Suaka Margakata-Triple Blessing

Literasi42 Dilihat

Suaka Margakata

Triple Blessing

Oleh: Erry Yulia Siahaan

Mari beranalogi terbalik dengan istilah medis. Dalam bidang Kesehatan masyarakat, kita akrab dengan istilah triple burden. Suatu frase yang dimaknai sebagai beban tiga kali lipat, dengan adanya berbagai penyakit sebagai permasalahan yang harus ditangani dengan cermat. Baik penyakit yang baru muncul (new emerging diseases), penyakit yang sudah ada tapi masih menjadi masalah (emerging diseases atau existing diseases), dan penyakit lama yang kemudian muncul kembali (reemerging diseases).

Dalam kebahasaan, kita bisa menggunakan ketiga istilah sejenis untuk menggambarkan perkembangan bahasa dewasa ini. Yakni munculnya peristilahan baru (new emerging words), bertahannya kosakata yang sudah ada (emerging words atau existing words), dan munculnya kembali kosakata lama (reemerging words). Kita menyebutnya analogi terbalik, karena burden adalah beban, sedangkan kosakata yang berlimpah merupakan anugerah. Berkat. Kita pantas menyebutnya sebagai triple blessing.

Triple blessing mengingatkan kita bahwa perbendaharaan kata dalam bahasa tidak mengenal kompetisi. Semua hadir bersinergi, memperkaya literasi. Kemunculan begitu deras istilah-istilah modern idealnya tidak menjadikan kita lupa atau membengkalaikan kosakata yang sudah ada, baik yang masih aktif maupun yang pasif, kuno, dan klasik. Oleh sebab itu, ketika kita membahas revitalisasi kosakata arkais dalam konteks kebahasaan, tujuannya adalah mencari sinergi ditengah kebhinnekaan.

Triple Blessing

Berikut ini beberapa contoh kosakata yang bisa ditemukan sesuai pengemasan triple blessing tersebut.

Untuk new emerging words, kita kebanjiran peristilahan (dari yang sebenarnya sudah ada sampai ke yang benar-benar baru) akibat pandemic Covid-19. Seperti KDR (kerja dari rumah atau work from home), swakarantina (self-quarantine), karantina wilayah (lockdown), pandemi (pandemic), tes usap tenggorokan (throat swab test), uji cepat (rapid test), kenormalan baru (new normal), tes serentak (massive test), penyintas (survivor), kasus impor (imported case), penjarakan fisik (physical distancing),  penyaringan (screening), spesimen/contoh (specimen), penelusuran atau pelacakan (tracing), pistol termometer (thermo gun), dalam jaringan atau daring (online), luar jaringan atau luring (offline), dan sebagainya.

Untuk existing words, kita sudah mengenal zoonosis (zoonosis), kesehatan masyarakat (public health), virus Corona (coronavirus), penyakit menular (infectious disease), protocol (protocol), mencuci tangan, pencegahan, dan lain-lain.

Sedangkan untuk kategori reemerging words, kita bisa memilih kosakata pasif, arkais, dan klasik yang sengaja dimunculkan untuk kembali kepada bumi literasi di Tanah Air. Contohnya, kata-kata arkais yang sudah saya munculkan melalui seri tulisan tentang Suaka Margakata seperti abid, sarira, kirana, dan lainnya.

Ada semacam perlakuan untuk suatu istilah baru agar bisa masuk ke dalam entri kamus Bahasa Indonesia. Diterima atau tidak biasanya ditentukan oleh kriteria pembentuk istilah, pedoman pembentukan, dan pengguna istilah. Kriteria pembentuk istilah merujuk pedoman yang berisi tata cara pemebentukan istilah yang baik. Pengguna yang menjadi target dari pembentukan istilah sangat berperan dalam menentukan  apakah sebuah istilah berterima atau tidak. Jadi, sebuah istilah baru tidak serta merta akan diterima resmi sebagai kosakata dalam Bahasa Indonesia.

Oleh sebab itu, kosakata pasif, arkais, dan klasik yang sudah terdaftar merupakan harta berharga. Sayang bila dibiarkan menghilang karena tidak pernah lagi digunakan, apalagi mengingat banyak kosakata yang cukup estetis untuk sebuah produk kebahasaan. Begitu pula dengan kosakata yang sekarang ada dan kelak ada. Pembangunan literasi merupakan momentum untuk membangkitkan kecerlangan bahasa di Tanah Air. Di mana ketiga anugerah bahasa bisa saling bersinergi dalam alam literasi di Indonesia.

