Hai sobatku, masihkah anda ingat terakhir kali makan sambil meneteskan air mata? Jika anda masih ingat, syukurilah. Dan jika anda tidak pernah mengalami peristiwa demikian, berarti anda bukan termasuk dari spesies manusia!
Lebih tepatnya, anda adalah seorang “dewa” atau “malaikat” yang tidak pernah mengalami peristiwa pilu, patah hati, sedih, dan susah di tanah rantau.
Baiklah sobatku. Di episode yang ke-6 ini, saya akan kembali mengulik seputar “Muda Berkelana Tua Bercerita.’
Berkelana selalu identik dengan perjalanan jarak jauh dari kota atau kampung halaman menuju negeri seberang. Akan tetapi, berkelana juga bisa antar desa ataupun di dalam desa sendiri.
Namun, sebagian dari kita tidak menyadari hal demikian. Hanya segelintir orang yang menyadari keberadaannya sebagai pribadi pengelana. Dan saya menamakan mereka sebagai orang bijak.
Kebijaksanaan atau dalam bahasa Yunani adalah sophia tidak tergantung pada taraf usia. Melainkan pada pengalaman perjumpaan yang pada akhirnya membawa pemahaman baru seputar mekanisme semesta sekaligus korelasi antara semesta dan manusia sendiri.
Mengapa semesta memiliki hubungan intim dengan psiko emosional manusia?
Karena pada dasarnya, kita lahir dan besar di semesta melalui perantaraan ayah dan ibunda tercinta. Dan pada akhirnya, kita pun menutup mata dan kembali kepada pangkuan semesta.
Kita tidak perlu mempertanyakan diskursus atau konsep ini. Karena saya yakin dan percaya bahwasan setiap kepercayaan kita sudah mengajarkan hal demikian.
Sobatku, kita masuk pada pertanyaan serius ya. Saya harap, pertanyaan ini anda bisa simak dan renungkan sendiri. Dan pertanyaan lanjutann ini adalah, kapan terakhir kali anda meneteskan air mata saat makan?
Menangis dalam kbbi adalah; melahirkan perasaan sedih (kecewa, menyesal dan sebagainya) dengan mencucurkan air mata serta mengeluarkan suara (tersedu-sedu, menjerit-jerit).”
Adaptasi Sebagai Solusi Tepat Dalam Kondisi Sulit
Sebagai pendekatan kontekstual, saya akan membagikan pengalaman saya seputar makan sambil menangis.
Sobatku, tanah rantau itu keras! Jika saya dan anda tidak memiliki pekerjaan, di situlah air mata mulai membasahi kelopak mata kita.
Tahun 2015, saya memiliki kesempatan untuk menjalani kegiatan (Live In) atau tinggal bersama karyawan/karyawati di salah satu pabrik tas yang berlokasi di Surabaya.
Selama tiga bulan, saya hanya dibekali dengan uang lima ratus ribu dari komunitas. Bayangkan biaya hidup di kota pahlawan Surabaya memang masih tergolomg murah. Tapi, apakah dengan modal lima ratus ribu saya bisa bertahan?
Dalam keadaan tersebut, mau tidak mau, saya harus beradaptasi dengan keadaan. Maksudnya, saya mulai belajar manajemen diri dengan meningkatkan literasi keuangan agar modal lima ratus ribu bisa mencukupi kebutuhanku selama tiga bulan.
Setiap kali istirahat jam kerja, rekan yang lain mengajak saya untuk makan di warung. Saya pun selalu menutupi rasa lapar saya dengan mengatakan saya masih kenyang.
Akibatnya, berat badan saya turun drastis. Emosional saya tidak stabil. Perasaan sesal ikut mengejarku. Akhirnya, saya jatuh sakit. Lebih parahnya, sakit di tanah rantau itu lebih sadis daripada ketika kita bersama orangtua.
Karena tanah rantau telah membentuk karakter hidup setiap orang untuk hidup individualis. Memang, mau tak mau rata-rata perantau pasti dan nanti masuk dalam lingkaran tersebut.
Setelah air mata saya cukup membasahi tanah Surabaya, saya selalu mensugesti diri sendiri bahwasannya semua akan baik-baik saja. Walau pancaran sinar bola mataku tidak membohongi rasa laparku.
Akan tetapi, dari pengalaman tersebut, saya menjadi kaya akan pengalaman untuk “survival” atau bertahan hidup dalam kondisi apa pun.
Sobatku, terkadang kita harus menuliskan pengalaman sedih, patah hati kita kepada dunia. Tujuannya adalah untuk berbagi beban. Selain sebagai bahan pembelajaran untuk diri sendiri dan sesama di episode kehidupan yang akan datang.
Relevansi dan Manfaat Bagi Saya dan Pembaca
Terakhir; pengalaman itu telah membentuk diri saya untuk lebih peka dan peduli pada mereka yang tidak mendapatkan makanan dalam sehari.
Apalagi sebagai sesama perantau. Selain itu, setiap kali saya melihat pemulung dan anak jalanan yang mengemis di pinggir trotoar, rel kereta api dan ruang publik lainnya, hati saya teriris-iris, rasanya ingin ku menangis. Karena saya tidak tega untuk melihat sesamaku (liyan) mati kelaparan. Akan tetapi, saya pun tidak mempunyai apa-apa untuk berbuat lebih kepada mereka. Selain berharap kepada sang Arsitek untuk menyalurkan bantuan kepada mereka melalui tangan-tangan kasih yang selalu bekerja di belakang layar kehidupan.
Selain itu, saya pun semakin menghargai semangat “Justice, Peace, Integrity of Creation (JPIC) dalam bidang kemanusiaan dan lingkungan hidup.
Demikian coretanku di episode ke-6 ini sobatku. Semoga artikel ini, bisa memberikan manfaat untuk pembaca di mana pun berada untuk ikut membangkitkan rasa kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salam YPTD
Jakarta, 25 Agustus 2021
Tulisan yg sangat menyentuh.
Terima kasih ibu sudah meninggalkan jejak. salam