KMAA#1 : Berbanding Terbalik (Gadis Mandiri) Part 1

Novel, Terbaru16 Dilihat

Pagi itu seperti biasanya seorang gadis terlihat sibuk di rumahnya, mulai dari membuat sarapan untuk bapaknya, menyapu, mencuci, dan mengumpulkan barang rongsokan yang dibawa oleh sang bapak.

Sejak ibunya meninggal tujuh tahun lalu saat melahirkan adiknya yang paling kecil. Membuat dia harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri, walaupun terkadang dibantu oleh sang adik yang masih SMP.

Gadis itu tinggal bersama bapak dan dua orang adiknya. Mereka tinggal di Rumah yang hanya berukuran 7×8 meter. Bangunan yang terbuat dari batako tanpa plester terlihat berkubang di sana sini.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     Atap rumah dari genteng dengan warna sudah berubah hitam. Jendela rumah yang lapuk di makan rayap. Melihat kondisi rumah seperti ini, menandakan bangunan ini sudah cukup tua. Tapi kondisi ekonomi keluarga gadis itu yang membuat rumah yang sudah tidak layak huni itu belum juga di renovasi.

Rumah yang terdiri dari dua kamar tidur, dapur, kamar mandi dan ruang tamu. Walaupun hanya berlantai semen. Namun rumah itu Terlihat bersih dan rapi. Tidak banyak perabot di rumah tersebut. Hanya ditemukan kursi usang terbuat dari kayu. Di dinding terpajang beberapa  foto  seorang gadis manis dengan senyum mengembang sedang menerima piala dan piagam penghargaan. Di pojok ruangan terdapat meja kecil yang dipenuhi dengan piala yang pernah diraihnya.

Piala itu merupakan hasil jerih payah gadis itu, selama dia menuntut ilmu mulai dari sekolah Dasar sampai di sekolah menengah Atas.

Dia mengerjakan semuanya dengan cekatan dan sangat gesit. Satu persatu piala yang berjejer rapi di atas meja dilap dengan hati-hati. Tampak senyum merekah di wajahnya mengingat lomba demi lomba yang pernah diikuti untuk mengharumkan nama sekolahnya dulu.

Setelah selesai membereskan pekerjaan rumah. Gadis itu merebahkan badannya di kursi usang rumahnya sembari menselonjorkan kaki untuk menghilangkan rasa lelah yang dirasakannya setelah membereskan rumah.

Dia memandang langit-langit rumahnya yang bolong di sana sini. Dia teringat almarhum ibu yang sering membelai rambutnya yang sebahu kala dia merasa lelah sepulang sekolah dulu. Sang ibu hampir setiap hari melakukan hal itu, membuat keletihan yang dirasakan berangsunr-angsur sirna.

Butiran bening tiba-tiba menerobos keluar dari matanya yang sipit. Dia menyeka air mata yang mulai keluar sembari menghela napas panjang.
“Seandainya engkau masih hidup, mungkin aku tidak harus mengerjakannya sendiri,” gumamnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Gadis itu biasa dipanggil dengan nama Aisyah, walaupun nama lengkapnya Aisyah Larasati. Gadis dengan rambut hitam lurus sebahu dengan mata sipit dan kulit sawo matang itu tetap dengan posisinya semula. Dia tidak menyadari bahwa seorang laki-laki paruh baya sudah berdiri tidak jauh dari tempatnya tersebut.

Usia lelaki itu sebenarnya tidak terlalu tua, namun pekerjaannya sebagai pemulung membuat wajahnya tampak terlihat tua. Ada gurat kesedihan di wajah pria berpostur kurus itu saat melihat anak  sulungnya meneteskan air mata. Dia berjalan menghampiri dan duduk di samping putrinya tersebut.

Gadis itu dengan sigap mengusap air netranya yang masih keluar begitu menyadari kedatangan sang bapak yang sudah duduk di dekatnya. Dia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan langsung duduk dan menyapa lelaki itu  dengan wajah tersenyum.

“Apakah bapak sudah makan?” Tanya Aisyah dengan suara parau.
“Sudah,” jawab laki-laki tersebut. ” Ada apa nak? Mengapa kamu menangis?.

Tanyanya lagi dengan nada menyelidik5.

“Tidak apa-apa pak, saya hanya teringat almarhum ibu.” Ucap Aisyah.
“Bapak mengerti perasaanmu, nduk. Tapi walaupun kita menangis setiap hari, hal itu tidak bisa membuat ibumu bisa kembali.”

Lelaki itu terdiam sesaat sembari menarik napas panjang. Dia memalingkan wajahnya sembari menyeka air matanya yang hampir keluar. Dia tidak ingin menampakkan kesedihan dan kerinduan kepada almarhum istrinya yang sudah tiada.
sembari melanjutkan kalimatnya

“Jika dia masih ada, dia pasti bangga memiliki putri sepertimu. Lebih baik sekarang kamu focus pada kuliahmu, agar kamu bisa cepat selesai dan mendapatkan pekerjaan. Kita semua akan selalu mengirim doa untuk ibumu, semoga dia di berikan tempat terbaik di sisi-Nya.” Ujar lelaki tersebut.

Senyum gadis itu kembali mengembang, gurat-gurat kesedihan sudah tidak tampak lagi, wajah manisnya berangsur-angsur pulih. Hatinya merasa lega setelah mendengar wejangan lelaki yang selama ini menjadi pahlawan dalam hidupnya itu.

Nasehat dari sang bapak seolah-olah menumbuhkan semangat baru bagi Aisyah, untuk lebih giat lagi agar bisa secepatnya menyelesaikan pendidikannya. Sehingga dia bisa mencari pekerjaan dan bisa membantu meringankan beban orang tuanya tersebut. (Bersambung)

 

Tinggalkan Balasan