Ketukan di pintu membuat lelaki jangkung itu membuka mata, sembari melirik jam yang teletak di atas meja. Dia melompat dari pembaringan dan langsung membuka pintu. Senyum lembut wanita yang melahirkannya itu membuat kantuknya langsung lenyap. Dia menggandeng sang bunda yang masih terbalut mukena.
“Saya sudah memutuskan akan mencoba membicarakan wasiat almarhum Kak Fadli dengan Aisyah, semoga semuanya dilancarkan.” Ungkap Parhan sembari meminta doa restu dari sang bunda. Wanita paruh baya itu langsung menghamburkan badannya ke tubuh kekar sang putra sambil melantunkan doa terbaik untuk kebahagian anaknya.
Setelah sang bunda berlalu, dia bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan salat subuh. Sesaat kemudian dia membuka laci meja dan mengambil selembar kartu undangan. Dipandanginya surat undangan pernikahan sang kakak, yang sempat disimpannya beberapa tahun lalu.
“Apa mungkin nama Kak Fadli akan tergantikan dengan namaku di undangan ini?” Batinnya.
Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja. Rasa penasaran yang teramat dalam membuatnya memencet nomer Aisyah. Dia tidak sabaran ingin mengetahui reaksi Aisyah mengenai wasiat almarhum sang kakak.
“Assalamualaikum Kak.”
“Waalaikumsalam, ada apa? Masih pagi sudah menelpon.”
Tanpa menjelaskan panjang lebar, wirausahawan muda itu hanya mengajaknya bertemu untuk mendiskusikan sesuatu hal. Gadis itu hanya mengiyakan setelah Parhan menyebutkan lokasi dan waktunya.
Menjelang siang, Aisyah melajukan motor maticnya menuju tempat tersebut. Saat memasuki area rumah makan, Parhan menyambutnya di depan pintu, rupanya lelaki itu sudah datang lebih dulu. Mereka pun duduk di pojok, tempat yang dari awal dipilih Parhan.
Lelaki bertubuh atletis itu tampak berwibawa dengan lengan kemeja di lipat rapi. Dia melambaikan tangan memanggil pramusaji untuk memesan beberapa menu makan siang, lengkap dengan minuman dan makanan penutup. Sembari menunggu, Aisyah menanyakan kabar Bu Nely dan memberi apresiasi atas keberhasilan usaha lelaki tersebut yang maju pesat. Tidak berapa lama pesanan mereka datang.
“Maukah kamu menikah denganku?” Pertanyaan itu spontan keluar dari bibir Parhan saat mereka menikmati makanan masing-masing. Tak ayal pertanyaan yang tak disangka-sangka itu membuat Aisyah tersedak, dengan sigap lelaki itu menyodorkan gelas air yang ada didepannya.
Setelah melihat gadis di depannya sudah lebih nyaman, Parhan langsung meminta maaf atas ucapannya yang terkesan lancang.
“Tidak apa-apa, saya hanya kaget dan tidak menyangka dengan pertanyaanmu.”
Dia menjawab sembari menundukkan kepala, wajahnya memerah, dia tak tahu harus menjawab apa. Dia mengaduk-aduk makanan yang ada di piring, namun tak jua dimasukkan ke mulut. Selera makannya lenyap bukan karena makanan itu tidak enak, namun karena tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
Melihat gerak gerik Aisyah, lelaki bertubuh maco itu langsung meminta maaf dan menarik ucapan yang dikeluarkannya barusan. Dia hanya berharap agar Aisyah memikirkan tawarannya tersebut dan akan menerima apapun jawaban yang diberikan. Suasana hening terasa sampai mereka meninggalkan tempat tersebut.
***
Aisah seperti cacing kepanasan di tempat tidur, perasaan bingung dengan segudang pertayaan muncul dalam benaknya. Walaupun dalam batinnya dia ingin sekali memiliki keluarga layaknya wanita lain. Namun mustahil baginya menerima pinangan lelaki yang lima tahun lebih muda darinya dan hampir menjadi adik iparnya. Terbayang sosok Fadli bermain di benaknya, lelaki yang pernah melukai hati sekaligus mewarnai hari-harinya, seakan bayangan itu terseyum dan merestui.
Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja, dan langsung menghubungi sahabatnya untuk sekedar berbagi cerita dan meminta pendapat. Reaksi May hampir sama dengan Aisyah, serasa tidak percaya. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Seperti biasa, ibu muda ini selalu bisa meluluhkan dan membujuk hati sahabatnya agar bisa membuat keputusan terbaik.
“Walaupun Parhan lima tahun lebih muda darimu. Jika kamu bisa menghargainya sebagi suami dan kepala keluarga, insyaallah tidak akan terjadi apa-apa, semuanya akan baik-baik saja. Ibaratnya rumah tangga Rasulullah yang selisih usianya 15 tahun dengan Siti Khadijah. Namun mereka tetap bersama sampai ajal memisahkan.” Ucapan May di telpon terasa seperti hujan yang mengguyur di tanah yang gersang.
