensial atau kerahasiaan. Itu artinya kalau terjadi stigma terhadap Odha berarti sudah terjadi perbuatan melawan hukum yaitu membeberkan identitas Odha ke masyarakat melalui berbagai cara, seperti melalui media.
Tanpa program yang konkret di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks di prostitusi online, maka mustahil terjadi Nol Kasus (HIV/AIDS) di Kota Bandung. (Sumber: Kompasiana, 4/12/2023) *