Potret pendidikan di pedesaan selama pandemi

Edukasi234 Dilihat

Pulang ke tanah kelahiran kali ini membawa sedikit cerita. Kudus, salah satu kota di provinsi Jawa tengah adalah tujuan saya. Kota kretek sebutannya. Banyaknya pabrik rokok menjadikan kota ini mendapatkan sebutan seperti itu. Desa Besito Kauman adalah desa kelahiran saya. Hanya sekitar 5 km dari pusat kota Kudus. Tidak jauh memang dari pusat kota. Namun, lingkungan desa memang jauh beda dari kota. Masih banyak ditemui sawah disana-sini. Sungai-sungai kecil juga ada. Jauh lebih asri lebih tepatnya. Meskipun suasana pedesaan tetapi listrik, air, sinyal HP dan internet relatif lancar disini. Desa rasa kota kalau kata saya. 

Selain kondisi lingkungan yang berbeda, tingkat pendidikan dan mata pencaharian warga di desa saya berbeda dengan kota. Masih banyak warga yang belum mengenyam bangku perguruan tinggi. Maksimal hanya sampai SMA. Mata pencahariannya juga beda. Masih banyak yang bekerja sebagai buruh tani, buruh pabrik, pekerja bangunan dan pekerjaan non formal lainnya. Meskipun begitu, kepedulian akan pendidikan anak-anak nya sangatlah tinggi. Anak-anak di desa saya sudah banyak yang kuliah bahkan sudah sampai jenjang berikutnya. Pekerjaan nya pun otomatis mengikuti. Tidak lagi pekerjaan di lapangan melainkan kerja kantoran. Namun, adanya pandemi sepertinya agak memupuskan harapan para orang tua di desa saya akan pendidikan anak-anaknya.

Saya teringat cerita orang tua saya. Bapak ibu adalah kepala sekolah SD negeri di kecamatan saya.  Seperti sekolah lain, sekolah tempat kerja orang tua saya juga terkena dampak pandemi. Sudah berbulan-bulan tidak ada aktivitas KBM di sekolah. Semuanya berjalan dari rumah. Ibu pernah cerita, ketika di awal pandemi semuanya serba susah. Para guru di sekolah ibu kebingungan bagaimana cara yang tepat untuk memberikan pengajaran bagi siswa-siswi nya. Luring susah, daring apalagi. Meskipun sinyal internet lancar, namun gawai yang menjadi modal daring hanya dimiliki sebuah untuk tiap keluarga. Itupun yang memiliki para orang tua yang sehari-harinya dibawa bekerja. Jika sudah demikian, daring tidak akan berjalan. 

Luring kemudian dijadikan pilihan. Awalnya siswa diminta untuk menonton tayangan program belajar dari TVRI. Hanya beberapa siswa saja yang mengikuti. Selebihnya tidak. Bukan karena tidak mempunyai TV melainkan tidak ada pendamping di rumah yang mengingatkan. Rata-rata pekerjaan wali murid di sekolah ibu saya adalah sebagai pedagang di pasar, buruh pabrik dan petani. Mereka selalu berangkat kerja sebelum fajar tiba ketika para anak masih tertidur lelap. Biasanya pada hari normal, ada kakek nenek atau orang yang ada di rumah yang membangunkan. Tetapi, selama BDR, hari sekolah dianggap hari libur. Padahal pihak sekolah ibu saya sudah berulangkali menekankan bahwa tetap belajar biasa di rumah lewat tayangan TVRI. Namun itupun diindahkan. Akhirnya banyak anak yang melewatkan pembelajaran lewat tayangan TV karena banyak alasan. 

Solusi pun dicari lagi. LKS dan diktat digunakan sebagai ganti belajar dari TV. Semua materi dan penugasan hanya dari satu pintu, yaitu LKS atau diktat. Namun, ini juga masih ditemukan kendala. Tingkat pengetahuan pendamping yang tidak mampu mengajarkan anak ketika belajar dengan LKS. Akhirnya, banyak tugas yang terbengkalai. 

