Dari mana kalian? Nggak usah ikut-ikutan. Kamu tahu, kalau ayam-ayam ini sampai terlambat kamu beri makan bisa berakibat fatal. Bisa mati semua,” kata haji Muhyi. Nada suaranya meninggi. Matanya melotot memerah, sambil berkacak pinggang di depan pintu kendang.
“Lagian sudah jam segini, kamu nggak sekolah. Sana sekolah dulu. Mau jadi apa kamu. Malas sekolah. Biar dikerjakan Rono sendirian,” lanjut haji Muhyi.
“Saya libur pak,” jawab Slamet singkat.
Lalu keduanya mengangkat karung-karung makanan ayam sampai selesai.
Ini karung terakhir yang dipanggul Slamet. Dia letakan dengan keras disamping tiang kendang. Slamet lalu menduduki karung sampai lama.
“Ada apa?” suara pak Rono yang tiba-tiba berada di sampingnya.
“ Ya Allah wajahmu pucat sekali. Keringatmu ke luar sampai membasahi kaos. Kamu belum sarapan?”
Slamet menganggukkan kepala tanda mengiyakan pertanyaan pak Rono. Pak Rono segera menyuruhnya pulang untuk sarapan.
Sore hari setelah salat ashar seperti biasanya. Slamet, David, Yoga, dan Charles berkumpul di balai depan kendang. Empat cangkir kopi menemani keempat sahabat itu menikmati sore. Kabut yang mulai turun menyamarkan pemandangan di bawah sana. Lampu di kampung bawah mulai terlihat kemerlip. Suara musik di dalam kandang tetap saja benderu. Menenangkan sang ayam untuk tetap nyaman berada ada di istananya.
“Met. Met. Woi sini!” suara Pak Rosad dari seberang jalan.ok