Surat Buat Bapak Tukimin, Kejutan Valentine 2014

BUKU, KMAB, YPTD106 Dilihat

Yth. Bapak Tukimin

 

Bapak Tukimin, S.Sos, KTU (Kepala Tata Usaha) di Puskesmas Puncu, sebuah Puskesmas di kaki Gunung Kelud, tempat dinas saya yang baru sejak Januari 2014. Pada bulan April 2015 yang lalu, Pak Min, demikian sapaan akrab Bapak Tukimin, merayakan setengah abad usianya. Saat itu, sang anak yang kebetulan juga sedang magang sebagai bidan di Puskesmas, memberikan kejutan pagi hari berupa kue ulang tahun black forest berlapis putih dengan tulisan “Selamat Ulang Tahun” dan lilin ber-angka 50 (lima puluh) di atasnya. Sambil menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun, saya sudah mengincar coklat putih yang melapisi kue tersebut. Hahaha, sungguh tidak sopannya saya ini … !!!

Setelah selesai prosesi tiup lilin, cipika cipiki (cium pipi kanan, cium pipi kiri) dihadiahkan sang anak pada ayahanda tercinta. Saya sempat menitikkan air mata, teringat pada almarhum Papa yang kini sudah bahagia di surga. Hiks… hiks… hiks…

Dan acara potong kue pun dimulai. Potongan pertama kue tentu diberikan Pak Min kepada sang anak tercinta. Kemudian potongan selanjutnya sudah dipurak dimakan beramai-ramai oleh teman-teman se-Puskesmas. Kehebohan pagi hari yang dipandang dengan terbengong-bengong oleh beberapa pasien yang terabaikan sesaat.

Pak Min adalah suami dari seorang istri dan ayah dari 3 (tiga) orang anak. Salah satu anaknya, yang memberikan kejutan ulang tahun di hari istimewa itu menyampaikan best wishes-nya untuk sang ayah, “Aku berdoa, agar Bapak selalu tersenyum bahagia saat ini dan sepanjang hidup Bapak.” Hmm, meleleh deh hati ini.

Saya bersyukur bisa bertemu dengan Pak Min. seseorang yang sederhana, humoris, family man, sayang pada keluarganya dan terutama sayang pada istrinya. Sang istri yang mengidap Diabetes Mellitus tingkat lanjut, hingga mengganggu indera penglihatannya, harus mendapatkan suntikan insulin setiap hari dan beberapa tahun terakhir itu tidak bisa beraktifitas sendiri.

Saat saya menyempatkan diri sekedar dolan (bermain) ke rumah Pak Min, sang istri hanya duduk di kursi. Tak bergeming sama sekali. Yang repot dengan suguh, gupuh dan lungguh, justru Pak Min sendiri. Dan demikianlah, sepanjang percakapan kami di sana, hingga saya berpamitan, istri Pak Min tetap duduk di posisi awalnya.

“Nanti kalau sudah capek duduk, biasanya ibuk’e ya langsung tiduran saja di kursi itu, baru berpindah kamar kalau saya atau anak-anak yang menuntun.” Pak Min menjelaskan.

Ahhh… saya tidak bisa membayangkan hidup dalam dunia yang gelap seperti itu. Sedangkan bila malam hari tiba dan ada oglangan (pemadaman listrik), aduh… rasanya sudah setengah mati setengah hidup. Sama sekali tidak nyaman. Sungguh bersyukur, Tuhan mengaruniakan mata minus ini kepada saya. Dengan mata ini, saya masih bisa melihat keindahan alam ciptaan Tuhan, melihat kelucuan 2 (dua) malaikat kecil saya dan segala nikmat berkat karunia Tuhan yang boleh saya rasakan sampai saat ini.

Berbicara tentang keindahan alam ciptaan Tuhan, Kelud adalah salah satu dari seabreg (banyaknya) karya tanganNya yang luar biasa. Dan di sanalah Tuhan perkenankan saya ngangsu kawruh (belajar) tentang menghargai hidup dan menerima tantangan untuk belajar bertahan. Ketika batin saya masih menangis mempertanyakan rencana Tuhan atas hidup saya, ketika saya masih beradaptasi dengan lingkungan baru, tepat di hari ke-23 (dua puluh tiga) semenjak mutase yang bikin Gegana : Gelisah, Galau dan Merana… demikianlah Kelud unjuk gigi menunjukkan keeksisannya di jajaran sabuk gunung berapi yang masih aktif. Meskipun secara fisik gak mbejaji (tidak pantas/tidak patut), cilik ning mekithik (kecil tapi bandel), seantero Nusantara mendapatkan gaung letusannya. Unforgotable Valentine Surprise at 2014.