Dalam keheningan malam yang pekat, dan sujud yang panjang, dia memohon petunjuk dari Sang Penguasa Jagat Raya agar dirinya tidak salah mengambil keputusan. Dia hanya menggantungkan harapannya kepada Sang Pemilik Hidup, agar diberikan jalan dan keputusan terbaik.
***
Entah dorongan dari mana di pagi buta, Aisyah sudah mengirim pesan singkat lewat whatshap guna mengajak Parhan bertemu di tempat kemarin. Ketakutan akan penolakan bermain di benak lelaki itu. Diselonjorkan kakinya di sofa kamar, usai menjalankan kewajiban sebagai seorang hamba. Pandangannya menatap langit-langit kamar seolah mencari jawaban yang akan diterima nantinya saat bertemu dengan gadis yang beberapa hari ini mengisi kekosongan hatinya.
Diraihnya buku La Tahzan yang tersusun rapi di rak kamarnya. Dia mencoba mencari ketenangan dengan membaca beberapa bab. Hal ini sering dia lakukan saat kegalauan menghampiri dirinya. Kalimat-kalimat motivasi dalam buku tersebut sebagai pengingat bagi dirinya bahwa semuanya sudah ada di skenario tuhan.
“Allah akan memberikan apa yang hambanya butuhkan, bukan apa yang seorang hamba inginkan, karena Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk seorang hamba. Baik menurut manusia belum tentu baik menurut Allah.” Dia mencoba membaca kalimat tersebut berulang-ulang dengan suara berbisik. Seakan dia berusaha memahami lebih dalam makna yang ada dalam kalimat tersebut.
Kemeja warna magenta di padu celana warna gelap membalut tubuh atletis lelaki berwajah cool menambah ketampanannya. Setelah berpamitan dan meminta doa restu sang bunda dia pun berangkat ke kantor. Bu Nely hanya menatap punggung sang putra diiringi dengan doa terbaik agar dimudahkan semuanya.
Kegelisan sangat tampak di wajah Parhan, tak henti-hentinya dia mondar mandir di ruang kerjanya. Matanya selalu tertuju pada jam dinding yang terpajang di tembok. Seolah waktu berjalan begitu lambat. Ingin rasanya ia memutar jarum jam ke angka 14.00, waktu yang sudah ditentukan oleh Aisyah.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, menjelang siang Parhan langsung melajukan kendaraannya menuju lokasi kemarin. Suasana restoran tampak ramai oleh pengunjung yang akan makan siang. Sengaja dia memilih tempat duduk yang kemarin agar lebih nyaman, karena berada di pojok dekat taman.
Hampir tujuh puluh menit menunggu, pengunjung restoran berangsur-angsur meninggalkan tempat itu. Namun lelaki itu belum beranjak dari duduknya. Dia asyik dengan gawai ditangan, sesekali matanya melirik arloji dan tempat parkir berharap Aisyah datang lebih awal.
Dari kejauhan tampak gadis yang ditunggu-tunggu sudah memasuki area parkir. Ditariknya napas dalam-dalam agar debaran dijantungnya bisa diajak kompromi. Sembari ia merapikan bajunya yang tidak kusut.
“Sudah lama?” Tanya Aisyah
“Barusan,” jawab Parhan berbohong.
Setelah keduanya duduk berhadapan, lelaki itu pun memesan makanan seperti yang kemarin. Untuk sesaat Parhan terdiam, dia membiarkan Aisyah menikmati makanannya sampai habis khawatir kejadian kemarin terulang kembali yang membuat selera makannya hilang.
Setelah meneguk minumannya, Aisyah ingin memperjelas maksud perkataan Parhan dan akan menyampaikan hasil renungannya semalam. Namun sebelumnya lelaki itu memperlihatkan surat wasiat sang kaka. Dia ingin memulai dari awal dengan kejujuran tanpa ada yang perlu disembunyikan. Gadis itu tertegun beberapa, ditariknya napas dalam-dalam. ucapan basmalah terdengar lirih keluar dai bibirnya.
“Saya bersedia, namun dengan satu syarat pernikahannya segera dilakukan dengan sederhana. Saya khawatir kejadian dulu terulang kembali.” Jawab Aisyah spontan tanpa beban.
Sontak Parhan langsung melompat. Dia tidak peduli beberapa pasang mata menoleh ke arahnya. Baginya kebahagiannya saat ini paling penting. Senyum terkembang di wajah manis Aisyah melihat kekoyolan yang dilakukan oleh pria di depannya.
Kedua insan itu pun berjanji akan bertemu dengan Pak Sukri dan Ibu Nely untuk membicarakan pernikahan tersebut. (Bersambung)