Kumpulan Kisah Kami di Masa Pandemi (18)

Terbaru21 Dilihat

Kumpulan Kisah Kami di Masa Pandemi (18)

Bab. 18

Filosofi Nastar..

Tak ada yang tak kenal dengan penganan yang satu ini. Rasanya yang manis, renyah, dan asam segar yang keluar dari selai nanasnya, sangat diminati oleh banyak orang. Di setiap Hari Raya Idul Fitri, kue kering (kuker) ini selalu menjadi primadona. Tak lengkap rasanya jika di atas meja tidak ada dirinya. Hampir setiap keluarga membuatnya dengan susah payah, meskipun sedang berpuasa. Haus yang disebabkan hawa panas oven panggangan tak mengurangi hasrat menciptakan kue ini sebagus dan seenak mungkin. Ya, dialah Nastar. Kue berbentuk bulat kuning keemasan ini akan selalu ada dan menjadi kebanggan tersendiri jika anda berhasil membuatnya.

Dari sebuah sumber yang saya baca di internet, Nastar berasal dari negeri Belanda. Sama halnya dengan kue kastengel atau bolu ombekuk yang tak kalah enaknya. Asal katanya dari Annanas atau nanas dan Taart atau tar. Sehingga bisa diartikan sebagai tar nanas. Disebutkan pula bahwa kue nastar terinspirasi dari kue pie buatan orang Eropa. Biasanya, isian kue pie adalah buah blueberry atau apel.

Di balik rasanya yang legit, renyah, dan lumer di lidah, terdapat filosofi menarik dan luar biasa. Filosofi tentang kesabaran. Dalam pembuatannya, kue ini membutuhkan kesabaran ekstra. Diawali dari pembuatan adonan kulitnya yang lumayan bikin cangkeul, hingga menghasilkan adonan yang kalis dan lembut. Kemudian, penggarapan selai nanas bagi yang ingin membuat sendiri. Walaupun sudah banyak selai nanas instant tersedia di toko bahan kue atau supermarket, namun untuk sebagian pembuat kue, selai nanas buatan sendiri akan lebih meyakinkan rasanya. Penambahan kayu manis, akan menambah aroma khas tersendiri.

Saya jadi teringat ibu mertua dan kakak ipar saya yang sering membuat kue nastar sebelum Hari Lebaran tiba. Persiapan bahan-bahan dilakukan beberapa hari sebelumnya. Untuk membuat nastar yang banyak, mereka membutuhkan beberapa kilo tepung terigu, mentega, gula halus, kuning telur, bubuk vanili, dan selai nanas. Biasanya, selai nanas mereka buat sendiri. Di Subang, nanas banyak dijumpai. Buah nanas sudah menjadi ikon Subang, sebagai penghasil nanas terbanyak di Jawa Barat. Buah nanas dapat kita peroleh di pasar tradisional atau warung pinggir jalan yang menjual oleh-oleh khas daerah ini. Spesies nanas yang terkenal manis di sini adalah Nanas Simadu.

Selai nanas memerlukan beberapa tahap pengolahan. Mulai dari mengupas kulit nanas, mencucinya, lalu memarut buahnya. Penggunaan blender biasanya dihindari. Karena hasilnya akan terlalu encer dan lembek. Setelah itu, parutan nanas dimasak dengan gula pasir dan kayu manis jika suka, sampai airnya mengering. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Apalagi jika kita membuatnya dalam jumlah yang tidak sedikit.

Setelah selai berhasil dibuat dan siap digunakan, tinggal membuat adonan kulitnya. Pertama, pencampuran tepung terigu, gula halus, kuning telur, dan mentega. Semua diuleni hingga kalis dan mudah dibentuk. Bagi yang belum terbiasa membuat adonan kue, akan terasa melelahkan. Dan hasilnya pun tak sebagus yang sudah ahli. Jika sudah selesai, adonan siap digunakan.

