MENDORONG ANAK GIAT BERLITERASI

Edukasi27 Dilihat

Gambar dari literasipublik.com.

Dalam setiap kesempatan mengajar saya senantiasa menantang anak-anak untuk menulis. Mereka saya minta menguraikan pandangan mereka tentang topik tertentu. Topik apa saja yang sekiranya bisa membuat mereka mengaktifkan nalarnya dan menuangkannya dalam sebuah tulisan.

Suatu ketika saya melihat tong sampah yang di dalam kelas. Maka seketika itu juga saya beri mereka tantangan untuk menyatakan sudut pandangnya. Bahwa seorang guru itu harus siap menjadi tong sampah bagi orang lain, terutama murid-muridnya.

Saya beri mereka satu minggu menuliskan apa yang ada dalam hati dan pikiran mereka tentang topik tadi. Ini bukan materi ujian. Bukan juga tugas kuliah. Sama sekali tidak ada hubungan dengan matakuliah yang saya asuh. Saya hanya ingin mereka belajar berekspresi melalui tulisan.

Tidak ada paksaan dalam hal ini. Siapa saja yang bersedia dan mau menerima tantangan boleh lakukan. Siapa saja yang mau meluangkan waktu untuk belajar menulis, dipersilakan. Saya hanya mau mendorong mereka untuk bisa menulis sebaik mereka berbicara. Karena begitulah sejatinya seorang guru. Berbicara dan menulis adalah dua sisi dalam sebuah koin.

Tidak semua mahasiswa tertarik menantang dirinya untuk menulis. Dari sekian banyak mahasiswa, hanya satu yang tergerak untuk mencobanya. Namanya: Maria Y. Sasi. Tulisannya dia kirimkan kepada saya melalui aplikasi WA. Tidak banyak yang diuraikannya. Tapi sudah ada alur berpikir yang runut. Hanya belum detail.

Oleh karena itu, saya kembalikan kepadanya dengan beberapa catatan. Catatan itu berupa koreksi (arahan atau masukan tepatnya). Saya juga berikan beberapa poin tambahan yang bisa dipakai untuk melengkapi apa yang sudah ditulisnya. Semoga dia bisa melakukannya dengan baik.

Tentang arahan atau masukan, saya hanya memberitahunya tentang bagaimana membentuk sebuah alinea. Saya sampaikan bahwa setiap alinea hanya memiliki atau memuat 1 pokok pikiran. Karena itu, ia cukup berisi 3 kalimat paling sedikit atau paling banyak 5 kalimat. Sebuah kalimat ditandai dengan tanda titik di akhirnya.

Beberapa hari kemudian dia menyerahkannya (mengirim) kembali pada saya. Berikut ini adalah tulisan hasil kreasi buah nalarnya. Saya hanya memperbaiki keelokan bahasa dan pungtuasi atau tanda bacanya bila ada yang kurang tepat. Sedangkan substansi dan idenya saya biarkan seperti itu.

Karena itu pembaca yang terhormat, sekiranya Anda menemukan apa yang kurang pas, mohon berkenan koreksinya biar saya sampaikan padanya. Sebab, bagi saya, pembaca adalah guru terbaik. Ia mampu melihat segala kelemahan dan kelebihan. Kelemahan yang patut dibetulkan atau diperbaiki dan kelebihan untuk dikembangkan pun tingkatkan.

Berikut tulisan lengkap Yuni, sapaannya!

 

GURU ADALAH TONG SAMPAH YANG BAIK

Menjadi seorang guru berarti harus selalu siap menjadi seorang pendengar yang baik. Menjadi pendengar yang baik artinya ada kerelaan menyendengkan telinga bagi keluhan orang lain. Orang lain dalam hal ini adalah para siswa dan/atau guru lainnya.

Seorang guru juga tidak dilihat dari seberapa tinggi gelar yang dimiliki. Tapi bagaimana cara ia membimbing para siswa dengan baik. Yaitu bagaimana ia berbagi pengetahuan dan keterampilan. Dan juga bagaimana ia berbagi rasa dengan mereka sehingga mereka mendapatkan sentuhan yang manusiawi.

Menjadi seorang guru bukan tentang sebuah profesi semata. Tapi sebuah panggilan. Karena menjadi guru tak semudah seperti yang dibayangkan. Bukan semata tentang cara seseorang mengajar. Ia juga harus menjadi sperti seorang teman, kakak, ibu, atau ayah untuk muridnya.

Seorang guru wajib mengajari muridnya dengan baik. Mereka harus dibuat sadar dan bangga pada diri mereka sendiri. Yaitu dengan memberitahu apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya. Lalu memotivasi mereka agar melakukan yang lebih baik lagi.

Jangan hanya memarahi ketika mereka keliru atau berbuat salah. Apalagi menjejali mereka dengan kata-kata kotor yang tidak mendidik. Sebab itu akan membuat mereka merasa bodoh yang berpengaruh pada kekokohan mentalnya.

Guru haruslah menjadi seorang pendengar yang baik. Agar bisa mendengar keluh kesah mereka. Ia diibaratkan seperti sebuah tong sampah yang selalu menganga siap menampung segala apapun yang tidak baik. Tidak berkenan.

Seorang guru akan selalu dihadapkan dengan tantangan yang datang dari para murid. Bukan hanya tentang kenakalan mereka tapi juga tentang apa yang mereka rasakan. Yaitu semua kesedihan, kegembiraan, ataupun sukacitanya.

Seorang guru sebaiknya mengesampingkan harga diri dan keegoisannya. Ia tidak selayaknya bersikap mentang-mentang dalam berinteraksi dengan para murid. Karena itu, ia haruslah seseorang yang mampu mengontrol emosi dengan baik ketika berhadapan dengan mereka.

Dengan demikian seorang guru harus bisa diandalkan oleh murid. Diandalkan dalam hal mendengarkan, membimbing dan mengarahkan mereka dengan baik. Ya, guru seorang pribadi yang terbuka sebagaimana sebuah tong sampah dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Semoga ia, seterusnya, semakin giat berliterasi. Dan semoga pula ketercapaiannya ini dapat mempengaruhi yang lain untuk mengikuti jejaknya. Sehingga dengan demikian generasi mereka (yang ada di NTT, Kupang khususnya) menjadi pegiat literasi yang aktif dan berdampak.

Tabe, Pareng, Punten!

 

Tilong – Kupang, NTT

Kamis, 1 April 2021 (09.52 wita)

Tinggalkan Balasan