Ada Apa di Sepotong Jalan Bernama Cuba di Wellington

Mengembara di pusat kota Wellington, khususnya di daerah CBD atau Central Business District yang daerahnya tidak terlalu luas sehingga masih dapat dijangkau dengan jalan kaki memang cukup menarik. Tentu saja harus dilakukan di saat hari masih siang, karena setelah jam 5 sore, toko-toko dan kantor sudah tutup, sehingga jalan-jalan itu pun menjadi sepi, dan hanya tinggal restoran dan cafe saja yang mengisi kehidupan malam di ibu kota Selandia Baru ini.

 

Salah satu tempat yang juga termasuk dalam “Ten things to do in Wellington” adalah Cuba Street yang terletak beberapa menit jalan kaki dari water front Wellington. Dari ujung utara saya memasuki Cuba strret melalui Wakefield Street yang tidak terlalu jauh dari Museum “Te Papa” dan perjalanan menyusuri Cuba Street atau disebut juga“Cuba Mall” pun di mulai.

 

Berdasarkan peta yang ada, jalan yang khusus diperuntukkan bagi pejalan kaki atau “pedestrians only” ini akan melewati beberapa persimpangan mulai dari Manners Street yang cukup ramai dan sampai sedikit mendaki dan berakhir di Webb Street.

 

Potongan pertama Cuba Street antara Wakefield Strret dan Manner Street tidak terlalu banyak dipenuhi toko atau restoran. Bahkan kebanyakan bangunan di situ tampak sedang direnovasi dan hanya ada beberapa toko yang buka dan tampak sepi pengunjung. Di tengahnya masih tersisa sedikit jalan aspal yang masih bisa dilewati kendaraan dan sepeda.

 

Selepas Manner Street, barulah Cuba Mall yang sesungguhnya dimulai. Sebuah papan bertuliskan “Cuba” dan sebuah bintang merah menjadi penanda dimulainya Cuba Mall. Di papan itu tertulis semua yang ada di Cuba. Mulai dari acupuncture, antique, arts, sampai dengan tattoo, technology, travel, vinyl dan masih banyak lagi tersusun rapi berdasarkan abjad. Namun yang paling terpenting adalah di tempat kita bisa menyaksikan “the most fascinating mix of people in the country”.

 

Di Cuba street ini, kita memang bisa menyaksikan apa saja dan juga siapa saja. Bahkan di tempat ini, banyak sekali terdapat kumpulan café, restoran, toko buku, butik, toko fashion, musik, galeri seni . Tempat ini juga sangat menarik untuk dikunjungi karena banyak tersedia kursi taman dari kayu di mana kita dapat duduk bersantai sambil menyaksikan para pejalan kaki yang lewat.

Saya terus menyusuri jalan ini. Tidak terlalu terjauh dari Manners Street, saya menemukan sebuah plakat batu . Ternyata plakat ini merupakan peringatan diresmikannya Wellington pada tahun 1995 sebagai salah satu ibukota perdamaian .

 

“There shall come a time when this world of ours will be flooded with peace. Who is to bring about this radical change? It will be you; you and your sisters and brothers.You and your one-ness heart will spread peace. Through out the length and breadth of the world.” Sri Chinmoy.

 

 

Demikian kata-kata mutiara yang ditorehkan pada plakat batu yang berlatar belakang warna biru laut itu. Sri Chinmoy sendiri ternyata seorang guru spiritual yang berasal dari India dan juga penggagas perdamaian dunia. Selandia Baru sendiri merupakan sebuah negeri yang dinyatakan bebas nuklir, karenanya Wellington pun dinobatkan sebagai salah satu ibukota perdamaian dunia pada 1995 oleh tokoh yang pernah dinominasikan sebagai pemenang hadiah nobel perdamaian pada 2007 ini.

 

Saya terus berjalan, mendekati daerah Mid Cuba. Di tempat ini suasananya agak sedikit berubah. Masih terdapat sisa-sisa tempat yang konon di akhir abad ke dua puluh atau sekitar tahun 1980-an, pernah menjadi pusat kawasan “lampu merah” di Wellington. Dulu di kawasan ini pernah menjamur penggiat kehidupan lain yang dianggap kurang baik oleh masyarakat seperti prostitusi, dan juga kumpulan bar-bar dan serta  para pengemis maupun gelandangan. Namun sore itu kawasan ini tampak sangat sepi.

 

Saya terus kembali berjalan dan di suatu tempat saya menyaksikan seorang gelandangan yang hanya duduk bersandar di dekat etalase toko yang isinya merupakan kumpulan pakaian dan mode merek kelas atas. . Kelihatannya pria berumur 30 tahunan ini tampak lusuh. Rambut pirangnya tampak gondrong dan wajahnya ditutupi kumis dan berewok yang tidak terawat. Jaket tua berwarna coklat tua dan celana panjang berwarna krem serta sepatu berwarna coklat melindungi tubuhnya dari cuaca yang cukup dingin di senja di Cuba Street. Sebuah botol plastik minuman ringan yang tampak kosong bertengger di dekat paha kirinya. Sangat ironis dengan fakta bahwa Selandia Baru merupakan salah satu negeri termakmur di belahan dunia selatan.

 

Tidak jauh dari sang gelandangan ini, terdapat seorang pengamen, anak muda berkacamata yang tampak perlente. Tubuhnya bahkan sedikit gemuk. Dengan riang dia memainkan sebuah lagu pop sambil memetik gitar. Di kakinya juga bersandar sebuah biola. Sebuah tas gitar berwarna hitam terlihat tergolek dalam keadaan terbuka sekaligus menjadi tempat para pejalan kaki memberikan sebagian uang receh berupa uang logam dollar New Zealand.

 

 

 

Sementara di dekat sebuah taman air mancur di Cuba Street ini, terdapat lagi seorang gadis pengamen. Tampak bertelanjang kaki dan hanya mengenakan T shirt lengan pendek berwarna hitam dan juga celana panjang jin  berwarna gelap. Wanita berumur dua puluh tahunan ini berambut model crew cut, berkaca mata hitam dan kulitnya sangat putih cerah dan tampak bersih. Gitar ditangan nya terus dipetik sambil mendendangkan lagu-lagu bernada riang. Sementara sebuah topi pet coklat tua diletakkan di lantai dekat kakinya untuk menampung uang receh.

 

Berjalan-jalan di Cuba Strret yang disebut juga Cuba Mall di jantung kota Wellington ini memang cukup mengasyikkan. Selain berbelanja, membeli suvenir, minum kopi di Cafe atau makan di restoran. Kita juga dapat melihat lebih banyak orang dengan segala macam pernak-pernik permasalahannya yang ikut memperkaya jiwa kita.

 

Semoga

 

 

 

Tinggalkan Balasan