Hari ini Rabu, 31 Maret 2021 langit cerah, berbalas WA dengan teman sekantorku bartanya tentang naik apa ke masjid Cheng Ho untuk menunaikan kewajiban yaitu vaksin sinovac .
Janijian kita naik mobil temanku Pak Afif, ok semua bertemu dirumahku jam 08.00, aku yang bayar tol nya begitu kataku.
Temanku Yuli dapat tugas mengambil identitas kami yang ada di loker sekolah, jam 09.00 kami berangkat.kebetulan rumahku dekat dengan pintu tol
Sampai di Cheng Ho, begitu ramai dan penuh sesak manusia, sampai petugasnya marah-marah karena kami tidak mematuhi prokes.
Di sini tempat vaksinnya Kemenaq dari unsur budayawan, takmir masjid dan seluruh guru dan pegawai di bawah naungan Kemenaq Surabaya. Otomatis banyak manusia berjubel di bawah terik matahari yang menyengat.
Alhamdulilah di tasku selalu tersedia minuman, yang kebetulan mengambil di mobilnya Pak Afif, pisang rebus dan roti pemberian tetangga semalam.
Teringat waktu haji 2019 harus ada makanan di dalam tas, minimal air zam-zam dan kurma, supaya kuat dalam setiap suasana.
Seperti acara temu kangen kami bertemu banyak teman-teman dari berbagai instasi yang dulunya pernah satu kantor. Walau sekedar saling sapa Alhamdulillah mengobati rasa rindu.
Sampai pada nomor 837, bergegas saya berganti tempat duduk, beralih ke bangku terdepan.
Di booth 5, pendataan dulu setelah itu saya disuruh ganti tempat duduk lagi untuk di cek kesehatannya 90/70 begitu kata petugas kesehatnnya. Saya pun bilang sudah biasa mbak…selalu rendah.
Dibuka catatan kesehatan yang baru saja saya isi, punya penyakita apa, alergi apa, dan saya punya penyakit asma, sedang batuk dan pilek.
“gini …ibu ke dokter dulu biar di perikasa ..nanti ke sini lagi,” , sambil membawa blangko riwayat penyakit, saya menuju dokter yang memakai lengkap baju asmat, padahal siang ini sangatlah panas. Andai saya yang pakai baju itu pasti sudah semaput duluan, itulah dedikasi seorang dokter.
Sama seperti saya di era pandemi ini harus siap 24 jam memberikan pelayanan kepada peserta didik yang terkadang menguras emosi dan kesabaran.
Ibu sakitnya apa, Tanya dokter yang terlihat dari alisnya yang tebal sangat manis dan cantik, mungkin berkumis tipis batinku menduga-duga.
“Asma dok”, ..sekarang kabuh tanyanya lagi, ada sesak begitu jawabku, saya juga pilek karena alergi.
“ada batuknya bu, .tanyanya lagi,”ada dok, sedikit, kalau begitu jangan vaksin dulu…aku pun gamang. “trus kapan saya vaksin dok” tanyaku setengah ragu. “lah ibu sehatnya kapan, ?
“saya selalu pilek tiap hari, batuk selalu ada, kemudian sesak, gandengannya dok.”
“Begini ibu ,ibu minum obat dulu jika sudah sehat baru vaksin…,”tapi saya tidak pernah minum obat dok, kalau tidak sangat berat begitu jawabku.
“Coba dokter cek dulu seberapa sesak saya”…begitu pintaku, terkadang aku ingin vaksin karena sebentar lagi akan mengajar di kelas. Tapi terkadang takut karena ada asma yang katanya berbahaya.
“apa bahayanya jika saya vaksin dok” doter menjawab,” ibu akan bertambah sesak”…cek dulu saja dok..kemudian dokter bertanya kepada temannya tentang suatu alat dan dokter laki-laki itu berkata bahwa alat itu tidak ada.
Dokter kemudian memeriksa dengan stetoskop diletakkan di bagian punggung, saya disuruh mengambil nafas panjang berulang-ulang, saya berusaha bernafas panjang, walau memaksa diri bernafas panjang, seumur hidup saya tidak pernah bisa meniup balon.
Dokter itu mengingatkan ku pada dokter yang biasa memeriksaku di rumah sakit tempatku rutin untuk control tiap bulan. Dokter laki-laki yang wajahnya tak pernah bisa kulihat, yang jelas terlihat adalah botak klimisnya yang menandakan otaknya amat encer.
Seorang dokter spesialis paru, sama persis memerikasanya di bagian punggung sampai ke bawah hampar ke pinggang.
“Ya sudah ibu vaksin saja”, saya terdiam karena saya juga takut akan dampaknya. “sepertinya ibu kuat dan sehat” lanjutnya.
Kemudian saya kembali ke meja untuk didata kembali dan petugas menyuruh saya untuk ke meja tempat vaksin.
Sangat halus hampir tidak terasa karena sedikit sekali cairan yang dimasukkan, entah kenapa aku tidak berfoto seperti teman-temanku yang lain mengabadikan moment heppy vaksin. Terkadang mengikuti trend adalah sesuatu yang tidak kusuka.
Setelah selesai saya disuruh menunggu selama minimal 30 menit sekaligus menunggu surat telah divaksin keluar.
Satu persatu temanku keluar kecuali aku yang lama menunggu, mungkin karena ada sedikit kendala dengan asmaku, mungkin maksudnya adalah untuk menunggu reaksi dari vaksin yang masuk ke aliran darahku.
Sambil menunggu saya kembali bertemu dengan teman kuliah S2ku, kami berfoto dan dia mendahuluiku pulang.
Mulai terasa ngilu di bahu kananku, teman-teman mulai WA kenapa kok belum keluar, mereka menunggu dengan gelisah. “Sabar” begitu balas Wa ku. Pisang dan roti itu menemani penantianku.
Akhirnya dipanggil juga namaku dan pulang, menuju rumah, tapi sebelum itu kami mampir di warung untuk makan semua ditraktir Pak Udin temanku, setelah turun dari Tol. Aku memilih pecel, rasanya kurang mantul tapi dilahap saja , katanya sesudah vaksin harus makan yang banyak.
Sampai di rumah aku langsung rebahan tertidur sampai lupa kalau temanku ada di rumahku sampai dia pamit pulangpun mataku sulit terbuka.
Rasa panas mulai ada sampai malam aku tertidur dengan kondisi badan seperti demam.
Di esok pagi harinya, demam itu seperti hilang begitu juga dengan rasa ngilunya, tapi pilek dan sesak sepertinya bertambah.
Istirahat adalah resep yang manjur, seharian tidak berkativitas, rumah yang tampak seperti kapal pecah dibiarin saja, yang penting makan, istirahat dan ibadah. Berdo’a semoga sukses vaksinnya walau semua sudah di taqdirkan oleh Allah SWT tapi tidak ikhtiyar juga bagian dari sombong.
Ku lihat grup Dinas total 9 temanku yang tidak vaksin karena berbagai kendala, ada yang karena batuk pilek, kurang enak badan, ada yang karena orang tuanya meninggal dan ada juga karena ada keperluan lainnya.
Alhamdulillah aku divaksin walau dengan hati yang deg-degan karena memang sebaiknya divaksin itu harus dalam keadaan sehat . kenekatan saya ini kadang juga berbahaya, tapi kepasrahaan juga harus jadi landasan bahwa daun yang gugur pun atas seijin-Nya.