Kumpulan Kisah Kami di Masa Pandemi

Terbaru63 Dilihat

Kumpulan Kisah Kami di Masa Pandemi (2)

Bab.2


Bu, Saya Ga Punya HP…

Berdasarkan keputusan rapat dinas yang diadakan sebelum pelaksanaan PJJ, menyarankan agar setiap guru mata pelajaran menguasai teknologi digital yaitu Whatsapp, Google Classroom, dan Teamlink. Tak sabar rasanya untuk menerapkan ketiga aplikasi tersebut di kelas online dengan siswa. Jadwal mengajar saya adalah setiap hari Rabu, dari jam 8.00 hingga 11.00. Jam pertama untuk kelas IX dan jam kedua untuk kelas VIII.

Pada pertemuan pertama saya coba menggunakan Teamlink. Alasannya adalah supaya saya dapat bertemu muka secara virtual dengan siswa. Teamlink saya pilih karena aplikasi ini free alias tak berbayar dalam waktu lebih dari 30 menit. Tidak seperti Zoom Meeting yang terbatas waktu gratisannya hanya untuk 30 menit saja.

“Oke, students..please join the virtual class by clicking the link that I shared”, ketik saya di grup Whatsapp Bahasa Inggris kelas IX A, B, C, dan D. Tak lama kemudian, bunyi notifikasi bersahutan. Tandanya siswa minta diizinkan bergabung. Ada yang berhasil masuk. Ada juga yang masih kesulitan.

“Bu, ini gimana…?” tanya seorang siswa yang masih kesulitan untuk bergabung.

“Bu, kok saya ga bisa masuk terus?” tanya yang lain.

“Bu, kenapa saya keluar sendiri, padahal tadi sudah masuk?” Atau hanya

“Buu..”

Hmm..ternyata sebagian besar dari mereka masih kesulitan dalam menggunakan aplikasi ini. Entah karena sinyal internet yang buruk, atau bisa juga kuota belajar yang tidak mencukupi. Apalagi untuk penggunaan sebuah aplikasi virtual meeting memerlukan kuota yang lumayan besar. Kesimpulannya, Teamlink kurang efektif untuk kelas yang saya ampu dan tidak dapat digunakan untuk pertemuan berikutnya.

Selanjutnya, saya putuskan memakai aplikasi Google Classroom dan Whatsapp. Alhamdulillah, proses pembelajaran berjalan lebih kondusif dan efektif. Siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan mudah. Namun, masalah baru muncul. Setelah beberapa kali pertemuan, masih ada siswa yang belum pernah ikut bergabung dalam pembelajaran Bahasa Inggris yang saya ampu. Terdapat sekira 6 orang siswa dari kelas IX yang berbeda.

Di kelas IX C, di mana saya adalah wali kelasnya, ada Haidar, Yusuf, dan Akmal. Ketiga siswa tersebut seakan menghilang dan tak mau mengikuti pembelajaran. Anehnya, mereka bertiga sangat aktif membuat status di WA. Sebagai contohnya Akmal, dia sangat rajin memposting kegiatan malamnya dengan teman-teman di sekitar tempat tinggalnya. Mungkin ini yang menyebabkan dia tidak bisa ikut belajar di siang harinya. Dari rasa khawatir dan penasaran akan kondisinya, saya coba menghubunginya. Setiap kali dihubungi, pasti jawabannya “Iya Bu, maaf..” atau “Akmal janji Bu nanti ikutan PJJ”. Dan hasilnya, masih kurang memuaskan. Pernah beberapa kali Akmal ikut belajar, tapi seringnya tidak pernah mengerti apa yang sedang dipelajari. Kemudian dia pun menghilang lagi.

Di hari berikutnya, saya mendapat kabar bahwa Akmal akan memperoleh bantuan dari pemerintah untuk siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Ketika kabar itu sampai ke keluarganya, dengan cepat mereka meresponnya. Dalam hati saya bergumam, “Giliran mau dapat uang mah langsung nyamber”. Tapi yah, apa mau dikata. Mungkin kondisi mereka yang menyebabkan bersikap seperti itu.

Saya berpikir, inilah saatnya saya dapat berkomunikasi langsung dengan Akmal dan keluarganya. Dan saat itu pun tiba. Saya ditelepon oleh guru BK kelas IX, Bu Lyta, untuk datang ke sekolah dan bertemu dengan Akmal. Ya, pertemuan saya dengan Akmal untuk pertama kalinya. Karena pandemi, sejak awal pertemuan saya belum pernah melihat wajahnya. Sesaat saya memandanginya diam-diam. Rambut agak gondrong, kusut, dan diwarnai merah di bagian atasnya. Seakan hendak berkata “saya ingin dicukur”. Apa daya, sang pemilik rambut tidak mau mengerti. Kaos dan celana panjang lusuh seadanya. Memakai sandal jepit yang sudah tua pula. Menandakan bahwa dia memang dari keluarga kaum marginal yang kurang perhatian. Di samping Akmal, ada kakeknya yang menemani pengurusan bantuan. Tak jauh berbeda dengan cucunya, sang kakek berpakaian lusuh, tak kenal setrikaan, apalagi wangi Molto. Sebelah kakinya pincang. Mereka siap diinterogasi.

“Hai Akmal, apa kabar?” sapa saya memulai percakapan. Sekilas wajahnya tertunduk, mungkin malu.

“Baik, Bu..” jawabnya. Lalu saya bertanya lagi, ” Akmal kemana aja selama ini? Kok ga pernah ikutan daring lagi?” Kulihat dia semakin tertunduk lesu, seperti yang belum makan dari pagi. Tak berapa lama, orang tua di sebelahnya menimpali.

“Maaf Bu, saya kakeknya Akmal. Punteen pisan..kalau selama ini Akmal suka bikin masalah. Padahal sudah saya suruh ikutan belajar tapi ya gitu, susah pisan diurusna, Bu..” kata sang kakek dalam logat Sundanya, sambil merapatkan kedua tangannya di dada, tanda meminta maaf atas perilaku cucunya. Percakapan pun terus berlangsung. Bu Lyta tak kalah gesitnya dalam melontarkan pertanyaan. Setelah ditanya berkali-kali, akhirnya Akmal berkata, “Saya ga punya HP, Bu..” Lah, terus yang selama ini sering posting status di WA siapa? “Itu adik saya, Bu.”

Setelah pertemuan dengan Akmal dan kakeknya, kesepakatan pun kami peroleh. Akmal dan kakeknya setuju untuk menggunakan uang bantuan pemerintah sebesar 750 ribu rupiah untuk membeli HP baru. Saya dan Bu Lyta merasa lega dengan keputusan itu. Kami berharap, semoga ke depannya Akmal dapat menggunakan HP barunya untuk belajar daring dan mengerjakan tugas-tugas. Semangat Akmal..

Penulis: Tuti Suryati, S.Pd

Instansi: SMPN 2 Subang





Tinggalkan Balasan