Tulisan Tanpa Pragraf
Catatan Thamrin Dahlan
Setiap peristiwa pertama dalam kehidupan tidak selalu sempurna. Bisa dimaklumi mengingat disana belum berperan pengalaman. Contoh paling gampang ialah malam pertama bagi pengantin baru.
Demikian pula pada kehidupan penulis pemula. Ketika mem posting tulisan pertama maka tolong dipermaklumkan kualitas artikel itu seadanya. Hari Jum’at Bapakku merupakan tulisan petama awak di kompasiana.com. Setelah berhasil membuat akun 19 Agustus 2010 segera sehari kemudian berhasil pula tulisan pertama (diterima) Admin.
Hari ini 12 tahun berlalu awak melihat kembali tulisan tersebut. Tersenyum bercampur haru. Tulisan tersebut saking semangatnya sambung menyambung kata menjadi kalimat hanya dipisah ttiik dan koma. Tidak ada pembatas dari satu ide ke ide lain.
Terus terang waktu itu awak tak paham betul apa itu paragraf. Untunglah seorang kompasianer senior dengan cara yang sangat mulia mengajarkan bagaimana memisahkan tulisan paragaraf per paragraf.
” supaya enak dibaca”
tambah beliau lagi
” capek membaca tulisan tanpa paragraf, bisa kehabisan nafas”
Terima kasih senior, awakpun lupa nama Beliau. Kebetulsan catatan di kolom koment sudah tidak ada lagi. Mungkin terhapus oleh system karena sudah cukup lama. Artekel perdana di baca 131 orang dan 2 comment.
Hari ini 18 Desember 2022 ulasan terkait tulisan perdana tanpa paragraf adalah posting ke 2.964 berdasarkan jejak digital server komapsaiana. Belum lagi tulisan di website YPTD terbitkanbukugratis.id. Pembelajaran membuat tulisan berparagraf memang membuat tampilan menjadi elok dan cantik dilihat. Juga enak dibaca apalagi untaian kata menjadi kalimat ibarat air mengalir.
Menulis hari ini adalah catatan sejarah untuk hari kemudian. Baiklah sebagai pembelajaran dan proses menulis awak serta kan dokumentasi tulisan pertama tanpa paragraf. Sengaja tulisan tersebut tidak diedit untuk menunjukkan betapa lugu dan lucu penulis pemula tampil di kompasiana.com
Disamping itu posting tidak pula di sertai dokumentasi gambar. Terus terang saat itu awak belum begitu pandai bagaimana cara meletakkan gambar atau foto didalam artikel. Satu ungkapan saja, kompasiana telah memberikan kehidupan baru bagi seorang pensiunan.
Dunia jurnalis ini membuka cakrawala dan lahan beramal ibadah. Motto menulis seperti nan tertera di wall profil kompasiana Sharing, Connecting on Rainbow, Penasehat, Penakawan dan Penasaran. Dan.. tulisan tulisan tersebut kini telah diabadikan kedalam 50 Judul Buku…. Terima kasih Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Berikut disampaikan Tulisan perdana Tanpa Paragraf : Hari Jum’at Bapakku 20 Agustus 2010
Hari Jum’at bagi Bapak-ku adalah hari yang sangat istimewa. Semua kegiatan kesehariannya di hari istimewa itu dihentikan, kecuali ibadah dan ibadah. Bapakku tidak pergi menyiangi ladang, Bapak tidak membersihkan kolam, Bapak tidak keliling kebunnya memetik hasil, dan Bapak tidak pergi kepasar. Kegiatan Beliau konsentrasi full ibadah. Sebenarnya ibadah menyambut hari Jum’at sudah dimulai pada shalat maghrib Kamis malam. Menurut Bapak ; pergantian hari di tahun Hijriah dimulai ketika azan maghrib dikumandangkan, artinya kamis malam sudah termasuk hari jumat. Berbeda dengan hitungan kalender Masehi, dimana pergantian hari dimulai pada pukul 00.00. tengah malam buta. Shalat berjamaah selalu bapak tegakkan di masjid kampongku yang letaknya agak kearah timur, kira kira 200 meter dari rumah. Mengambil Wudhu dilakukan bapak sebelum berangkat ke Masjid, niat nilai ibadahnya sudah mulai dicatat. Wudhu selalu dilakukan bapak di kolam bawah rumahku. Mengenakan sarung berwarna putih dan baju koko potongan cina kesukaannya serta kopiah hitam agak kecoklatan saking tuanya adalah seragam harian bapak untuk shalat berjamaah di masjid. Walaupun sudah menunaikan ibadah haji, kopiah putih jarang Bapak kenakan dikepalanya. Sampai sekarang aku tidak tahu alasan Bapak, tapi kata adikku si bungsu Yahya, dia tahu kenapa sebabnya. Ketika kutanya adikku, si pengkor ini mengatakan, bahwa itu adalah rahasia aku dan Bapak berdua, katanya. Nanti akan aku ceritakan suatu waktu kata adikku. Berjalan kaki menggunakan terompah kulit, Bapak menuju masjid melewati jalan setapak yang dipenuhi rerumputan sepanjang kebunnya yang luas, jalanan