            “Byuh… byuh… benar-benar malam yang tak terlupakan seumur hidup saya, Bu,” cerita awal Pak Min kepada saya. Lanjutnya lagi, “Malam itu saya baru pulang dari Dinas Kesehatan, lembur mengerjakan RKA BPJS (Rencana Kerja Anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Saat naruh ambulance di Puskesmas, suasananya mencekam. Listrik padam. Jalan gelap sekali. Kilat dimana-mana. Gludug’e nyamber-nyamber (suara guntur menyambar-nyambar). Ngeri sekali, Bu. Orang-orang juga sudah ada yang berkumpul di Balai Desa dan Pendopo Kecamatan.”

“O iya, saat Kelud meletus itu, pemandangan langitnya bagus sekali, Bu. Seperti pesta kembang api di malam tahun baru. Kembang api yang super keren banget. Saya sama pak Dokter aja sampai terkagum-kagum melihatnya. Baru terasa paniknya pas arah angin berhembus ke utara sini… Wuiiiii… langsung turun hujan batu, Bu. Klothak-klothak di genting, ada yang batunya sampai tembus jatuh ke dalam Pendopo Kecamatan tempat saya ngiyup (berteduh) dengan Pak Dokter.” sambung Pak Min.

Saya hanya mendengarkan dengan takjub sambil menjawab, “Waaahhh…” atau “Biyuuuhhh…” atau “Beeehhh…”. Lidah terasa kelu untuk mengungkapkan perasaan saya, perasaan kaget dan tak percaya bahwa kejadian ini benar-benar nyata, bukan dongeng apalagi mimpi.

Masih teringat jelas pagi itu, 14 Februari 2014, seluruh staf Puskesmas diinstruksikan berkumpul jam 6 (enam) pagi di Pustu (Puskesmas Pembantu) Gadungan, yang menjadi posko utama dadakan di luar skenario rencana awal kami. Di sepanjang perjalanan dari rumah saya ke Pustu Gadungan, yang sampai sehari sebelumnya masih merupakan jalan utama beraspal, tiba-tiba telah berubah menjadi lautan pasir yang cukup tebal. Ditambah dengan debu abu yang menggelayut di udara, lengkaplah sudah menambah keengganan saya untuk berkendara sepagi itu.

Setiba di Posko, beberapa teman telah berkumpul dalam keadaan sehat raga namun tergoncang mengalami peristiwa semalam sebelumnya. Pembagian tim telah di-fix-kan untuk mengatur jadwal pelayanan kesehatan yang diperlukan. Namun demikian, pembagian tim tadi juga tidak sakleg, bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan urgensinya. Itulah mengapa saya tak kuasa menolak ajakan Bapak Kepala Puskesmas untuk langsung terjun ke Puskesmas induk di Desa Puncu.

“Ayo, Bu Dewi, ikut saya naik ke Puskesmas. Kita mengambil perbekalan masker. Teman lain masih shock melihat keadaan di atas. Sampean (kamu) ‘kan belum liat sendiri TKP di atas, tho ?!?”

Dan demikianlah, kami bertiga duduk berjajar mengendarai ambulance di bangku depan. Pak Min yang duduk di belakang kemudi, kemudian saya dan Pak Dokter di samping kirinya. Berkendara sejauh 13 km dari Posko di Pustu Gadungan menuju Puskesmas Induk di Puncu, saya menyesuaikan diri dengan kostum yang dipakai Pak Min dan Pak Dokter. Berjaket, memakai masker hidung plus memakai helm teropong.

Bayangkan, berhelm di dalam mobil !!! Terasa sekali pengapnya udara di luar yang ber-abu, sedangkan di dalam mobil, hembusan nafas kami beradu saat bertemu dengan kaca helm. “Kita harus tetap waspada, Bu Dewi. Jangan sampai kepala kena reruntuhan batu nyasar”. Saya hanya menjawab nasihat Pak Dokter dengan anggukan kepala.

