Aku, Mereka dan Cinta (end)

Hening, biasanya guru – guru yang malas mengajar akan pede habis berbisik – bisik dibelakang.

Tapi sejak Kepsek baru masuk setengah tahun yang lalu suasana sekolah benar – benar berubah.

Tapi yang paling membuatku merasa muak, kepsek baru selalu menjadikan kami guru honorer sapi perah untuk semua kepanitian.

Bukan rahasia umum, ada oknum guru ASN yang malas mengajar bahkan mengatakan kami guru honorer enak baru mengajar sudah mendapatkan honor besar, sementara mereka ketika pertama mengabdi hanya mendapatkan uang  sebesar 125 ribu saja.

Ah, rasanya aku ingin memekik keras dan mengatakan zaman sekarang uang yang katanya besar tidaklah besar karena implasi yang membuat uang dulu yang katanya kecil sama besarnya dengan uang yang kami peroleh sekarang.

Picik, mereka membandingkan uang dulu dengan sekarang dan menjadikan itu alasan untuk malas mengajar.

Ah, aku jadi lupa mereka tidak ada janji sumpah setia ketika mengambil profesi guru sehingga tidak ada beban ketika mengajar.

Kadang aku merasa bersalah ketika mereka berkata, gurunya tidak masuk ketika aku melewati kelas mereka dan bertanya kenapa mereka duduk di depan kelas.

Jika badanku bisa membelah seperti amoba aku akan membelah dan masuk disetiap kelas yang tidak ada gurunya.

Apasih susahnya, duduk dan melihat merek belajar. Apalagi prose pembelajaran sekarang ini sudah mudah. Bisa mengambil media dari youtube dan aplikasi lain yang memudahkan pembelajaran.

Sekali lagi helaan napasku terasa berat, memikirkan dunia pendidikan sekarang ini.

Semakin tinggi teknologi tuntutan semakin banyak, sepertinya kami tidak lepas dari uji coba untuk memajukan dunia pendidikan.

Ah, IT dengan aplikasi sudahkah mencapai kami yang berada di pinggiran.

Mana perginya sinyal ketika aku membutuhkannya, mereka lari, kadang menetap ketika aku lagi asyik berdiri di depan kelas memberi materi,

Ketika aku lapang karena tiada jam mengajar, sinyal tak bersahabat.

Menatap hampa ke depan buram, seburam hatiku mengingat dan menimbang paket yang tinggal tak seberapa.

Hatiku menangis baru saja mengikuti pelatihan aplikasi yang katanya membantu guru, tapi paketnya tidak ada yang bantu.

“Bu Cahaya bagaimana, siap untuk mengajar anak – anak membuat blog?” maaf Bu bisa diulangi perintahnya ucapku malu.

“Ya ampun Bu Cahaya sedari tadi Saya bicara sendiri. Apa yang menganggu pikiran Bu Cahaya, jangan bilang masalah jodoh.”

Aku malu mendengar kata Bu Intan, kepala sekolah yang baru, usia sudah matang untuk menikah tapi sepertinya hilal jodohku berkelihatan.

“Maaf bu, Saya takut kena SP.” Kataku pelan

“Memangnya Bu Cahaya buat salah?” lagi – lagi aku malu mendengar ucapan Bu Intan.

“Pagi tadi Saya terlambat, tapi saya berani jamin baru tadi pagi saya terlambat karena motor saya berulah. Selebihnya ibu bisa melihat absen print finger saya Bu. Saya berusaha untuk datang sebelum lima belas menit jam masuk kelas. Bapak saya selalu mengatakan yang datang tepat waktu bukan hal luar biasa tapi datang sebelumnya adalah orang yang mencintai profesinya.” Ucapku mantap.

“Bagus saya suka loyalitas Bu Cahaya, karena itu saya meminta Bu Cahaya menjadi kepala labor TIK dan menjadi Pembina untuk karya tulis remaja. Saya banyak membaca tulisan di blog Bu Cahaya. Sekalian memanfaatkan Wife sekolah dengan hal – hal positif.” Pucuk dicita ulampun tiba, batinku.

Ucapan Bu Intan seperti oase di gurun, selama ini aku selalu memikirkan bagaimana membawa mereka peserta didikku yang hobi menulis, kadang aku mempublish karya mereka berupa cerpen, puisi di blogku dengan mencantumkan nama mereka, setalah itu aku menyalin link supaya mereka membaca dan merasa bangga dengan tulisan mereka.

Walaupun blog pribadi aku sudah mempunyai pembaca sendiri, Alhamdulillah.

Rasanya hari ini aku mendapatkan durian runtuh, ceritaku mereka dan kecintaanku dengan dunia tulis menulis.***

 

 

Tinggalkan Balasan