Bahasa Daerah

Dalam membahas (perkembangan) kebahasaan, kita tidak bisa mengabaikan cerita di balik perkembangan sastra. Kita sering mendengar pernyataan bahwa Bahasa Indonesia berakar pada bahasa daerah. Secara etiologis, hal itu bisa dibenarkan. Sejarah sastra membuktikan hal itu. Sastra Indonesia dibangun dari keragaman genre yang bersifat kedaerahan. Juga gaya kepenulisan, penokohan, mitologi, serta permasalahan politik, sosial, dan budaya dari mana keragaman itu berasal. Keragaman genre, baik yang umum (seperti puisi, prosa, dan drama) maupun yang khusus (seperti dongeng, legenda, mitos, hikayat, syair, pantun, dan gurindam), memberikan pengaruh pada keragaman lain yang diungkapkan oleh sastrawan daerah dalam karya-karya mereka.

Pegiat sastra daerah yang bukan penutur asli Bahasa Indonesia banyak memberi warna kedaerahan pada kreasi mereka yang sarat dengan penggunaan bahasa daerah. Cerita-cerita berlahiran dengan nuansa kedaerahan yang kental, sesuai dengan pemahaman mereka. Mungkin kala itu sulit menemukan peristilahan yang tepat untuk mewakili konsep yang hendak dituangkan. Hal ini mempengaruhi keberagaman produk sastra yang kemudian muncul antardaerah. Di sejumlah kawasan Sumatera, produk sastra yang lahir lebih bernuansa Melayu.  Muncul pula produk-produk bernuansa Batak, Jawa, Sunda, dan lainnya.

Kita bisa menyebutkan sejumlah nama sastrawan daerah seperti Amir Hamzah (nuansa Melayu), Bokor Hutasuhut (Batak), Hamka, Marah Rusli, Abdoel Moeis, daan Nur Sutan Iskandar (Minangkabau). Ada semacam kecenderungan bagi pegiat sastra untuk mengangkat  potensi daerahnya sebagai tema-tema penting dalam karya mereka, mencirikan bangkitnya sastra Indonesia yang bersumber dari budaya sendiri, khususnya sejak memasuki abad ke-20. Bermunculan sosok-sosok seperti Linus Suryadi AG dan YB Mangunwijaya (bernuansa Jawa), Ajip Rosidi dan Ramadhan KH (Sunda), SM Ardan (Betawi), Oka Rusmini (Bali), Putu Aryaa Tirtawirya dan Gerson Poyk (Nusa Tenggara).

Bahwa ada masa-masa di mana khasanah ke-Melayu-an banyak sekali bermunculan dan kemudian bertahan. Mereka kemudian meninggalkan jejak dalam kosakata yang kini kita sebut sebagai kata arkais dan klasik. Kita banyak sekali menemukan diksi arkais dan klasik dalam kamus yang berasal dari Pulau Sumatera. Kita maklumi mengingat Bahasa Melayu yang diangkat sebagai bahasa nasional berasal dari Pulau Sumatera.

Pengaruh bahasa daerah terhadap bahasa nasional, demikian pula sebaliknya, juga interaksi dengan bahasa asing, memunculkan lahirnya sarana baru yang memperkaya pegiat sastra untuk mengeskpresikan daya cipta mereka dengan estetika yang lebih memikat. Kini, kosakata dalam Bahasa Indonesia begitu berlimpah. Tidak lagi hanya bernuansa Melayu. Banyak kata-kata baru bermunculan setiap harinya. Semua itu memperkaya bahasa daerah, bahasa serapan, dan Bahasa Indonesia yang sudah ada sebelumnya.

Bhinneka Tunggal Ika

Riwayat perkembangan sastra di Indonesia memperlihatkan kebhinnekaan Indonesia, sekaligus keikaannya. Sastra Indonesia, khususnya perkembangan bahasa, cukup andil dalam mengatasi  multikulturalisme menuju kehidupan bangsa yang bersatu. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi merupakan potensi yang memperkuat dan memperindah persaudaraan. Ini sejalan dengan slogan yang sering kita dengar, “bahasa menunjukkan suatu bangsa”.

Di era yang semakin terbuka dan maju ini, pengaruh budaya dari luar Indonesia cukup kencang. Itu tidak bisa dihindari. Bahkan, pengaruh itu sudah kentara dalam produk bahasa sejumlah pegiat sastra sejak awal abad ke-20. Di satu sisi, hal itu bisa membantu pengayaan warna sastra di Tanar Air. Namun demikian, warna asli budaya sendiri sebagai warisan negeri, tetap harus diingat dan dilestarikan. Indonesia boleh modern, tetapi jangan sampai melupakan akar.

Terlihat bahwa dominasi Melayu pada khasanah kosakata arkais punya riwayat sendiri. Daftar diksi arkais akan bertambah panjang bila kosakata yang ada dan yang baru kemudian juga dilupakan. Corak asli bahasa Indonesia, yang berpilar pada bahasa daerah, idealnya mendapat tempat dalam perkembangan dan eksistensi budaya bangsa. ***

#Lomba Blog PGRI Bulan Februari 2021

#Hari ke-28, Minggu, 28 Februari 2021

Tinggalkan Balasan