Keinginan Fari untuk ikut bersama Reza pun terkabul. Setelah mengadakan persiapan dana khususnya, akhirnya ia tetap diberangkatkan ke Jawa. “Biarlah aku berkorban bagaimana pun caranya. Yang penting anakku sekolah dan bisa jadi orang yang berguna” Ibunya sangat menyayangi Fari karena ia anak lelaki terkecil dari empat bersaudara. Perilakunya memang agak lain dari saudara – saudaranya. Tidak bisa kasar bila menghadapi Fari.
Alangkah girangnya Reza melihat Fari datang menyusulnya di pesantren. Tempat baru yang sungguh masi asing bagi mereka berdua. Asing dalam segala hal. Mulai tidur, makan, mandi dan aktivitas pesantren lainnya semua sangat baru bagi mereka yang berasal dari dunia bebas di kampung sendiri. Sehari dua hari mereka berdua masih girang. Masa adaptasi bagi seorang anak remaja seperti mereka pada awalnya nampak biasa saja. Entahlah pada minggu – minggu berikutnya. Biasanya, setelah kurang lebih satu bulan, ketahanan mental mulai diuji oleh keadaan yang sesungguhnya.
Satu hal yang paling membuat Reza dan Fari asing adalah selera makan. Mereka berdua terbiasa makanan ala orang Kaili yang pedas dan kental. Semua serba pedas. Kecuali nasi yang tidak pedas. Sebaliknya makanan Jawa cenderung manis. Herannya bila mimum teh rasanya pahit tanpa gula. “Waduh, ini bagaimana punya,” pikir mereka berdua. Sebagai perantau yang masih baru maka dibutuhkan ketahanan mental yang super agar bisa bertahan dengan segala tata aturan yang berlaku khususnya di pondok pesantren.
Meskipun bukan tergolong pesantren besar seperti di Gontor atau Tasikmalaya, namun pesantren tetaplah pesantren . Jadwal bangun di malam hari untuk Qiyamu Lain dan Tadarus adalah hal biasa bagi anak pesantren. Bagaimana kenyataannya dengan Reza dan Fari? Sanggupkah mereka menjalani kondisi dadakan yang hadir di depan mata?
Salam Literasi
Astuti, S.Pd, M.Pd.
SMPN 14 Palu Sulawesi Tengah.