MENGGELUTI RASA MALAS DALAM MENULIS

Terbaru29 Dilihat

Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom

“Salah satu pengerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah.” Membaca kata-kata bijak dari Buya Hamka ini saya tersadar. Begitu dalam maknanya jika direnungkan terkait keinginan untuk menjadi penulis. Kata malas yang menjadi inti ujaran Buya itu menunjukkan dampak yang kejam terhadap kehidupan ketika manusia yang dianugerahi talenta pikiran yang cemerlang kemudian menyia-nyiakannya hanya karena menuruti sifat malas.

Malas mengandung arti beragam karena termasuk kata sifat dan kata benda. Tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu, tidak bernafsu, tidak suka, segan, enggan. Begitu banyak maknanya tidak heran jika membuat suatu keinginan bisa terhambat bahkan tak terwujudkan.

Keinginan saya untuk menulis tumbuh ketika berinteraksi dengan suatu komunitas literasi. Himbauan tentang menulis setiap hari dan saksikan apa yang terjadi cukup menggelitik hasrat untuk membuktikannya. Apalagi membaca ujar bijak para cendekiawan semisal “jika engkau bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka menulislah karena tulisan akan abadi walau penulisnya sudah tiada.” Menulis, menulis dan menulis itu pun salah satu nasihat untuk konsisten dalam menulis.

Dalam bukunya “Write like a boss” Ben Hale salah seorang penulis terkenal dari Amerika berkisah, ia pernah menargetkan dirinya harus dapat menulis 500 kata per hari dan ia gagal. Banyak hal jadi alasannya urusan keluarga, bisnis dan waktu yang sempit. Tahun berikutnya ia mampu mencapai target tersebut, bahkan dapat menulis 1.000 kata. Apa pasalnya? Persoalannya terletak bukan pada seberapa tinggi target melainkan pada konsistensi pelaksanaannya setiap hari dan setiap waktu harus ada kemajuan. Prinsip ini sebenarnya berlaku untuk pekerjaan apapun.

Ada nasihat bijak menyatakan orang yang hanya dipenuhi oleh keinginan tanpa mewujudkannya adalah pemalas. Orang disebut rajin jika sesegera melaksanakan pekerjaan dengan giat. Ketika berhadapan dengan keinginan rasa enggan harus ditaklukkan.

Menyadari hal ini Saya memetik pelajaran berharga.Target memang penting, namun bukan hal yang terutama. Konsistensi untuk menulis itu yang harus dipegang teguh, niscaya rasa malas akan tersingkirkan. Rintangan tidak menjadi alasan dan ketika keinginan terwujudkan puaslah rasa hati ini. Konon dikatakan muara tulisan memang dalam ujud buku yang sekaligus menjadi mahkota seorang penulis.

Kini ketika waktu luang tak terisi dengan menulis, tak lengkaplah rasanya kegiatan yang dijalani sehari itu. Menulis, menulis dan menulislah, menulislah setiap hari dan saksikan apa yang terjadi. Itulah kiat menggeluti rasa malas dalam hal menulis.

Tinggalkan Balasan