miring agak mendaki sedikit . Bapak datang selalu lebih awal, artinya ketika muazin belum mengumandangkan azan maghrib. Bapakku sudah masuk di ruang dalam masjid setelah terlebih dulu mengiinfaq-kan sedikit rezekinya di kotak amal . Selanjutnya Beliau menunaikan shalat sunah tahyatul masjid dan kemudian duduk tenang berdzikir disyaf terdepan, menunggu waktu shalat. Masjid Al Ikhlas setiap malam Jum’at selepas shalat maghrib menjelang shalat isya berdurasi sekitar 45 menit, di isi dengan kegiatan taklim berupa membaca Surah Yasin. Taklim ini dipimpin oleh Pak Pakih Sutan Bandaro, kemudian ada tauziah singkat dan diakhiri dengan doa doa. Selepas shalat isya, tradisi di masjid jamaah ber sapa – salam-salaman secara berkeliling dan sebelum pulang dua rakaat lagi shalat bada’ isya. Bapak meninggalkan masjid bersama jamaah lainnya beranjak pulang kerumah ketika alam beranjak kelam, melewati jalan dengan route yang lain dari jalan ketika berangkat. Jalan pulang ini melewati perumahan bagus milik perusahaan minyak dan jalanannya bukan dari aspal tetapi dari tanah yang berwarna merah kecoklatan karena selalu disiram minyak mentah Inilah salah satu kebiasaan Bapak, dengan melalui route jalan pulang pergi berbeda-beda ketika ke Masjid, kata Beliau laporan pencatatan amal kebaikan datang dari 2 malaikat yaitu satu malaikat mencatat di waktu berangkat dan satu malaikat lainnya mencatat ketika pulang dari masjid. Tentunya catatan ke dua malaikat itu dilaporkan ke komputer trliyunan mega bite di lauh mahfuz, Cerdas juga Bapakku, dan pola route ke masjid ini oleh anak dan cucu2 nya terus ditiru agar pahala kebaikan untuk bapak / datuk terus mengalir. Diusianya yang hampir meranjak 70 tahun, penglihatan bapak masih terang, beliau tidak pernah membawa senter ketika ke masjid seperti yang dilakukan bapak2 lain yang selalu menggenggam lampu bateri itu sebagai suatu kelengkapan orang kampong ketika berjalan malam hari. Dari jauh mamak sudah mendengar terompah Bapak, jalan agak menurun menuju rumahku melewati pepohon durian , pohon jambu, pepohonan kelapa dan pohon-pohon rambutan. Bapak mengatakan kepadaku bahwa sebelum memasuki rumah dan mengucapkan Assalamualaikum, sebaiknya bacalah terlebih dulu ayat kursi 7 kali. Mengapa tujuh kali ?. Bapak mengajari kami bahwa bentuk bangunan rumah itu ada enam sisi, yaitu atas – bawah, (atap dan pondasi); kiri – kanan (dinding dan dinding) dan depan – belakang,(teras dan dapur) serta bagian dari isi rumah : satu (harta benda). Dengan se izin Allah SWT, ayat kursi itu akan melidungi rumahmu dan rumah tetanggamu disekitarnya dari marabahaya yang datang dari atas, (reruntuhan), dari bawah (longsor, gempa), dari kiri dan kanan ( kebakaran, banjir ) dan dari depan –belakang ( kemalingan dan perampokan) dan isinya terjamin aman. dan terlindungi dari mala petaka lainnya….. Allah Akbar. Alhamdulillah sampai saat ini rumah di kampongku Insya Allah memang terjaga dari marabahaya dan malapetaka itu, amin. ( bersambung……)
Anda sudah menyaksikan format satu naskah tanpa paragrap. Sakit mata membaca tulisan seperti itu. Ya belajar dan terus belajar agar semakin pintar. Ada langit diatas langit . Kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT Tuhanh Yang Maha Kuasa.
Pada saat anda akan menyetujui pesan bermakna seperti ini.
“Semakin banyak yang kita ketahui maka semakin banyak pula yang belum kita pelajari”
Ketika anda sudah berada pada tahap pemahaman seperti ini maka kesadaran akan besarnya Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa sudah terpatri di hati. Allah Akbar.
Point yang ingin disampaikan disini adalah bahwa kegiatan menulis sejatinya bermakna mengabadikan peristiwa demi peristiwa yang menghampiri anda. Sejujurnya semua orang bisa bercerita tentang peristiwa yang dialami atau tentang ide ide tetapi dia akan lelah sendiri bersebab hanya segelintir orang yang mengetahui dan kemudian lupa apa yang dikisahkan.
Sebaliknya seorang jurnalis memiliki kelebihan melalui hasil karya dan kreasi tulisan. Setiap peristiwa itu terrekam abadi. Penulis tidak perlu bercerita kesana kesini, cukup share tulisan di media sosial maka seketika kisah kisah itu dibaca khalayak. Apalagi ketika tulisan dikumpulkan kemudian menjadi buku.
- Salam Literasi
- BHP, 17 Des 2022
- TD