Ilustrasi: id.lovepik.com.
Banyak orang akan bertanya kembali ketika diimbau untuk menulis. Apakah itu imbauan yang diterima dari orang per orang atau pribadi lepas pribadi yakni secara personal. Atau yang didapat dalam sebuah kelompok atau grup menulis yaitu secara klasikal.
Pertanyaan yang paling sering dilontarkan atau yang timbul berkelindan di benak adalah: Tulis apa – menulis tentang apa? Menulis harus mulai dari mana? Kapan waktunya untuk menulis? Bagaimana cara menuliskannya?
Sesungguhnya tidak sulit, rumit atau jelimet menulis itu. Tapi sebaliknya juga tidak gampang-gampang amat. Mesti ada sedikit perjuangan yang diperlukan dari setiap individu yang ingin mengejawantahkannya. Hanya perlu keberanian memaksa diri untuk memulainya.
Berhenti memberi alasan yang melemahkan diri sendiri. Alasan-alasan yang justru membuat diri enggan memulai. Jangan lagi membombardir diri dengan tuduhan-tuduhan palsu yang mengerdilkan kemampuan sendiri. Sebab sesungguhnya semua orang bisa menulis dengan cakap keren.
Pada kesempatan ini aku terdorong untuk berbagi pengalaman saja. Yaitu sesuai dengan yang aku alami dan lakukan sehubungan dengan dan seputar menulis. Pengalaman ringan bersahaja. Jadi bukan teori ilmiah yang mengerutkan kening.
Sambil berbagai sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Aku berharap para senior yang telah tergolong maestro dalam dunia tulis menulis karang mengarang juga mau ikut. Mau urun rembuk untuk menyempurnakan tuturan ini.
Kali ini aku mau menceritakan dan menjawab pertanyaan yang adalah judul tulisan: Tulis apa? Aku mau menulis tentang apa? Sepertinya tidak ada yang bisa aku tulis. Kekira itu yang terbersit di benak mereka yang ingin menulis. Betul begitukah? Tidak, teman!
Ada banyak hal yang bisa ditulis. Apapun itu. Apa saja yang tertangkap melalui pancaindra bisa ditulis. Seluruh alat dria manusia merupakan perekam terbaik dan terpeka yang menakjubkan. Mereka bisa menyimpan cerita menarik yang layak ditulis.
Oleh karena itu, ketajaman kepekaan merekam dari setiap panca indra harus selalu diasah. Supaya semakin hari ia semakin rinci merekam informasi yang bisa ditulis. Bila sudah ada hal baru yang terekam, sebaiknya langsung ditulis. Jangan ditunda agar tidak hilang terbang, menguap lenyap.
Sekali lagi, segala sesuatu yang dapat diliput indra manusia dapat ditulis. Yaitu segala sesuatu yang masuk melalui pintu penglihatan. Setiap yang masuk melalui dan mengusik pendengaran. Apa pun yang melesat melalui alat penciuman. Hal-hal yang menggoda alat peraba. Dan berbagai hal yang masuk melalui pintu perasa.
Penglihatan
Mata manusia adalah pintu terlebar masuknya informasi. Kita bisa melihat segala hal, baik maupun jahat. Hal yang membangun juga yang meruntuhkan. Dan semua hal itu akan bebas masuk dalam perbendaharaan alam bawah sadar. Entah kita sengaja atau tidak sengaja ,melihatnya.
Kita dapat secara langsung apa yang kita lihat. Seperti teman-teman reporter biasa lakukan yaitu laporan langsung. Atau laporan pandangan mata. Semua yang terlihat mulai dari yang besar sampai yang terkecil disampaikan secara detail, rinci.
Begitupun seharusnya dengan menulis. Apapun yang kita lihat bisa kita ‘laporkan.’ Tapi ‘siarannya’ di atas kertas atau di monitor mesin tulis. Kata-kata yang mau kita ucapkan dari semua hal yang kita lihat diubah jadi tulisan. Jadi rangkaian aksara yang ditorehkan.
Misal.
Aku melihat seorang anak laki duduk sendirian di bangku taman. Dia mengenakan kemeja lusuh, compang-camping. Baju berwarna dasar putih dengan ada motif kembang. Di bagian-bagian tertentu dari bajunya robek. Celana pendeknya merah bata yang tidak rapi.
Rambutnya tidak pendek. Tapi tidak juga terlalu panjang. Potongan khas lelaki. Tidak ada tanda-tanda disisir. Acak-acakan tak bermodel. Wajahnya kumal karena debu yang menempel. Tangan dan kakinya pun cemong berbedak debu. Ia gelantungkan kakinya yang tak beralas.
Jadi dari apa yang terdeteksi mata bisa kita uraikan rinci. Belum lagi misalnya bentuk mata. Warna mata. Ke mana dan bagaimana pandangannya. Adakah benda yang dipegang dan dimainkan? Dan masih banyak lagi. Maka mulai saja menuliskan informasi yang masuk dari gerbang mata.
Pendengaran
Obyek tulisan dari pendengaran niscaya semuanya adalah suara dan bentuk bunyi-bunyian lainnya. Seperti: Berbisik pelan atau berteriak memekakkan. Suara melengking tinggi atau ngebas yang bergema, dan sebagainya.