Solusi terakhir para guru di sekolah ibu melsayakan home visit untuk melsayakan pembelajaran. Memang tidak didatangi satu per satu rumah siswa. Tetapi menggunakan sistem beberapa siswa dikumpulkan di salah satu rumah siswa yang dekat dan mempunyai halaman atau teras rumah yang luas. Tidak banyak siswa, hanya 3-5 anak dalam satu pertemuan. Untuk siswa lainnya, menunggu giliran sesuai jadwal home visit yang telah diberikan. Di awal, anak-anak antusias. Banyak yang datang. Meskipun tanpa seragam, anak-anak semangat untuk belajar. Namun, itu hanya bertahan beberapa hari. Lama-kelamaan jumlah siswa yang ikut berkurang. Banyak alasan, mulai dari bangun kesiangan, tidak ada yang mengantar, dan sebagainya. Akhirnya, salah satu guru berinisiatif untuk menjemput siswa yang absen tersebut ke rumahnya. Dengan mengendarai sepeda motor, beliau mendatangi si anak yang tidak hadir. 

Sesampainya di rumah siswa yang bersangkutan, anak tersebut ternyata masih tertidur lelap. Neneknya yang di rumah ternyata tidak tega membangunkan. Sementara orang tua sudah berangkat pagi sebelum si anak bangun. Dengan lemah lembut, Bu Mimik, sang ibu guru, membangunkan anak tersebut. Dimandikan si anak, dibantu ganti baju karena memang masih kelas 1 SD. Diboncengkan juga si anak oleh beliau sampai ke tempat pembelajaran. Dan kejadian seperti ini tidak hanya satu atau dua kali, tetapi berkali-kali dengan siswa yang berbeda. 

Memang, sebaik apapun metode daring atau luring, tatap muka di sekolah jauh lebih efektif. Tidak hanya siswa, orang tua dan pendamping pun jauh lebih tanggung jawab dan disiplin. Meskipun beberapa kali ditekankan bahwa selama pandemi, pembelajaran berlangsung dari rumah, namun masih banyak siswa dan orang tua yang mengabaikan. Terutama untuk kelas kecil, yaitu kelas 1,2 dan 3. Belajar di rumah sama saja jadwal libur bagi mereka. Apalagi jika orang tua tidak di rumah. Serasa sedang menikmati libur semester yang panjang. 

Akhirnya, kembali lagi bahwa tidak dapat disamakan antara metode mengajar antara sekolah satu dengan yang lainnya. Mungkin bagi sekolah dengan SDM siswa, guru, wali murid dan sarana prasarana yang memadai untuk PJJ, kondisi seperti ini tidaklah begitu susah. Namun di sekolah desa dengan kondisi serba kekurangan baik sarpras, pengetahuan, kesadaran, dan sebagainya, sangatlah susah jika PJJ diterapkan. Adanya pandemi terasa begitu berat bagi keberlangsungan KBM di sekolah pedesaan. Sangatlah baik jika tatap muka di sekolah tetap diijinkan. Namun tetap dengan protokol kesehatan. Siswa masuk menggunakan giliran untuk menghindari kerumunan. Jam KBM pun tidak seharian. Cukup 2-3 jam sehari untuk tatap muka, selebihnya berlanjut belajar dari rumah. Jarak tetap diperhatikan dan jam istirahat pun ditiadakan. Anak hanya datang ke sekolah untuk belajar saja. Setelah itu pulang ke rumah masing-masing dengan jemputan. Bagi yang tidak dijemput, dapat ditemani guru hingga tiba di rumah. 

Meskipun hanya beberapa jam saja, anak akan merasa jauh lebih nyaman jika belajar didampingi gurunya di sekolah. Orang tua pun sama. Lebih mantab hatinya jika mempercayakan pendidikan putra putrinya dengan guru di sekolah. Hal ini karena, secanggih apapun teknologi dan sebagus apapun media luring yang digunakan, kehadiran seorang guru tidak dapat digantikan. Psikologi siswa akan terbentuk jika siswa bertemu langsung dengan gurunya. Mereka bisa mengingat gaya mengajar gurunya dan akan sangat diingat di pikiran mereka karena mengajar tidak hanya untuk mendapatkan ilmu tetapi lebih kepada pembentukan karakter. Hubungan emosional antara guru dan siswa yang terbentuk selama pembelajaran tatap muka akan sangat membantu bagi keberhasilan siswa. Tidak hanya berhasil dalam pembelajaran tetapi juga akan berhasil dalam meraih masa depan mereka.

Tinggalkan Balasan