Kumpulan Kisah Kami di Masa Pandemi (11)
Bab. 11
Ku Menangiiis…
Suatu sore, saya pergi ke sekolah hendak mengambil pesanan makanan dari seorang rekan guru. Rekan saya telah meninggalkan pesan di WA bahwa pesanan saya sudah ia titipkan pada penjaga sekolah, Mang Bidin biasa kami memanggilnya. Sesampainya di sekolah, saya segera mencarinya. Saya melihat sekolah sudah sepi. Mungkin karena sebelumnya hujan mengguyur kota kami. Saya cari Mang Bidin di rumahnya yang kebetulan bersebelahan dengan kantin sekolah. Mang Bidin sudah lama menempati sebuah petak yang disediakan oleh sekolah. Di sana ia tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Saat itu, saya lihat pintunya tertutup. Tak ada orang di sana.
Di saat saya mengarahkan pandangan ke kantin sekolah, seketika berkelebat bayangan riuhnya para siswa yang sedang membeli makanan di saat istirahat. Terbayang mereka yang sedang berinteraksi dengan pedagang di kantin tersebut. Begitu ramainya. Di antara banyak menu, ada satu yang menjadi kegemaran siswa dan guru. Nasi mangkok (rice bowl) yang berisi nasi putih plus lauknya sepotong fried chicken yang disiram saus. Sambelnya bisa sambel ijo atau merah.Tak lupa beberapa potong sawi tumis ikut melengkapi. Menu ini cukup mengeyangkan bagi kami yang belum sempat sarapan di rumah. Kembali melintas wajah-wajah siswa yang ceria. Jajan di kantin adalah aktifitas yang sangat mereka tunggu. Tak heran jika ada beberapa siswa yang sengaja membawa uang saku berlebih, hanya untuk mereka habiskan di tempat ini.
Suasana itu sangatlah jelas nampak di depan saya yang masih terpaku. Layaknya sebuah adegan sinetron. Saya masih membayangkan para pedagang di tempat ini. Mereka sangat senang dan bersemangat melayani pembeli. Berdagang di kantin sudah menjadi mata pencaharian mereka. Dan penghasilan yang mereka dapatkan lumayan memuaskan. Dengan harga sewa kantin yang terjangkau, mereka merasa terbantu berjualan di sana.
Ketika mata saya kedipkan, semua bayangan itu lenyap seketika. Yang ada hanyalah kantin kosong. Sunyi sepi, tak berpenghuni. Sekarang tempat ini terasa agak angker, keueung kalau kata orang Sunda. Makanya, saya segera meninggalkannya dan kembali mencari Mang Bidin. Tak mau berlama-lama di sana. Hanya membuat saya sedih membayangkan semuanya. Tak terasa, mata saya basah. Ada tangis kecil di mata saya.
Masih dalam pencarian Mang Bidin, saya melewati lorong kelas. Tiba-tiba rasa sedih itu muncul kembali. Bayangan siswa menari lagi di pelupuk mata. Mereka sedang belajar di kelas, memperhatikan guru yang mengajarnya. Ada yang semangat, ada pula yang bermalas-malasan. Bahkan ada yang tertidur di mejanya. Lucu juga kalau mengingat semua kenangan itu. Tapi sekarang, kelas-kelas itu sama sepi. Tak ada lagi kehidupan di dalam kelas. Kami terpisah dari mereka. Kami hanya bisa terhubung oleh teknologi digital. Tak bisa lagi melihat langsung wajah mereka, apalagi mengusap rambut atau kerudungnya. Ah..bertambah lagi kesedihan saya.
Perjalanan berlanjut. Sekarang saya melewati lapang yang biasa kami gunakan untuk upacara Senin pagi. Terbayang lagi barisan siswa berbaju putih biru. Pemimpin upacara yang sedang memberi aba-aba. Para guru yang berdiri di seberang siswa. Dan pembina upacara yang siap memberikan amanatnya di depan lapang upacara. Namun, suasana itu pun hilang lagi. Lapangan yang ada kini ikut kosong. Tak pernah kami gunakan lagi untuk upacara bendera ataupun latihan ekstra kurikuler. Gustii..hati saya tersayat lagi.
Di ruang TU, barulah saya menemukan orang yang saya cari. Mang Bidin ada bersama Om Abdul, operator sekolah yang sehari-hari bekerja mengolah data siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Dan ternyata, pesanan yang akan saya ambil tidak ada padanya. Rekan saya telah membatalkannya. Mang Bidin lalu meneleponnya. Katanya, nanti saja besok lusa, ketika dia ada jadwal mengajar. Eh, daa..kenapa tak bilang dulu atuh say? Dengan kecewa, saya pulang kembali. Sebelumnya, saya menceritakan kondisi kantin sekolah yang sepi. Mang Bidin bilang, “Itu kantin Bu, apalagi saya. Tiap hari di sini terasa sepi banget. Beda dengan dulu waktu banyak siswa yang datang.”
Dalam perjalanan pulang, saya masih menyimpan harapan. Harapan untuk bertemu dan bercengkerama kembali dengan siswa. Mungkin harapan siswa juga sama. Sudah lama mereka mendekam di rumah, menerima pelajaran lewat hape. Kerinduan kami sama. Ingin kembali belajar di kelas. Bermain dengan teman-teman. Lalu jajan di kantin. Kami rindu semua aktifitas itu. Hanya pada-Mu, Tuhan, kami memohon. Kembalikanlah keceriaan kami belajar di sekolah, tanpa ada rasa takut akan virus Corona. Kami mohon dengan sangat ya Allah..
Sampai bertemu kembali..
Salam guru blogger Indonesia..
Tuti Suryati, S.Pd
SMPN 2 Subang