Pada postingan sebelumnya, saya sudah membahas sekilas tentang reward and punishment. Di postingan kali ini, saya akan lebih fokus membahas tentang kebiasaan memberi hadiah dan dampaknya. Betapa pentingnya hal ini untuk dipahami sehingga pemerintah membuat modul khusus baik di Pendidikan Guru Penggerak (PGP) maupun Platform Merdeka Mengajar (PMM).
Di tahun 1960-an, seorang psikolog bernama Walter Mischel mengadakan eksperimen terhadap anak-anak dengan menggunakan marshmallow. Anak-anak dihadapkan dengan sepotong marshmallow. Mereka kemudian diminta menunggu selama 15 menit. Jika mereka berhasil menunggu (tidak memakan marshmallow) selama 15 menit, maka mereka akan mendapatkan dua marshmallow.
Hasil eksperimen menunjukkan 200 anak mampu menahan diri mereka untuk tidak mengambil marshmallow di 15 menit pertama. Menurut Anda, apakah hadiah marshmallow telah efektif membuat anak-anak tersebut lebih disiplin?
Atau … Anda termasuk yang berpikir bahwa anak-anak tersebut “mau bersabar karena ingin mendapatkan dua marshmallow”? Bukan karena mereka memang anak yang disiplin. Bagaimana membuktikannya? Mari asumsikan tidak ada satu marshmallow tambahan sebagai hadiah. Nah, jika “hadiah dihilangkan”, akankah anak-anak tetap bersabar menanti 15 menit?
Contoh di atas menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, pemberian hadiah membuat seseorang lupa akan motivasi internal. Mereka akan melakukan sesuatu karena “mengharapkan imbalan”. Mungkin pernah Bapak/Ibu temua di beberapa instansi, ketika kita butuh bantuan, harus ada imbalan yang disiapkan. Bisa jadi, orang-orang tersebut (yang meminta imbalan) sudah terlalu sering/terbiasa sedari kecil mendapatkan imbalan ketika berhasil melakukan sesuatu.
Contoh lain yang bisa saja terjadi di lingkup dunia pendidikan adalah seorang guru menjanjikan nilai yang bagus bila peserta didik mau melaksanakan piket walau sendirian, anak dijanjikan akan mendapat uang bila berhasil menjadi juara kelas, dsb.
Kohn, berpendapat bahwa ada lima alasan mengapa pemberian hadiah berdampak buruk pada tumbuh kembang anak, yaitu:
- Menghambat kinerja, kreativitas dan motivasi murid. Anak yang diiming-imingi hadiah mungkin akan berubah motivasinya. Misal jika mendapat nilai tertinggi dalam ujian, ia akan mendapat sejumlah uang. Motivasi anak untuk belajar bisa saja berubah yang semula murni menjadi belajar untuk dapat hadiah uang.
- Hadiah punya potensi hukuman. Sebagaimana hukuman, dalam hadiah pun ada “janji” yang harus ditunaikan. Bila tak tercapai, bukan saja hadiah tak didapat, bisa jadi anak akan menjadi kecewa.
- Menyebabkan putusnya hubungan sosial. Ketika seorang anak melakukan sesuatu untuk hadiah yang diinginkannya, maka ia akan menganggap siapa pun yang menghalangi jalannya sebagai penghalang. Lebih parah, anak tersebut bisa menganggap orang lain sebagai musuhnya. Hal ini tentu membuat anak sulit dalam mencapai hubungan sosial yang baik. Sulit untuk berteman, atau mungkin justru akan saling sikut dengan temannya sendiri.
- Gagal menemukan sumber masalah. Hadiah akan mengalihkan fokus anak. Ketika anak terlalu fokus pada hadiah, ia cenderung tidak memedulikan proses. Tidak belajar menyelesaikan permasalahannya karena fokus ke hadiah (bisa jadi anak akan mencari cara-cara instan agar ia bisa tetap mendapatkan hadiah yang diinginkannya).
- Hilang motivasi intrinsik jangka panjang. Ketika kita terbiasa memberi hadiah, maka anak pun akan terbiasa melakukan sesuatu “demi sesuatu yang lain”. Sehingga, bila suatu saat anak harus berbuat namun tak ada “hadiah” yang bisa didapatkan, ia akan cenderung pasif. Enggan melakukan sesuatu.
Hadiah tak melulu harus berupa benda. Pujian dan stiker bintang pun bisa termasuk ke dalam hadiah. Jika memang hadiah masih terasa sulit untuk dihilangkan dalam mendisiplinkan anak, mari sama-sama berusaha menggantinya dengan memberi apresiasi yang masih terasa wajar/tidak berlebihan. Pastikan ketika kita memberi apresiasi, anak memahami makna dari apresiasi yang ia dapatkan sehingga motivasi internalnya tetap terjaga.
Hal yang lebih baik yang bisa kita coba lakukan dalam mendisiplinkan anak tanpa hadiah adalah dengan teladan. Berikan contoh atas perilaku yang kita inginkan muncul di dalam diri anak-anak kita. Ajak anak berdiskusi terkait dengan perilaku-perlakunya. Sampaikan contoh-contoh konkret terkait nilai-nilai kebajikan dalam setiap perbuatan. Yakinkan murid paham dengan tanggung jawabnya.
Dari tulisan ini, saya mengajak Anda untuk kembali merenungkan dampak dari pemberian hadiah. Dalam jangka pendek, hadiah bisa jadi mendisiplinkan orang lain. Namun, dalam jangka panjang … bisakah kita menjamin anak-anak yang kita beri hadiah itu tak pernah mengharapkan imbalan lagi ketika melakukan sesuatu? Wallahu a’lam.
Sebuah refleksi belajar dari PGP dan PMM.
Semoga bermanfaat, salam pendidikan.