KMAA#28
Meski sangat sederhana berupa selamatan kecil dan hanya dihadiri seorang Ustadz Ali Mustofa tetangga kami, acara ‘bangun nikah’ kami lakukan. Dengan niat memohon ridlo Allah SWT, mohon ampunan atas semua kesalahan dan kekhilafan yang sudah kami berdua lakukan selama menjadi suami istri. Terlebih aku kala itu pernah marah dan sangat emosi, mengucapkan minta cerai pada Mas Aro, namun tak sepatah katapun Mas Aro jawab. Tentu dia tidak ingin bercerai denganku hanya karena masalah ekonomi rumah tangga kami, apalagi setelah dua anak yang lucu menghiasi rumah kami. Dan dia paham betul bila dia meladeni aku yang terbawa emosi, tentu akan berakibat fatal. Maka saat pertengkaran hebat itu dia hanya diam tak menjawab. Setelah kemarahanku mereda, tangisku tak sesegukan lagi, dia menghampiriku.
“Maafkan aku, Dik Nung. Jangan pernah ucapkan kata itu lagi. Percayalah, kekuatan cinta kita mengalahkan kesulitan kita.”
Setelah berkata itu, dia keluar rumah, entah kemana aku tak tanya. Aku masih terlalu sedih dan kecewa. Kemarahan ini membuatku lelah dan sangat lelah. Tak hanya ragaku saja yang lelah, lemas, karena marah menguras energi, tapi juga batinku terluka sendiri dengan kata-kata marah yang kuucapkan, sehingga aku tak bertanya mau kemana dia. Aku masih merenungi ucapannya yang terakhir, jangan pernah ucapkan kata itu, maksudnya adalah kata cerai. Entah setan mana yang telah merasuki aku, hingga aku berucap minta cerai darinya. Astaghfirullahal adziim…Alhamdulillah Mas Aro tak menjawab sedikit pun. Apa jadinya, bila dia emosi juga dan menjawab permintaan ceraiku, tentu akan jatuh talak satu untukku.
bersambung…