Malam beranjak menuju pagi, tiba – tiba aku terbangun begitu saja. Aku pun meraih benda pipih yang selalu ada di samping bantal. Gawai berwarna merah muda dengan wallpaper foto diriku. Tanganku menggambar pola di layar 6,5 inci itu dan mataku tertumbuk pada jam di sudut atasnya. Pukul 03.00 pagi, masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas pagi ini, pikirku.
Aku pun memutuskan untuk menarik selimut lagi, walaupun tidak terlalu dingin. Hal ini aku lakukan agar tubuhku kembali nyaman dan bisa cepat tertidur lagi.
Namun, beberapa kali aku mencoba memejamkan mata, tetap saja aku kembali terduduk.
Akhirnya, setelah mencari – cari posisi tidur yang paling nyaman, aku pun bisa tertidur.
“Eli, aku mau pamit. Aku harus pulang ke kampung.” Terdengar suara Hans tegas.
Aku menengok ke arahnya. Mataku mencari – cari kebenaran dalam pernyatannnya.
Hans bergeming. Sejurus kemudian, dia memunggungiku dan melangkah ke luar rumah kami.
Aku mencoba memanggil namanya, “Haannnnsssss……!!!”
Tapi dia tetap melangkah dan kakiku pun sepertinya terpaku pada lantai rumah ini. Kemudian, butiran bening pun meluncur seperti air hujan yang turun dari langit.
Waktu seakan cepat sekali berlalu. Setiap hari aku menunggu kabar dari Hans. Berita kepulangannya ke kampung tanpa diriku, pasti menimbulkan tanda tanya di hati keluarganya.
Lantas, bagaimana juga aku harus menjelaskan hal ini kepada orang tuaku, jika sampai saat ini, tak ada satu pun kabar tentang Hans yang aku terima.
Akhir pekan nanti, aku harus mengunjungi kedua orang tuaku di kampung. Berat rasanya meninggalkan mereka di usia senjanya. Namun, aku terpaksa melakukannya karena tuntutan pekerjaan.
Kesibukan yang harus aku jalani pasti membuat mereka bosan sendiri saat menunggu jam pulang kantor.
Ayahku adalah seorang guru honorer sedangkan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga. Selain aku sendiri, ada saudara – saudaraku yang lain. Kami adalah lima bersaudara, si sulung Melinda, Aku, Lovita, Elisa, dan si bungsu Yonas yang masih sekolah di SMP.
Sebetulnya perasaanku sedang tidak enak ketika pulang ke kampung. Tidak seperti biasanya, Ahhh mungkin ini karena kedatanganku yang sendiri tanpa ditemani Hans ? Pikirku.
Setelah menempuh perjalanan dengan bus sekitar 4 jam, aku pun tiba di rumah kedua orang tuaku. Ayahku tampak kaget ketika mendengar ucapan salamku.
“Hallooooo, ayah dan ibu !” ucapku.
“Eliannaaaaa…..”Pekik ayahku tertahan.
Aku pun bergegas menghampiri ayahku. Kemudian setelah mencium dan memeluknya, aku pun berjalan ke arah dapur.
“Bu, Eliana sudah pulang.” Kataku.
Sama dengan Ayah, Ibu juga terlihat kaget melihat kedatanganku.
Aku pun mendekati ibuku dan memeluknya. Ibu pun seketika menangis tersedu.
“Bu, kenapa Ibu menangis ? Ibu tidak suka jika Eli pulang?” Tanyaku pada Ibu.
Ibu menggeleng perlahan sambil berusaha melerai air mata di pipinya.
“Tidak. Bukan begitu, Eli” jawabnya.
“Eli, apakah kamu sudah mendengar berita tentang suamimu, Hans ?” Tanya Ayah penuh selidik.
“Tentu saja Ayah. Hans bahkan pamit pada Eli untuk pergi ke kampungnya.”
“Apakah dia tidak mengatakan alasan sehingga dia harus pulang ke kampungnya ?” Ayah bertanya lagi.
Aku menggeleng lemah. Pasti ayah dan ibuku sangat kecewa karena anaknya tidak tegas kepada suami sendiri, pikirku.
“Hans ….. dia …..” Jawab Ayahku terbata – bata.
“Kenapa dengan Hans, Ayah?” Aku memegang kedua tangan ayah. Ayah pun membalas pegangan tanganku dan dari raut mukanya, aku melihat gambaran kekhawatiran dan ketakutan, bahkan penyesalan.
“Ayah, katakan saja. Apa Ayah dan Ibu sudah mendengar berita tentang Hans?” Aku mendesak mereka.
“Eli, dua minggu yang lalu, Hans datang ke sini.” Ungkap ayahku.
Aku merasa kaget, karena dua minggu yang lalu, adalah saat Hans pamit padaku sebelum dia pulang kampung.
“Lalu, apa yang Hans katakan, Ayah?” Tanyaku. Kini aku duduk di sebelah ayahku, di sebuah sofa minimalis berwarna coklat.
“Hans … dia … sudah menikah lagi, Eli.” Ayahku berbicara sambil menangkupkan kedua tangannya di muka.
Aku bergeming. (bersambung)
1 komentar