Selanjutnya, proses pembentukan kue. Tahap yang kelihatan sepele. Hanya dengan membulat-bulatkan adonan, setelah terisi selai. Padahal, ketika saya mencoba membuat sendiri, wah..capenya bukan kepalang. Ketelatenan adalah kuncinya. Tak aneh, dalam tahap ini sering terjadi kesalahan ukuran. Dari yang semula kecil, sedang, lama-lama membesar. Ini pertanda kalau yang membuat tak sabaran. Ingin cepat-cepat selesai. Istilah orang Sunda mah, leukleuk..Terkadang rasa kantuk ikut menyertai. Belum lagi proses pemanggangannya. Haduh..jangan tanya lelahnya. Bisa berjam-jam waktunya untuk mendapatkan beberapa toples nastar yang nikmat. Kebayang kan jika kita membuatnya saat berpuasa? Ujiannya berat sekali. Jika lemah imannya, bisa batal puasanya, hehe..

Lalu apa hubungannya dengan PJJ? Jawabannya adalah nilai kesabaran yang terkandung dalam proses pembuatan kue nastar tadi. Beberapa hari yang lalu, ada sebagian guru yang mengeluh tentang kehadiran siswa. Kian hari jumlah siswa yang mengikuti pembelajaran semakin berkurang saja. Bahkan, dari 4 kelas yang berjumlah ratusan lebih, hanya diikuti oleh 15 orang saja. Miris sekali. Tentunya hal ini menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan pada guru tersebut. Berbagai asumsi muncul. Diantaranya, anggapan bahwa siswa malas atau sudah bosan belajar. Tak banyak yang mau mencari penyebab lainnya. Dan sedikit sekali yang mau berpikir dan berpendapat bahwa penyebabnya mungkin berasal dari dirnya sendiri.

Seperti halnya yang saya alami. Ada seorang siswa dari keluarga tak mampu yang sering, bahkan belum pernah mengikuti pembelajaran hingga saat ini. Setelah ditanya, ternyata dia bekerja menjadi kuli bangunan dalam sebuah proyek pembangunan sekolah swasta. Jangankan untuk membeli hape dan kuota, untuk jajan sendiri pun dia tak punya. Orang tua sudah tak ada. Tinggal dengan kakek nenek yang sama-sama tak punya. Terpaksa dia korbankan waktu belajarnya untuk mencari uang. Dan ternyata, dari cerita seorang pekerja sekolah, banyak siswa lain yang bernasib sama dengannya. PJJ sudah tak dianggap penting lagi. Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana mencari uang untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarga. Pandemi telah memaksanya berbuat demikian. Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan? Akankah pemerintah mau peduli dengan kondisi ini? Sedangkan bantuan kuota belajar saja sudah dua bulan tak ada kabarnya lagi.

Kembali kepada filosofi nastar. Kesabaran adalah senjata utama kita sebagai guru dalam menghadapi banyak kemungkinan yang terjadi pada pelaksanaan PJJ. Kemungkinan baik ataupun buruk harus siap kita hadapi. Tak perlu berkeluh kesah. Alangkah baiknya jika kita mau berintrospeksi diri, sudah sesuaikah cara mengajar kita selama ini dengan apa yang siswa inginkan. Apakah pembelajaran kita sudah membuat mereka senang dan tak sabar menunggu pertemuan berikutnya? Ataukah sebaliknya, membuat siswa bosan dan tak mau mengikuti pembelajaran kita? Semua kembali kepada kita sendiri. Prinsipnya, bagaimana siswa termotivasi jika kita sendiri tidak bisa menciptakannya?

Dari sebuah kesabaran, akan menghasilkan sesuatu yang sangat kita inginkan. Bukankah Allah sendiri menyuruh kita bersabar. Innallaha maasshobiriin..Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dalam hal ini, sabar dalam melihat kenyataan berkurangnya minat siswa untuk belajar. Biarlah sekarang berlangsung seperti itu. Karena kita tak bisa membantu kondisi mereka. Justru yang harus kita pikirkan adalah mereka yang masih mau belajar. Jangan sampai ikut menghilang juga. Kedepannya, dengan modal kemauan yang kuat dan ketelatenan seperti yang diajarkan kue nastar, kita berusaha untuk meraih kembali mereka yang hilang. Berusaha untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Dan masih dengan doa yang sama, saya akhiri kisah ini, semoga pandemi segera berakhir, aamiin..

Subang, 18 Februari 2021

Salam persahabatan..

Tuti Surytai, S.Pd

Guru Bahasa Inggris SMPN 2 Subang



Tinggalkan Balasan