Kumpulan Kisah Kami di Masa Pandemi
Bab. 3
Protesnya Dio Pada PJJ..
Selain Haidar, Yusuf, dan Akmal, ternyata ada lagi siswa yang “bermasalah” dengan PJJ. Kami biasa memanggilnya Dio. Tapi bukan Claudio ya. Nama lengkapnya Dio Firmansyah. Sudah lama juga Dio menghilang dari kegiatan pembelajaran. Sama halnya dengan ketiga siswa yang saya sebutkan di atas. Jangan-jangan mereka sudah bersepakat untuk menghilang.. Untuk mencari informasi, saya mencoba menghubungi orang tuanya lewat WA pribadi. Alhamdulillah, akhirnya bisa bertemu juga di sekolah. Dan yang lebih menyenangkan, ada Dio di sana.
Dio datang bersama ibunya memenuhi undangan saya. Kaos merah fanta dan celana panjang hitam membalut tubuh ibunya yang pendek dan agak berisi. Rambut ikal sebahu dan wajah terpoles make up tipis yang hampir memudar karena keringat. Kelihatan sekali kalau ibunya bukanlah seorang pesolek. Sedangkan Dio, mengenakan kaos putih dengan tulisan tak jelas, mungkin karena tulisannya seperti resep dokter atau mata saya yang sudah mines. Celana jeans biru dan belel melengkapi penampilannya.
“Alhamdulillah, terima kasih Ibu sudah mau datang ke sekolah,” saya coba memulai percakapan. Ibu Dio tersenyum dan mencoba merespon kalimat saya.
“Iya, Bu. Maaf baru sekarang saya sempat menemui Ibu,” sahut ibu Dio. Saya lihat Dio masih terdiam dan tertunduk lesu. Wajahnya seakan menyiratkan sebuah ketidakpuasan.
“Hai, Tio. Apa kabar?” saya coba membuyarkan diamnya. Setengah hati Dio menjawab pertanyaan saya.
“Alhamdulillah baik, Bu,” jawabnya. Pendek sekali.
“ Kenapa, Dio sepertinya ga senang ya datang ke sekolah?” tanya saya lagi.
“Ga apa-apa, Bu.” Hmm.. sepertinya ada yang disembunyikan dalam hatinya.
“O, ya..kamu kenapa ga pernah ikut belajar daring? Ibu lihat kehadiran kamu selama 4 pertemuan masih kosong. Nanti kalau ga ada nilainya gimana?” Tak mau berlama-lama saya langsung to the point.
Setelah berbincang-bincang agak lama, terkuaklah alasan kenapa Dio tidak mau ikut belajar daring.
“Saya ga suka PJJ, Bu. Saya inginnya tatap muka saja.” Alangkah kagetnya saya mendengar apa yang Dio katakan. Ga salah ini? Oalah..ternyata selama ini Dio protes sama PJJ. Dio menolak adanya PJJ. Dan sekarang, apa yang dirasakannya akhirnya tersampaikan. Dio, kamu waras ga sih? Tapi tak apa. Justru itu baik untuk dirinya. Daripada dipendam terus malah jadi penyakit. Saya mencoba mengerti apa yang dia rasakan. Sambil berpikir, jawaban apa yang harus saya berikan. Ibu Dio pun ikut berbicara.
“Iya, Bu. Saya sudah berusaha menyuruh Dio untuk ikutan daring. Tapi anaknya ga mau terus. Padahal kalau di rumah anaknya penurut. Disuruh bantuin saya mau. Disuruh ke warung mau. Tapi kalau disuruh belajar daring ga mau. Ya itu alasannya. Dio ga suka PJJ. Katanya beda sama tatap muka. Pusing saya juga. Bu.” Kok sama ya, saya juga ikutan pusing ini..
Pada saat itu kebetulan ada 2 orang rekan guru saya yang menyimak perbincangan kami. Setelah mendengar sang anak melontarkan ketidaksukaannya pada PJJ, serta merta kedua rekan saya ikut berkomentar. “Atuuh..kalau mau protes jangan sama kami di sekolah ya, tuh protes sama Menteri saja, Dio.” Bu Neni yang agak temperamen terpancing juga. Didukung pula oleh rekan saya satu lagi, Bu Eti. “Yeuh, Dio..kupingkeun nya. Kenapa ada PJJ. Kan sudah dijelaskan sama Pak Menteri, untuk menghindari penularan Covid-19. Kalau tatap muka khawatir nanti kita tertular. Ngerti ga?” Nah, jawabannya sudah disebutkan tuh oleh Bu Eti. Jadi saya tak perlu lagi menjelaskannya. Tau ngga sih, kedua rekan saya itu galak lho kalau menghadapi siswa yang nakal. So be careful…
Di tengah percakapan, saya mencoba memberi pengertian pada Dio. Bahwa apa yang sekarang sedang terjadi bukanlah keinginan pihak sekolah, Dinas Pendidikan, ataupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pandemi ini berlaku tidak hanya di Indonesia saja. Seluruh dunia juga ikut menanggung akibatnya. Virus Corona yang telah merajalela di setiap celah muka bumi adalah kepunyaan Tuhan, Allah SWT. Dengan virus ini, Allah menguji keimanan kita. Dan PJJ adalah salah satu ikhtiar sebagai kepatuhan kita kepada-Nya, agar terhindar dari keganasannya.
Salah satu usaha pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, untuk mengurangi beban siswa dan orang tua, adalah pemberian kuota belajar setiap bulannya. Dengan tujuan, supaya semua siswa di Indonesia dapat mengikuti pembelajaran tanpa harus mengeluarkan dana untuk membeli kuota. Walaupun sesudahnya, banyak siswa yang menyalahgunakan bantuan ini untuk yang lainnya, seperti bermain game online atau bermedsos ria. Dilematis memang. Di satu sisi, pemerintah telah bersusah payah mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Tapi di lain pihak, siswa juga tak mau stress diam di rumah tanpa ada hiburan yang hanya bisa mereka dapatkan dari gadget yang dimiliki. Mau keluar rumah, takut tertular Corona.
Di akhir dialog kami, setelah mengerti alasan yang kami sampaikan, Dio menyatakan kesediaannya untuk mengikuti pembelajaran. Ibunya yang sering membantu suaminya berjualan Seblak dan Mie Goreng di kompleks perumahannya, merasa sangat berterima kasih kepada kami karena telah menyadarkan anaknya. Ada air mata yang sempat saya lihat menggenang di matanya. Saya dapat merasakan kesedihannya. Dalam hati saya berdoa, semoga Dio dan ibunya mau bersabar. Dan semoga Allah mudahkan orang tuanya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Dan semoga, pandemi ini cepat berakhir…
Sampai jumpa di kisah berikutnya…
Penulis: Tuti Suryati, S.Pd
Instansi: SMPN 2 Subang