Dan itu adalah pertama kalinya saya melihat kesunyian di sepanjang perjalanan arah naik menuju Desa Puncu. Desa yang sebelumnya adem ayem (sejuk dan tenang tenteram) dan nggak ada matinya, selalu riuh dengan suara bocah-bocah yang ceria di sekolah, lalu lalang kendaraan yang melintas, kerumunan para ibu di bakul etek (penjual sayur keliling) langganannya, jajaran bapak ibu tani yang duduk di pematang sawah, yang dengan mesranya menyantap bekal sarapan dari rumah atau seorang nenek sepuh (tua) yang biasanya berpapasan dengan saya setiap berangkat kerja, berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tongkat di tangannya menyeberang jalan di pertigaan itu.

Pada hari itu telah berganti suasana menjadi panas, pengap dan sunyi. Tak seorangpun kelihatan. Hanya atap-atap rumah yang hancur, teras yang ambleg (runtuh), dedaunan yang kering seperti bekas terbakar, tertutup oleh lapisan putih abu yang turun merata, memupuskan harapan para petani yang menunggu tibanya masa panen cabe, padi, tebu, papaya, dan lain-lain. Jalanan tertutup lautan kerikil dan batu, sehingga menyulitkan laju kendaraan yang melintas.

Saya mencoba mengorek-ngorek lapisan kerikil dan bebatuan di Puskesmas dengan kaki. Dan menemukan kedalaman sekitar 30 cm atau bahkan bisa lebih di daerah atas sana.

Astaga… saya tak bisa membayangkan kengerian peristiwa malam itu. Segera saya kemasi semua stok masker hidung yang ada di Puskesmas, baik di ruangan Poli Umum, Poli Gigi, Poli KIA (Kesehatan Ibu Dan Anak), Apotik, bahkan di Gudang Obat. Semuanya masuk ke bagian belakang ambulance yang kondisi body-nya sudah tidak karu-karuan terkena hantaman hujan batu semalam. Kengerian yang sama saat melihat keadaan Puskesmas saat itu, beberapa plafon jebol, genting dan asbes hancur, kayu penyangga di atas plafon juga ada yang patah.

Berkemas sendirian di tengah suasana sunyi mencekam seperti itu benar-benar menimbulkan “sesuatu”. Pak Dokter tadi berpamitan melihat-lihat keadaan di Kecamatan, sedangkan Pak Min juga minta ijin pulang menengok keadaan rumahnya. Tinggallah saya sendirian, tolah-toleh kaya wong ilang (menoleh ke kanan dan kiri seperti orang hilang).

Akhirnya langkah kaki saya menuju Kecamatan yang cukup dekat dengan Puskesmas. Tapi sepanjang edaran pandangan, tak terlihat sosok Pak Dokter di sana. Gawai yang saya bawa juga low bat, benar-benar tidak berkompromi di saat tak tepat seperti ini.

Sementara itu sebuah mobil pick up bak terbuka bersiap diberangkatkan. Ada seorang kakek yang tetap bersikeras tidak mau mengungsi.

“Ayo Mbah, cepetan naik mobil sini. Kita turun ke bawah mengungsi dulu. Nanti kalau sudah aman baru kembali ke rumah lagi,” ajak salah seorang anggota tentara.

Wis, (sudah), aku disini saja. Ajak mbah putri turun. Aku masih punya tanggungan wedhus (kambing). Nanti nggak ada yang ngopeni (merawat).” jawab Kakek tadi.

“Lha Mbah Putri sakit, siapa yang merawat nanti ?” bujuk sang anggota tentara lagi.

“Ada Nduk’e (anak perempuan) yang ngrawat Mbah Putri,” jawab sang Kakek lagi.

“Mbah, Gunung Kelud ini masih bisa meletus lagi lho. Belum lagi kalau ada wedhus gembelnya, bahaya Mbah kalau di sini terus,” kembali sang anggota tentara merayu sang Kakek.

“Aku ora wedi ! (aku tidak takut),” singkat jawaban sang Kakek.

Dan begitulah, seribu jurus rayuan maut tak mempan menggoyahkan niat Sang Kakek untuk tetap berada di situ. Demi melihat kondisi Sang Nenek yang sesak nafas dan perlu dirujuk ke RS segera, maka meluncurlah truk pick up itu ke bawah. Sementara itu sang Kakek segera beranjak dari tempat itu, setengah berlari menuju rumahnya.

