Hari-Hari Pertama (Bagian 2)

Fiksiana, Novel200 Dilihat

“Baiklah, bagaimana kalau kita jemput bola, kita datangi rumah-rumah orangtua siswa, yang tidak daftar kolektif lewat guru SD-nya. Kita pastikan alasan mereka tidak menyekolahkan anak-anaknya. Sampaikan bahwa anak usia mereka wajib bersekolah minimal sampai SMP. Karena hal itu menjadi program pemerintah. Bagi yang tidak mampu akan mendapatkan bantuan PIP. Lalu kita gratiskan untuk seragam olahraga dan lain-lain yang dikelola oleh sekolah,” kataku pada lanjutan rapat setelah isoma.

Para guru sangat antusias dengan ideku. Lalu dibentuklah kepanitiaan PPDB yang akan melakukan gerilya dari rumah ke rumah, untuk mengusahakan agar siswa yang mendaftar akan bertambah dari biasanya.

Dalam rapat diketahui pula bahwa ternyata tidak hanya satu SD yang  ada di desa itu. Ada SD  sekitar tiga kilometer jaauhnya dari SMP tersebut, dan yang melanjutkan hanya satu dua anak saja yang orangtuanya cukup mampu. Ini menjadi target sekolah untuk menjaringnya supaya mau bersekolah. Semua guru mendukung dan siap berpartisipasi. Maka ditambah pula anggota panitia yang bersedia untuk melakukan program tersebut. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur atas antusiasnya para guru untuk menjalankan program baru tentang PPDB.

“Tapi maaf Bu,” kata sang wakasek,” Bagaimana dengan bensin untuk ke sananya? Maklum kami tidak punya uang , malah bulan ini aja belum gajihan.”

Mendengar hal itu aku merasa iba, dan menyuruh untuk menghitung berapa kira-kira biaya untuk  bensin yang dibutuhkan. Setelah disetujui langsung aku mengeluarkan sejumlah uang untuk membiayai transportasi PPDB. Aku maklum tidak bersisa serupiahpun uang sekolah untuk operasional tahun pelajaran baru. BOS Tri Wulan ke tiga biasanya cair pada bulan September.

Kemudian aku bertanya tentang sistem penggajian guru. Mereka menjawab bahwa gajian dibayarkan tiga bulan sekali ketika cair uang BOS. Hal ini membuatku sangat prihatin sakaligus merasa salut akan pengabdian guru-guru yang semuanya sudah tujuh tahun mengabdi semenjak berdirinya sekolah itu.

Pengabdian guru-guru di SMP satu atap itu layak mendapatkan acungan jempol. Betapa tidak, perjalanan yang terjal mereka jalani setiap hari, demi anak didiknya yang siap menantinya di depan kelas. Padahal besarnya gaji yang mereka terima jauh dari layak, paling tinggi hanya RP 600.000,- per bulan. Tentu tidak sebanding dengan pengorbanan mereka. Namun mereka menjalaninya dengan ikhlas. Karena sudah nasib mereka, katanya.

Setelah rapat kami sudahi pada pukul 14.00, kami pun pulang. Kali ini ada tiga sepeda motor beriringan ke arah yang sama denganku, karena ada empat orang guru yang tinggal jauh di bawah. Perjalanan kali ini kunikmati, hati merasa senang dan penuh harapan optimis. Sekitar lima kilometer perjalanan, teman-teman guru berbelok ke kanan, karena di sanalah kampung mereka. Aku dan Dede meneruskan sisa perjalanan, masih ada bagian-bagian yang terjal. Kakiku terasa pegal-pegal sekali, karena ketika jalan menurun tajam, seakan kaki ini ikut injak rem, kaku, maklum belum biasa menempuh perjalanan yang seperti itu. Namun,  lagi-lagi pemandangan indah yang kulihat mampu meredam segala keluh.

Sesampainya di rumah, aku menceritakan semuanya kepada suami, bukan maksud membuka rahasia urusan pekerjaan, tapi untuk meminta masukan solusi tentang  keuangan sekolah yang sekarang nihil. Terutama tentang gaji guru-guru. Aku merasa iba kepada mereka yang rata-rata memiliki anak balita. Bagaimana mereka mencukupi kebutuhan akan susu anak-anaknya.

Alhamdulillah, suamiku memberi solusi, untuk gaji guru pakai dulu uang kami, toh nanti bila BOS cair bisa dikembalikan. Aku merasa bersyukur atas kebaikan hati suamiku. Tak hentinya kupanjatkan doa, semoga aku dapat menyelesaikan semua permasalahan di sekolah dengan baik.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

6 komentar