Selama sepekan ruang perpustakaan seakan menjadi rumah kedua baginya dia terus berburu literatur yang dibutuhkan untuk menambah wawasannya terkait materi debat. Hati dan pikirannya sudah mantap akan menampilkan yang terbaik untuk kampus tercinta.
Matahari baru menunjukkan kehangatannya, kicau burung terdengar sahut-sahutan, sesekali tampak mereka kejar-kejaran di atas ranting pohon mangga, udara pagi terasa segar saat terhirup hidung, saat pemuda berwajah timur tengah itu keluar dari rumah dua lantai menuju mobil jazz metalik yang terparkir di garasi.
Langkahnya terburu-buru, dia tidak ingin terlambat sampai di rumah Aisyah. Ia ingin menjadi orang pertama yang mendampingi sekaligus memberikan kekuatan dan motivasi kepada gadis yang selalu mengisi relung hatinya selama ini.
“Den Umam pagi sekali udah mau berangkat ke kampus,” ungkap pak Udin. Satpam yang sudah puluhan tahun bekerja di sana.
“Ya mang kebetulan pagi ini saya ada kegiatan sama temen, doain ya mang biar semuanya lancar dan memperoleh hasil yang diharapkan,” pintanya.
Lelaki paruh baya, dengan uban di rambutnya itu mengangguk dan langsung berlari membuka pintu gerbang yang masih terkunci tanpa menunggu aba-aba dari Umam. Mobil melaju di jalanan yang sudah dipadati oleh kendaraan.
“Assalamualaikum,” ucap Umam begitu dia sudah berdiri di depan pintu rumah Aisyah.
“Waalaikumsalam,” terdengar jawaban dari dalam.
Begitu pintu dibuka nampak lelaki remaja keluar dari pintu dengan kening berkeruk, sebelah alisnya naik begitu melihat pemuda berwajah mancung sudah berdiri di depan rumah.
“Aisyahnya ada?”
“Oh, temennya kakak, silahkan duduk dulu, biar saya panggilkan kak Ais.” Jawab Bayu sambil berlalu.
Tidak berapa lama Aisyah keluar. Baju gamis warna kuning telur dipadukan jilbab motif bunga membuat penampilan gadis itu terlihat cantik walau hanya di poles dengan make up seadanya. Untuk sesaat mata Umam tak lepas dari wajah gadis di depannya membuat Aisyah salah tingkah.
“Ayo bang, kita ke rumah May dulu, biar tidak terlambat.’ Ucapan gadis itu menyadarkan Umam dari keterpesonaannya kepada gadis itu.
“Oh, yaa,” mereka pun berjalan beriringan ke ujung gang setelah berpamitan kepada Pak Sukri.
Suasana Auditorium sudah ramai, saat ketiganya sampai di tempat acara. Mereka langsung mencari panitia untuk menyerahkan persyaratan yang dibutuhkan usai registrasi. Aisyah langsung membalikkan badan berniat mencari kursi kosong namun tertahan begitu melihat pemuda di depannya.
“Oh… Rupanya saya akan berdebat dengan anak pemulung hari ini!” Ledek Fadli.
“Mas jaga mulutnya kalau berbicara,” tukas Aisyah dengan nada kesal.
“Kenyataan emang seperti itu, kamu gadis miskin yang berusaha ingin merebut hati ibu dan adikku dengan menjadi guru les privat. Jangan mimpi kamu bisa melakukan tipu muslihatmu. Saya tahu kamu hanya menginginkan uang ibuku. Dan sekarang mau mencoba menantang ku dalam debat,” ucap Fadli.
Ucapan pemuda serasa keris memnghujam hati, perih sekali. Ingin rasanya dia mencengram mulut lelaki yang tidak punya sopan santun ini. Namun Umam berusaha mencegahnya karena tidak ada gunanya melayani orang sepeti itu.
“Sebentar lagi acara akan di mulai, anggap saja radio rusak, jangan sampai hal ini akan membuatmu lemah. Tunjukkan kepadanya dan kepada semua orang, bahwa kamu mampu mengalahkan dan mematahkan kesombongannya.” Umam mecoba membangkitkan kepercayaan diri Aisyah yang sempat down karena penghinaan yang dilontarkan Fadli.
Tampak keenam peserta sudah duduk di kursi panas. Moderator memperkenalkan mereka satu persatu lengkap dengan fakultas serta nomer urut yang diperoleh saat pengundian. Aisyah tak menyangka dirinya akan berhadapan dengan Fadli.
Fadli lebih banyak menonjolkan keangkuhan, kesombongannya, keutamaan harta benda tanpa mementingkan adab, sopan santun dan akhlak saat debat, namun Aisyah selalu punya alibi untuk mematahkan pernyataan lelaki angkuh yang jadi rival debatnya hari ini. Sehingga membuatnya tidak bisa berkutik lagi.
Mata elang Umam tak henti-hentinya memandang gadis manis yang sedang berdiri di podium, membuat rasa kagum itu semakin bersemi dihatinya. Sanggahan demi sanggahan terdengar dari masing-masing kandidat membuat tiga jam tak terasa, tepuk tangan selalu menggema menghiasi ruangan auditorium.
Tiga jam berlalu, tanpa terasa menyaksikan keseruan masing-masing kandidat mempertahankan pendapatnya sehingga membuat para dosen dan mahasiswa lain tak henti-hentinya memberikan aplus tepuk tangan kepada mereka.
“Tampaknya pemuda tadi benci sekali kepadamu Ais, kalau boleh tahu siapa sebenarnya lelaki itu?” Tanya Umam saat keduanya dalam perjalanan pulang.
“Fadli adalah kakak dari Parhan, salah satu siswa binaan saya yang pernah saya ceritakan beberapa waktu yang lalu. Saya juga tidak tahu, mengapa dia begitu membenciku. Seingatku selama mengajar di rumahnya aku tidak pernah melakukan kekeliruan kepadanya atau kepada siapa pun,”
“Kalau aku yang dihina seperti itu, sudah ku robek mulutnya,” tukas May kesal yang duduk di kursi belakang.
“Husss…harusnya kita bersyukur tidak memiliki mulut seperti itu, kalau kelakuan kita seperti itu, kita akan punya musuh dimana-mana, watak kita sama jeleknya dong sama dia,” kata Aisyah berusaha meredakan emosi sahabatnya.
Dengan wajah masam, May hanya menganggukkan kepala tanda sepakat dengan ucapan temannya.
Umam tetap fokus mengendalikan kendaraan yang dikemudikannya sembari sesekali ikut nimbrung dalam percakapan yang terkesan akrab. Walau dalam dirinya juga ada rasa kesal kepada Fadli, namun dia sangat menghargai pendapat Aisyah. (Bersambung)