Selamat pagi Pak Mario dan sahabat persusuh.
Duka Mantan diungkapkan dalam sebuah puisi nan syahdu menyentuh. Demikianlah berseteruan antara kecewa dan bahagia sangat relatif berbanding lurus dengan suasana hati.
Penghargaan sepatutnya diberikan kepada mantan yang berhasil mensejahterakan rakyat walaupun akhirnya terkena musibah pandemi covid 19.
Memang budaya penghormatan kepada para mantan diantara bangsa berbeda, Apakah hal ini terkait dengan Agama nan di anut tentu perlu penelitian.
Bersyukur NKRI sangat menghormati para pahlawan. Pahlawan husnul khatimah
Akhir nan baik ditandai nama tetap harum paska pensiun tidak terterpa tindak pidana korupsi, Selain itu para pensiunan bebas dari tuduhan pengkhianatan terhadap Ideologi Pancasila.
Have a nice week end Abah and fans,
Disway.id
SAYA hampir menipu diri sendiri dan menipumu.
Mencintai dan dicintai belum tentu berbanding lurus.
Saya tahu disakiti adalah suatu keberuntungan.
Tapi aku tidak bisa menyerahkan diriku sepenuhnya.
Aku berusaha keras untuk mengubahmu, tapi aku tidak bisa mengubah jalur tersembunyi yang telah kucadangkan untukmu.
Kupikir berada di sisimu akan selamanya.
Sepertinya baru kemarin, namun kemarin sudah sangat jauh.
Tapi aku masih bisa melihat ketika aku memejamkan mata.
Seandainya saya Liang pasti bisa mengulas lebih baik makna lagu Sayangnya Bukan Kamu ini.
Baru pertama saya mendengarkan lagu itu. Kemarin pagi. Yakni ketika di medsos, di Tiongkok, muncul kembali lagu menjelang tahun 2000 itu.
Itulah cara sebagian orang di Tiongkok memberi pertanda ada sesuatu yang duka pagi kemarin.
”Saya tahu disakiti adalah suatu keberuntungan. Tapi aku tidak bisa menyerahkan diriku sepenuhnya”. Atau ”Aku masih bisa melihat ketika aku memejamkan mata”.
Yang memejamkan mata kemarin pagi itu Anda sudah tahu: Li Keqiang. Selamanya. Ia meninggal dalam usia 68 tahun. Yakni ketika baru tujuh bulan tidak lagi menjabat perdana menteri Tiongkok.
Li Keqiang tergolong pemimpin hebat yang mengakhiri jabatannya dengan agak sedih. Ia dua periode jadi perdana menteri. Periode keduanya bernasib kurang baik. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok menurun. Tumbuh, tapi lebih rendah. Untuk kali pertama. Sejak 40 tahun sebelumnya.
Penurunan itu sulit di-stop. Sampai beberapa tahun kemudian. Pun sampai sekarang. Padahal ekonomi adalah tanggung jawab perdana menteri.
Ditambah lagi meledaknya Covid-19. Tekanan pada Li Keqiang luar biasa.
Ia tidak diajak serta ketika Presiden Xijinping berhasil memperpanjang periode. Li Keqiang sudah merasa tidak akan diajak berpasangan lagi di periode ketiga.
Maret lalu Xi Jinping memilih pengganti Li Keqiang. Namanya: Li Qiang.
Dua bulan sebelumnya pun pertanda itu sudah ada: Li Keqiang tidak lagi menjabat salah satu pimpinan puncak partai komunis Tiongkok.
Sejak itu tidak ada lagi berita: ke mana Li Kejiang, di mana ia dan melakukan apa. Begitulah budaya politik di Tiongkok. Pemimpin yang sudah pensiun tidak pernah tampil. Tidak mau tampil. Mungkin juga tidak boleh tampil. Atau tidak diberi ruang tampil.
Pun mereka tidak pernah berkomentar. Apa pun. Termasuk mengenai keadaan pemerintah. Apalagi berkomentar mengenai pejabat yang menggantikannya.
Tidak ada pejabat lama mengkritik pejabat yang baru.
Maka hilangnya nama Li Keqiang dari peredaran biasa saja. Jangankan Li Kejiang. Sekelas presiden Jiang Zeming dan PM Zhu Rongji pun bukan siapa-siapa lagi setelah tidak menjabat.
Di Indonesia juga ada mantan pejabat yang seperti itu: Jenderal Polisi Sutarman. Begitu tidak jadi kapolri, Sutarman menjauh sejauh-jauhnya: ke pelosok Sukabumi. Menjadi petani. Beneran. Tiap hari ke sawah. Kadang bersama istri.
Kadang saya dikirimi foto ketika padi di sawahnya lagi indah menguning. Atau ia lagi berjalan di pematang di tengah sawah. Di Sukabumi yang damai. Indah. Alamiah.
Tapi ia, kelihatannya, juga lagi pusing di tengah kedamaian alam: sawahnya mengering. Sulit dapat air. Hujan tidak kunjung turun.
Setidaknya saya masih tahu di mana Jenderal Sutarman sekarang.
Orang Tiongkok tidak tahu di mana para mantan pemimpin mereka. Tahu-tahu ada lagu lama yang diputar: Sayangnya Bukan Kamu. Tanpa tahu siapa yang meninggal dunia. Bahkan ada yang berspekulasi itu Xi Jinping sendiri.
Beberapa jam kemudian barulah muncul berita resmi: Li Keqiang meninggal dunia. Di Shanghai. Ketika lagi istirahat di kota itu. Penyebabnya: serangan jantung.
Hanya itu. Tidak lebih dari itu. Tidak ada cerita apa-apa lagi. Pengabdiannya telah selesai. Anda bisa Googling sendiri seberapa hebat ekonom Tiongkok kelahiran Anhui dan alumnus Beijing University itu.
Salah satu kata-katanya yang akan abadi adalah: ”aliran air di sungai Huang Ho dan Yangtze tidak akan pernah kembali mengalir ke hulu”.
Keterbukaan ekonomi Tiongkok tidak akan pernah kembali ke sistem komunisme lama. Liberalisasi ekonomi akan terus berlanjut.
Itu juga yang mungkin membuat misinya sulit diperjuangkan. ”Aku berusaha keras untuk mengubahmu, tapi aku tidak bisa mengubah jalur tersembunyi yang telah kucadangkan untukmu”.
Xi Jinping memandang liberalisasi ekonomi sudah kebablasan. Jarak kaya miskin kian menganga. Ideologi komunis tergerus terlalu dalam. Xi Jinping tidak mau itu.
Simbol liberalisasi terjauh adalah Jack Ma dengan Alibabanya. Maka Jack Ma pun harus direm. Demikian juga yang lainnya.
Maka Li Keqiang digambarkan mirip lagu Fish Leong (梁靜茹, Liang Jingru) kelahiran Negeri Sembilan Malaysia itu: ”Kupikir berada di sisimu akan selamanya”.
Tidak. Seseorang tidak bisa selamanya berteman. Pemilu kadang memisahkan.
Liang Jingru (bukan Liang komentator Disway) bukan politisi. Dia penyanyi mandopop tahun 2000-an. Dia baru belajar Mandarin setelah pindah ke Taiwan. Tapi lagunya sering dipakai untuk kabar duka seperti ini. Lagu mandopop yang sedih.(Dahlan Iskan)
- Salam Salaman
- BHP, 29 Oktober 2023
- TD