Bisa juga berasal dari bunyi gemericik air. Alunan nada musik, baik yang enak didengar pun sumbang sember. Benturan antarbenda pun bisa menjadi bahan tulisan. Bunyi kentongan tanda kebakaran. Suara sirene ambulans atau mobil aparat keamanan. Dan masih banyak lagi hal bisa dituangkan jadi bacaan yang memperkaya sukma.
Sebagai contoh, aku lanjutkan cerita di atas.
Dari pita suaranya, kedengaran dia sedang – antara – bersenandung lirih atau terisak tersedu. Tidak terdengar ucapan. Tapia da suara yang keluar dari mulut mungilnya. Kadang-kadang suaranya seperti bergetar. Entah fibrasi atau tangis yang disembunyikan.
Sesekali ia diam. Entah berhenti, entah karena kehabisan suara. Kadang juga suaranya diiringi oleh dan dengan suara suitan burung-burung kecil yang berlompatan. Mereka berkejaran berpindah dari satu ranting ke dahan atau ke pohon lainnya.
Mereka seperti ingin menghibur bocah kecil yang adalah sahabat baru di taman itu. Kadang juga suaranya terselingi oleh kernyit dari seluruh badan bangku yang goyah. Semua bunyi itu menyatu bag orkestra harmoni alam yang dibawa angin. Ia menyapa siapa saja yang ada di dalam taman itu.
Itu dia bunyi-bunyian yang bisa menjadi sebuah cerita. Belum lagi kalau di sana ada penjual es. Penjual gorengan, dan lain-lainnya. Masing-masing memiliki bunyi khas sebagai ciri dirinya. Bila itu dimasukkan dalam tulisan betapa kaya penggambarannya.
Maka ketika mendengar sesuatu yang menggelitik, tuliskan saja. Jangan ragu. Dengan begitu Anda telah memulai suatu tulisan keren. Dengan sendirinya yang lain akan mengikuti hingga tulisan itu berhenti pada klimaksnya.
Penciuman
Alat dria penciuman juga merupakan pintu masuk untuk mulai menulis. Semua yang tecium hidung bisa dijadikan bahan tulisan. Dan yang tercium pasti yang terbawa udara masuk lorong pernapasan. Semisal: Wangi-wangian atau bau tak sedap yang memuakkan.
Lanjut ceritanya.
Angin sepoi di sekitar taman mengusik dedaunan yang membuat mereka tak diam. Terus bergerak. Saling menggesek. Angin itu pun menjilati seluruh tubuh anak laki itu. Dan udaranya terbawa ke arahku. Aroma tajamnya membuatku pening. Rasanya seperti perpaduan antara vertigo dan mual. Entah sudah berapa hari ia tak membersihkan badan?
Begitulah kekira memproduksi tulisan dari dria penciuman. Belum lagi aroma dari banyak jajanan yang dijajakan di sana. Atau dari tumpukan sampah taman yang bertimbun. Dan banyak lagi yang lainnya. Teman-teman bisa mengeksplor lebih hebat lagi sehingga tulisannya menjadi bergizi. Terus tajamkan kepekaan penciuman. Tuliskan itu.
Peraba
Dari alat dria peraba juga kita bisa mendapatkan bahan untuk menulis. Seperti kita meraba dan merasakan keadaan kasar atau halusnya sesuatu. Misalkan: Permukaan kulit. Lantai rumah. Atau lainnya.
Lanjut ceritanya.
Anak ini kelihatan sedang merenungi nasibnya. Ia menghadapkan wajahnya ke depan ke sebuah arena bermain. Layaknya sebuah lapangan yang berkerikil berbintil di permukaannya. Ia menyapukan kedua telapak tangan mungilnya ke pipinya sendiri. Dan dia terkaget. Sebab telapak tangannya berlumur butir-butir tajam yang memerihkan kulitnya.
Perasa
Alat dria manusia yang terakhir adalah perasa yang berpusat di lidah. Ia merupakan pintu masuk informasi seumpama: Manis, pedas, asam, asin, dan seterusnya. Tapi selain itu juga bisa merasakan panas, dingin atau lunglai di sekujur tubuh. Semua itu bisa menjadi bahan untuk menulis. Tulislah itu!
Contoh.
Aku memesan rujak yang dijajakan seputar taman. Aku menikmatinya sembari memandang mengikuti situasi dan suasana sekeliling. Tak terasa mangkok di tangan kosong tiada yang bertinggal. Habis. Ludes. Tandas.
Yang tersisa yang kurasa hanyalah mulutku yang buka tutup seperti ikan mas koki. Aku berusaha menghalau kejamnya cabai yang masih membekas menempel menyengat di rongga mulut dan bibir. Aku menyeruput air mineral supaya ia segera lenyap.
Kekira sesederhana itulah menulis. Menulis segala apa yang tertangkap pancaindra. Menulis menguraikan apa yang kita lihat, dengar, cium/hirup, raba dan rasa. Kita dapat menulis semua itu dengan cara dan gaya yang kita sanggupi. Maka tidak perlu lagi bingung dan bertanya: Mau tulis apa?
Tabe, Pareng, Punten!
Tilong-Kupang, NTT
Jumat, 16 Juli 2021 (23.00 wita)