CATATAN PERJALANAN KEPALA SEKOLAH DAERAH TERPENCIL (Bagian 21)

Fiksiana105 Dilihat

11th Day’s Challenge

Hari- Hari Terakhir yang Menguras Pikiran

Hari ketiga pada tahun ajaran baru, Bu Een membawa kabar tentang kelanjutan masalah pindahnya siswa secara masal itu. Ia bilang bahwa kemarin kepala sekolah dari sekolah yang baru itu, sebut saja pak X, datang ke rumahnya, atas permintaan pak Kades. Karena sebelumnya Bu Een menceritakan permasalahan yang dihadapi kepada pak Kades, maka beliau menyarankan agar pak X  datang ke SMP, dan  berbicara dengan kepala dingin agar semuanya bisa clear. Namun pak X tidak bisa datang pada jam kerja,  karena harus mengajar, maka sepulang sekolah ia mendatangi rumah bu Een.

“ Lalu bagaimana kelanjutannya, Bu?” tanyaku penasaran. “Intinya mah, ia tidak merasa salah atas pindahnya siswa-siswa kita, karena ia tidak melakukan paksaan. Begitu katanya, Bu, “ kata bu Een.

“ O.k. kalau itu tentang kelas 7 yang baru, alasan itu bisa diterima. Lalu dijelaskan nggak kenapa sampai menerima kelas 8 dan 9 juga? Padahal tentu  ijin operasionalnya kan baru membuka kelas 7,” tanyaku semakin penasaran.

“ Dia bilang bahwa sekolah itu bukan sekolah baru tapi kelas jauh dari sekolah yang sudah ada di kampung lain, Bu. Jadi tidak salah bila menerima kelas atas juga, begitu katanya, Bu, ” jelas bu Een.

“ Oh gitu yah? Hmm masalah itu, Ibu belum paham. Tapi hasil konsultasi dengan Dinas sependapat sama Ibu, untuk anak kelas 7 memang hak mereka untuk sekolah di mana saja. Namun kita harus memastikan kelas 8 dan 9 bagaimana kelanjutan nasibnya. Jangan sampai dari SMP sudah pindah, terus di sekolah baru karena hanya ada 4 atau 5 orang per kelas, jadi gak menentu nasibnya,” ujarku.

“Gimana ya, Bu? Boleh gak kalo nanti saya sama guru yang lain mendatangi rumah anak-anak yang pindah itu? Mau saya bujuk,Bu. Soalnya saya dengar, masa anak beda tingkat kelas tapi duduknya di satukelaskan. Yang ngajarnya hanya berdua, kasek sama guru satu lagi, kan gak bener itu belajarnya, “ usul Bu Een.

“ Boleh saja, Bu.Coba saja ngobrol dari hati ke hati sama anak dan orang tuanya, yah, semoga ada keputusan terbaik,” jawabku sambil merasa kagum akan semangat guru yang satu ini.

“Bu, boleh tanya sesuatu gak? Ibu pernah bilang kalau dana BOS itu ditentukan oleh banyak sedikitnya siswa kan?” tanya bu Een.

“ Betul, Bu,” jawabku. “ Jadi nanti uang BOS kita berkurang banyak ya, Bu?” Bagaimana nasib kami, Bu?” lanjutnya dengan nada tertekan.

Mendengar nada itu ada rasa perih menyayat hati, ibarat mendengar keluhan susah anak kandungku. “ Hmmmm.. pahitnya memang yang harus kita antisipasi, ya Bu. Ibu juga terus memikirkan hal ini. Dana Bos akan berkurang 25 juta rupiah, artinya, besaran dalam 1 bulannya kan berkurang sekitar 2 juta rupiah. Dengan demikian, kita harus merancang perencanaan anggaran sematang mungkin. Bisa jadi akan ada pengurangan kegiatan-kegiatan yang memerlukan dana yang besar. Tetap kita laksankan, namun dengan mengurangi nilai atau frekuensinya. Ok, minggu depan kita akan rapat untuk membahas hal ini yah. Namun satu hal yang harus diketahui, Ibu tidak akan tega mengurangi tarif honor guru. Tenang saja, tetap semangat bekerja. Sampaikan kepada teman-teman yah. Jangan sampai mereka juga resah,” pungkasku menjelaskan.

Menyusun Strategi

Tiga hari kemudian, aku selesai menyusun draft Rencana Kerja dan Aggaran Sekolah tahunan ( RKAS). Memang ada beberapa kegiatan yang kami sederhanakan. Misalnya pendanaan kegiatan MGMP. Waktu yang lalu sekolah bisa memberi ongkos plus uang saku, jumlahnya sebesar Rp 80.000,-/ 1 kali berangkat. Karena anggota MGMP harus iuran untuk pengadaan konsumsi dan lain-lainnya. Sekarang, sekolah hanya bisa memberi uang saku saja sebesar lima puluh ribu rupiah. Hal lain yang mengalami pengurangan adalah dana konsumsi sehari-hari; tidak ada lagi konsumsi snack, hanya menyediakan kopi teh saja. Biar konsumsi bawa bekal dari rumah masing-masing. Syukurlah semua guru memahami dan menyetujui draft  RKAS yang akan ditetapkan.

Kami berharap semoga roda kehidupan sekolah kami baik-baik saja. Untuk itu aku usulkan membuat warung koperasi sekolah, untuk memback-up kebutuhan konsumsi sekolah. Dan sebagai dana awal aku menyumbang lima ratus ribu rupiah untuk modal warung. Ibu-ibu guru sangat semangat menyambut baik usulan itu. Besoknya juga sudah terealisasi ada warung koperasi yang tempatnya bersatu dengan ruang kantor. Hmm.. rasanya kurang nyaman juga ruangan kantor menjadi ruangan serbaguna seperti itu.

Aku melihat ada ruang gudang tempat menyimpan barang-barang bekas, meja kursi yang rusak, lemari yang rusak dan lain-lain. Aku cari data tentang inventaris barang. Walaupun tidak tercatat, kata penjaga sekolah, barang-barang itu sudah lebih dari 5 tahunan ada di gudang. Karenanya aku minta keluarkan semua barang. Yang kiranya bisa kami jual, maka kami pisahkan, yang benar-benar rusak kami buang saja. Setelah bersih, nampaklah sebuah ruangan dengan ukuran kurang lebih 2x 5 meter. Kemudian ruang itu kami sulap menjadi warung koperasi. Syukurlah, selalu ada jalan.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan