Perlakuan Terhadap Kaum Disabilitas di Angkutan Umum Dunia

Edukasi41 Dilihat

Seri KAMB 1

Kalangan disabilitas sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, terutam di sarana angkutan umum, masyarakat perlu memberikan dukungan

Oleh: Syaiful W. Harahap

Bandara Internasional Sydney, Australia, Oktober 2001. Rombongan peserta Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP – International Congress on AIDS in Asia and the Pacific) VI di Melbourne, Australia, dari Indonesia dalam perjalanan pulang dengan transit di Bandara Sydney.

Tiba-tiba …. Cittttttttt …. Cittttttttttt …..

Suara ban kendaraan listrik yang dipakai petugas untuk keperluan patroli di dalam areal bandara karena direm mendadak persis di sebelah ‘gerombolan’ aktivis AIDS Nusantara.

Ada apa gerangan?

“Maaf, apakah kalian teman Ibu yang di kursi roda itu?” tanya petugas laki-laki setelah melompat dari kendaraan dinasnya.

Memang, waktu itu ada salah satu teman, perempuan, yang disabilitas dengan memakai kursi roda.

“Mengapa dia tidak menunggu di dalam pesawat?” lanjut petugas tadi sebelum kami sempat menjawab pertanyaannya.

Kami hanya bisa menggeleng.

Petugas itu langsung mendekati petugas di dekat pintu masuk ke pesawat. Dari tempat kami duduk tampak jelas petugas itu menunjuk-nunjuk muka petugas di pintu masuk area pesawat. Kami tidak mendengar apa yang dia sampaikan.

Yang jelas petugas itu menghampiri kami lagi: “Sudah beres teman kalian segera naik ke pesawat, tolong yang menemaninya ikut juga.”

Masya Allah begitu pedulinya Si Bule itu terhadap kaum disabilitas.

Hal itu benar-benar membuat iri karena di negeri saya yang selalu berteriak sebagai negara berbudaya dan beragama perlakuan terhadap disabilitas dan lansia serta permpuan hamil jauh berbeda dengan yang diperlihatkan Si Bule itu.

Seorang teman, (alm) psikolog UI, Sartono Mukadis, juga di kursi roda karena salah satu kakinya diamputasi dengan alasan medis juga mengalami hal yang tidak menyenangkan.

Dia sering pulang-pergi ke Batam, Kepri, urusan pekerjaan. Sebelumnya tidak di kursi roda.

Tapi, ketika dia memakai kursi roda (tahun 1990-an), waktu itu akan naik pesawat Garuda Indonesia, tiba-tiba di pintu masuk jelang belalai petugas buka suara: “Kok nggak ada yang nemani, Pak?”

Ini, sih, Astaga ….

Untuk apa ada mereka ada dengan terima gaji di pintu masuk dan petugas di bandara mulai dari pintu masuk, check-in sampai ke pesawat?

Ketika dia mengeluh betapa buruknya pelayanan terhadap disabilitas di negeri ini.

Kuala Lumpur, Malaysia, 2000. Stasiun kereta api (KA) Pudu. Seorang petugas dengan perawakan Asia Selatan memelototi layar monitor di bagian pemberangkatan kereta yaitu MRT.

Di KieL (ini sebutan bangga warga Malaysia terhadap kotanya, Kuala Lumpur) MRT hanya dua gerbong dan dijalankan secara otomatis dari stasiun. Itu artinya tidak ada masinis dan Satpam.

“Maaf, Encik lihat apa?” kata saya bertanya kepada petugas itu.

“Saya mengecek apakah ada disabilitas yang akan naik,” kata petugas itu, seraya melanjutkan, “Kalau ada disabilitas mendekati pintu, kereta tidak akan saya lepas (jalankan-pen.),”

Masya Allah lagi ….

Coba kita tarik ke Indonesia terkait disabilitas.

Angkutan umum yang dibanggakan Jakarta yaitu Busway atau Trans Jakarta.

Apakah disabilitas di kursi roda bisa naik ke halte (shelter) dan bus tanpa bantuan orang lain?

Tidak bisa!

Begitu juga dengan kereta rel listrik (KRL). Sama sekali disabilitas di kursi roda tidak bisa naik, bahkan ke peron pun amat sangat sulit tanpa bantuan orang lain.

Stasiun KA Krenceng, Cilegon, Banten, 2 Juli 2022. Di peron ada seorang perempuan memakai tongkat penyangga badan menunggu KA Lokal Merak-Rangkasbitung.

“Ada yang menenami, Mbak?” tanya saya.

“Ada, Pak,” kata perempuan itu sambil menunjuk seorang ibu.

Saya mulai khawatir akan berdesakan ketika hendak naik. Tapi, hal itu tidak terjadi namun tidak ada petugas perempuan dari stasiun itu yang membantu perempuan disabilitas tadi. Ketika tangga digeser petugas satu dua penumpang masih saja mendahuli perempuan disabilitas itu.

Padahal, kalau saja ada petugas perempuan yang mendampingi di tangga tentulah keamanan perempuan disabilitas tadi lebih terjamin.

Di Banten akan jadi masalah kalau bukan muhrim terkait dengan kegiatan di ruang publik sekalipun, seperti memegang tangan perempuan disabilitas tadi. Biar pun untuk membantu.

Maka, dua Satpam yang menempatkan tangga tidak membantu perempuan tadi. Makanya, kepala stasiun harusnya lebih peka dan responsif terhadap situasi seperti yang dihadapi perempuan disabilitas itu.

Dia bisa saja menugaskan karyawan atau pegawai perempuan untuk membantu perempuan disabilitas itu.

Saya tidak bisa ikuti bagaimana perempuan disabilitas itu mendapatkan kurisnya karena biar pun sudah ada nomor tempat duduk di karcis, masih banyak penumpang yang ngotot: Duduk saja di kursi yang kosong!

Permintaan petugas melalui pengeras suara di tipa gerbong bagai ‘anjing menggonggong penumpang tetap seenaknya pilih tempat duduk.’

Suatu malam di tahun 2021 sekitar pukul 20.00 WIB di Sta KA Tanah Abang, Jakarta Pusat, KRL dari Rangkasbitung masuk staisun. Di peron lautan manusia akan menyerbu agar bisa duduk.

“Ibu pegang bahu saya,” pinta saya kepada seorang perempuan hamil karena saya bisa mendorong calon penumpang yang berdesakan.

Sayang, ibu itu memilih berteriak: “Saya hamil!” daripada memegang bahu saya.

Saya sudah hampir di ujung eskalator yang naik, ibu itu masih di pintu gerbong KRL dan terus berteriak “Saya hamil!”

Sementara itu calon penumpang terus saling dorong naik ke gerbong KRL.

Namun, biar pun petugas di Bandara Sydney peduli terhadap disabilitas, lain halnya dengan segelintir sopir taksi di Melbourne. Beberap kali teman perempuan yang di kursi roda tadi ditolak sopir taksi.

Maka, dia memilih bersama teman lain sehingga sopir taksi tidak bisa menolak.

Kondisi ini bisa dijelaskan oleh pakar-pakar di bidang sosiologi dan psikologi: mengapa sikap petugas di bandara berbeda dengan sopir taksi di jalanan kota besar, seperti Melbourne, terkait dengan disabilitas? (Sumber: tagar.id, 7/7-2022). *

*Disabilitas (KBBI): keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang; keadaan tidak mampu melakukan hal-hal dengan cara yang biasa.

Tinggalkan Balasan