Ending Novel Novelis (8)

Di Perkebunan Ayah

Novel novelis
Ilustrasi: dokpri

Aku terbangun. Hujan sudah reda. Kulihat kabut mulai menyelimuti tempat ini.

Tunggu dulu! Di mana Pras? Kukira dia tadi berdiri di sebelah pojok kanan gazebo. Kok sekarang tak terlihat? Aku mau bangun dari posisi tidurku. Hingga kusadar, bagian kakiku diselimuti jaket dan badanku diselimuti slayer lebar. Tak salah, keduanya milik Pras. Tapi, di mana Pras?

Tiba- tiba dari gazebo sisi kanan, suara seorang lelaki menguap dan posisi tangan seperti meregangkan tangan. Kulihat dengan seksama, dan tak keliru, pasti Pras.

Aku panik luar biasa. Bagaimana bisa dia tidur di sampingku, sementara aku tak menyadarinya. Aku berteriak keras sambil mendorong tubuh Pras ke arah kanan. Alhasil Pras jatuh dan kaget bukan main

“Ada apa ini? Apa yang terjadi?” Pras meringis karena terjatuh dari gazebo.

“Justru aku yang harusnya bertanya, apa yang sudah kamu lakukan padaku?”

Pras masih mengucek matanya. Digaruk kepalanya, mengingat apa yang telah terjadi.

“Tak melakukan apa-apa, mbak…” terangnya enteng.

“Bohong! Kamu pasti bohong!!” teriakku.

“Mbak Ajeng, jangan teriak begitu dong!”

Pras mengambil jaket dan slayernya dariku.

“Lah…saya musti jawab apa, mbak? Dijawab jujur kok nggak percaya. Ya udah… saya jawabnya ganti saja. Tadi saya tak sengaja menyentuh…”

Mata Pras melihat ke arahku. Aku langsung naik pitam. Kucubit keras lengannya. Tak hanya itu, kupukulkan tasku ke tubuhnya.

Pras menahan tanganku yang terus memukulinya dengan tas. Dipegangnya kedua lenganku kuat- kuat. Aku berontak.

Dia menenangkanku. Aku menangis. Aku merasa menjadi perempuan paling sial dan hina. Tubuhku disentuh lelaki yang bukan apa- apaku.

Aku marah dan menantang tatapan matanya. Tak ada tanda marah di matanya. Teduh matanya membuatku tertunduk. Pras melepaskan kedua lenganku dan menyeka airmata di pipiku. Dia tersenyum padaku.

” Aku bohong, mbak. Aku nggak ngapa- ngapain mbak Ajeng. Percayalah…”

Pras menjauhiku. Disapukannya pandangannya ke arah perkebunan yang diselimuti kabut.

“Mbak Ajeng adalah perempuan yang saya hormati…”

Pras melangkah menuju perkebunan. Aku bergegas menyusulnya.

“Mas Pras…” Pras menghentikan langkahnya. Kusejajari lelaki itu.

“Maafkan aku…”

Pras tersenyum. Dianggukkan kepalanya.

“Mas, boleh aku minta tolong?”

Pras mengangguk. Aku ragu mengatakan permintaanku. Pras terlihat menunggu permintaanku.

“Mmmmm… Boleh nggak kalau aku pinjam sebentar jaketnya…”

“Mbak kedinginan?”

Aku tertawa kecil. Menertawakan kebodohanku yang salah kostum.

“Sedikit sih. Cuma mau kutalikan di pinggangku, biar nggak ngundang setan…”

Pras tertawa. Aku malu sendiri.

“Kalau nggak boleh ya nggak apa- apa…”

Dengan cekatan Pras melepas jaket yang telah dikenakannya. Diserahkannya padaku. Dalam sekejap, kakiku lebih terlindungi.

“Maaf merepotkan…”

Tinggalkan Balasan