Malam semakin mencekam. Mak Amih terus berlari menyeret Suli mencari tempat perlindungan. Gelap dan dinginnya malam tak dihiraukannya. Yang terpenting hanyalah aman dari kejaran suaminya yang sedang dikuasai setan miras dan kalap ingin membinasakan mereka berdua. Sebuah rumah kosong yang sudah amburadul menjadi pilihan untuk bersembunyi. Keringat yang harusnya hangat karena berlari berganti dingin peluh bersimbah rasa takut ketahuan lelaki yang telah puluhan tahun bersamanya. Di salah satu pojok tembok, mereka meringkuk berpelukan kuat menunggu waktu yang entah sampai kapan.
Sesaat kemudian, Mak Amih dikejutkan oleh ucapan anaknya, “Mah, aya kunti…” Mak Amih langsung membekap mulut anaknya, meskipun ia tahu maksud Suli, anak berumur 5 tahun yang tanpa dosa pasti bisa melihat sosok astral apapun. Namun, saat ini yang paling ia takuti adalah suaminya yang bisa kapan saja menemukan mereka.
Suli makin ketakutan. Sosok itu terus saja mengganggunya, tak mau mengerti apa yang sedang ia dan ibunya alami. Hampir saja Suli berteriak, ketika terdengar suara lelaki yang sangat dikenalnya. “Awas siah, rek nyumput di mana wae ge pasti katewak!” Seketika Suli urung bersuara dan kembali mendekap ibunya erat-erat. Pandangan Mak Amih lalu tertuju pada sebilah kayu cukup besar, bekas kusen jendela yang telah lama terbengkalai. Pikirnya, kayu itu bisa membebaskan dirinya dan Suli dari ketakutan yang sekarang menerpa. Keberanian pun muncul tiba-tiba, Mak Amih mengajak Suli keluar dari persembunyian, siap mengayunkan kayu yang dipegangnya. Tapi, sebelum ia menggunakannya, sebilah pisau telah lebih dulu menghujam punggungnya. Mak Amih terkulai lemah bersimbah darah.