Lamunanku (4)

Terbaru28 Dilihat

Alhamdulillah, akhirnya malam ini aku bisa tidur nyenyak, tapi entah besok dan besoknya lagi. aku menarik selimut untuk mengusir rasa dingin yang mulai merambat dengan semakin malam. Jam dinding menujukkan angka sebelas, sebelum mataku berangsur mengecil karena kantuk yang sudah tak bisa aku tahan.

Samar azan subuh berkumandang, tidak biasanya mataku masih berat untuk terbuka, tapi aku harus bangun sebelum terompet pagi mulut Mak Cik yang akan memekakkan telingaku.

Setelah menyerahkan pagiku kepada-Nya, memohon kebaikan hari ini kepadanya aku melangkah menuju dapur. Rutinitas pagi sebelum berangkat ke kantor, pagi ini dahagaku tidak sampai menunggu ke kantor untuk mencicipi teh hangat di pagi yang dingin ini.

Setelah selesai tugas di dapur, aku mempersiapkan diri setelah pamit kepada Pak Cik dan Mak Cik.

***

Siang ini, suara ribut mengema setelah kami semua mendapatkan sebuah surat dari bagian humas. Dengan gemetar tanganku membuka surat yang ada di tanganku, sambil merapal doa aku berharap keberuntungan berpihak kepadaku, semoga.

Netraku membulat, seakan tidak percaya. Tulisan itu aku ulang beberapa kali, takut aku salah membaca. Setelah yakin dengan yang aku baca, berulang kali aku mengucapkan syukur, spotan aku duduk dan bersujud di hadapan teman kantor, semua memandang heran kepadaku.

“Sinta ada apa?” salah satu temanku bertanya

“Aku dipromosikan naik jabatan.” Ucapku cepat

Semua teman kantor memandangku, akhirnya satu persatu dari mereka menyelamatiku atas promosiku.

***

Langkah tergesaku menuju rumah, niat hati ingin membahagiakan keluarga dengan promosi yang aku dapat, tapi semua lamunku hancur. Ketika kakiku menginjak rumah, di ruang tamu ada rombongan Pak Daud yang sedang bersembang dengan Mak Cik, aku melihat mencari keberadaan Pak Cik tapi tak ada.

“Nah yang ditunggu sudah datang. Sinta sini, duduk kat sini.” Suara Mak Cik mengema, tangannya menyuruhku duduk di sampingnya.

Dengan langkah berat aku melangkah menuju ke arah yang di minta Mak Cik, Aku duduk dengan perasaan gundah. Ya Allah, baru saja aku melamunkan wajah bahagia Pak Cik, Mak Cik dan Mira sepupuku. Dan tak ada lagi hinaan Mak Cik yang menganggap aku menyusahkan hidupnya. Aku diam seribu bahasa.

“Sinta, duduk sini.” Ucapan Mak Cik bagaikan petir di siang bolong.

Dengan langkah gontai aku mendekati Mak CIk, meletakkan bokongku ke kursi panas, bagaikan bermain game saja ada istilah kursi panas, tentu panas karena sudah banyak lamunan akan kehancuran hidupku ke depan.

Senyum Pak Daud membuatku merasa tercekik di leher oleh tangan yang tidak Nampak, semakin lebar senyumnya semakin aku merasakan sesak napas yang kuat. Aku berusaha untuk tetap tenang, tanganku sudah berkeringat tentu saja dahiku juga berkeringat. Tatapan mengitimasi dari Pak Daud yang melihat kepadaku seakan ingin menelanku hidup – hidup, membuatku tak kuasa untuk melihat kepadanya.

Aku merasakan remasan di tanganku, aku memandang sekilas ke arah Mak Cik, semacam pemaksaan akan hasrat oleh Mak   Cik lewat genggaman tangannya kepada tanganku.(bersambung)

Tinggalkan Balasan