Nglanggeran. Nama ini membuat saya harus keseleo lidah setiap kali mengucapkannya. Namun rasa penasaran dan keingintahuan apa itu Embung membuat kami akhirnya sampai juga di kawasan Eko wisata Gunung Purba Nglanggeran yang terletak di Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul ini.
Setelah berkendara lebih dari satu jam dari pantai Baron, kami tiba di tempat parkir Kawasan Ekowisata ini. Di sini ada sebuah papan informasi yang menjabarkan mengenai beberapa tempat wisata yang ada di sekitar termasuk Kebun Buah Nglanggeran dan juga Embung Nglanggeran.
“Selamat Datang Kebun Buah Nglangeran,” demikian tertera tulisan raksasa dengan warna putih yang terdapat di bukit di kejauhan. Bukit, atau lereng ini tampak sangat subur dan hijau dengan rerumputan dan berbagai pohon. Salah satu yang saya kenali adalah pohon pisang dengan daunnya yang khas.
Kami kemudian menyusuri jalan setapak yang lumayan lebar dan nyaman dan sampai ke sebuah prasasti yang ditempelkan pada dinding batu alam. “
“Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa, Kebun Buah Nglanggeran, Diresmikan Selasa Tanggal 19 Februari 2013, Oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Hamengku Buwono X,” kata-kata ini terukir pada prasasti yang terbuat dari marmer warna hitam. Di dekatnya ada replika buah durian dalam ukuran besar yang terbuat dari batu. Ada dua buah durian, yang satu utuh dengan duri-duri tajam dan kulitnya berwarna hijau, serta yang satu lagi di atas terbuka salah satu juringnya sehingga menampakkan buahnya yang juga besar dan berwarna kuning mengundang selera.
Wah asyik nih bisa melihat kebun durian. Pikir saya dalam hati sambil kemudian melangkahkan kaki ke bebukitan di dekatnya. Dari sini, kitab isa melihat hamparan lereng-lerang yang subur dan hijau ditumbuhi berbagai jenis pohon, termasuk pisang dan kelapa dengan latar belakang tebing-tebing bukit. Mungkin saja di lereng di bawah sana terdapat pohon dan kebun duriannya.
Tidak jauh dari prasasti ini, di salah satu patok kayu terdapat tulisan warna putih “Hamemayu Hayuning Buwana,” pada selempeng kayu berwarna cokelat. Tulisan yang artinya mempercantik keelokan alam ini memang sering saya jumpai di Yogya dan merupakan salah satu jargon kearifan budaya lokal yang patut kita junjung, dukung dan hormati.
Dari sini ada tangga dari batu yang lumayan tinggi. Dengan perlahan saya mendaki setiap anak tangga yang kalau dihitung jumlahnya entah berapa, yang jelas beberapa puluh anak tangga. Nah kemudian di salah satu tikungan, dengan latar belakang pemandangan yang indah, ada Kota Wono Sari di kejauhan dan beberapa puncak bukit dan gunung, saya menemukan lagi enam lempeng papan kayu yang berisi tulisan selamat datang dan teman-temannya.
“Selamat Datang di Embung Nglanggeran,” tulisan ini diikuti dengan empat larangan dan satu ucapan terima kasih. Empat larangan itu adalah berenang di embung, membuang/melempar apa pun ke dalam embung, masuk/duduk di dalam pagar embung, dan membuang sampah sembarangan. Ucapan terima kasihnya disertai pernyataan Anda Luar Biasa. Benar-benar mengagumkan tanda selamat datang ini.
Saya melanjutkan mendaki puluhan anak tangga lagi untuk sampai ke embung alias empang atau kolam buatan. Begitu tiba di tepi embung, pemandangan nya benar-benar luar biasa. Terbayar sudah rasa Lelah setelah mendaki puluhan anak tangga tadi. Embung ini lumayan luas, menurut informasi yang saya dapat kemudian sekitar 2400 meter persegi dan permukaan airnya sangat tenang bagaikan sebuah telaga alam nan permai. Warna air yang kehijauan konon diakibatkan lumut yang menempel di dinding embung.
Embung atau telaga buatan ini memang dibuat selain untuk menampung air hujan dan juga dari pegunungan di sekitar, tentunya digunakan untuk pengairan perkebunan termasuk kebun duren yang kita lihat di bawah tadi. Kalau kita melihat ke deretan bukit uang ada di kejauhan, ada sebuah kampung yang Namanya Kampung Pitu alias Kampung Tujuh. Hal ini karena di kampung tersebut hanya ada tujuh keluarga. Menurut legenda kalau ada keluarga yang kedelapan, biasanya akan terjadi bencana atau cekcok sehingga akhirnya hanya tujuh keluarga yang tinggal.
Berjalan mengelilingi embung ini sangat mengasyikkan, walau Mentari bersinar dengan terik, rasa hangat dapat diusir dengan embusan angin sepoi sepoi. Maklum ketinggian embung ini sekitar 500 meter dari permukaan laut. Di tepi embung ada pagar yang mengelilingi sehingga kita merasa aman berjalan santai sambil menikmati pemandangan.
Saya berjalan dan mengambil gambar embung dari beberapa sudut yang cantik. Baik dari dekat maupun dari kejauhan. Tentunya untuk mengambi foto embung secara keseluruhan, saya harus kembali menaiki bukit kecil yang ada di dekatnya. Selain itu ada juga pondok kecil untuk beristirahat.
Setelah puas berwisata di embung ini. Berwisata dalam kesunyian karena kebetulan siang itu hanya ada beberapa wisatawan yang berkunjung. Saya kembali ke tempat parkir. Dan ternyata di sini ada sebuah papan informasi yang menjelaskan proses pembuatan embung. Dijelaskan dari hari pertama hingga beberapa tahap hingga akhirnya proses pembuatan embung akan hampir selesai pada hari ke 78.
Selain embung dan kebun buah, di desa Nglanggeran ini kita juga bisa berwisata kuliner yaitu menikmati dodol kakao, melihat proses pembuatan dan menikmati susu kambing etawa dan pisang salut coklat.
Siapa sangka sebuah kawasan gunung api purba di gunung kidul yang dulu merupakan tempat yang terkenal sering kesulitan air, kini dengan adanya embung berhasil disulap menjadi tempat wisata yang cantik sekaligus menghasilkan berbagai jenis buah termasuk duren dan juga wisata kuliner lainnya.
Oh ya, ada berbagai jenis duren yang terkenal dari Nglanggeran adalah Duren Montong dan Bawor yang terkenal akan kelezatannya.