“Lho Bu, panjenengan tidak ikut turun tho ?” sapa seorang anggota tentara yang masih berjaga di Kantor Koramil.

“Iya. Saya masih menunggu Pak Dokter dan Pak Min,” jawab saya.

“O begitu. Pak Dokter tadi sepertinya sudah turun dengan Pak Camat. Ya panjenengan secepatnya saja turun, ada berita suhu Kelud meningkat drastis…” info sang anggota tentara lagi.

“O nggih (oh iya). Terima kasih informasinya.” jawab saya akhirnya lalu bersegera kembali ke Puskesmas.

Di Puskesmas masih belum ada tanda-tanda Pak Min. Saat itu, saya sendiri pun juga belum tahu, di mana rumah Pak Min. HP juga sudah benar-benar tidak berfungsi lagi. Dengan gelisah saya berdiri bersandar pada ambulance, memandang langit ke arah selatan. Nampak gumpalan asap keluar dari puncak gunung. Tapi menurut saya sih tidak tampak seperti wedhus gembel. Sedikit tenang batin ini melihatnya, karena sebelumnya saya membayangkan Mbah Marijan yang duduk tersungkur menepati janjinya menunggui Merapi hingga akhir hayatnya. Nggak lucu lah kalau saya memplagiat cerita akhir hidup Mbah Marijan. Beliau ‘kan penjaga Merapi, sedangkan saya bagaikan tamu di kaki Kelud ini.

Mungkin sekitar setengah jam saya menunggu kedatangan Pak Min dengan H2C (Harap-Harap Cemas). Dan percayalah, itu terasa seperti setengah abad lamanya. Dalam hati, saya berkata, “Besok-besok kalau diajak naik lagi ke Puskesmas induk dan saya tidak melakukan tugas apapun, akan saya buntuti Pak Dokter dari belakang.” Gila aja nih, suasana mencekam seperti kota mati begini, saya ditinggal sendiri… !!!

Untunglah Pak Min akhirnya kembali ke Puskesmas.

“Bagaimana Pak Min, keadaan rumahnya ? Keluarga panjenengan juga bagaimana ?” tanya saya.

“Alhamdulilah. Ibuk’e dan anak-anak sudah mengungsi ke rumah saudara. Kalau keadaan rumah, banyak genteng yang hancur dan plafon yang ambleg.Seisi rumah isinya pasir dan bocor. Semoga tidak hujan dulu. Saya masih mau cari terpal dulu ini.” cerita Pak Min.

“Cari terpal di mana Pak Min ? Kita turun saja ya. Tadi kata Pak Tentara, suhu Kelud naik lagi,” jawab saya.

“Lha Pak Dokter sudah kembali belum ?” tanya Pak Min.

“Pak Dokter kok sepertinya sudah turun dengan Pak Camat. Saya tadi nyari ke Kecamatan nggak ada. Lha coba tho, Pak Dokter njenengan telpon,” pinta saya.

“HP saya mati, Bu. Belum sempat nge-charge sejak kemarin,” jawab Pak Min.

“Owalah… idem, Pak. HP saya low bat dan mati juga. Nggak bisa nelpon panjenengan. Nggak bisa nelpon Pak Dokter. Nggak bisa hubungi siapa-siapa,” lapor saya, hampir saja air mata menetes.

“Yo’ooo… mesakne Rek (kasihan sekali) ! Nggak nangis tho, Bu ?” canda Pak Min.

“Hahaha… Kalau panjenengan nggak segera datang, saya sudah nangis gulung koming (jungkir balik) di sini !” jawab saya.

Dan akhirnya kami berdua pun turun dari Puskesmas saat jarum jam menunjukkan pukul 13.15 WIB. Saat HP saya charge dan kembali menyala, barulah muncul pesan dari Pak Dokter yang terkirim di jam 12.08 WIB : “Mohon segera turun. Suhu meningkat drastis”.

 

Oh my God ! Sungguh kejutan Valentine tak terlupakan, ya Pak Min. Bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa, kita masih diberikan kesehatan sampai hari ini. Tetap sehat selalu nggih, Pak Min. Jangan lupa selalu tersenyum dan bahagia. Yeayyy… !!!

 

 

Salam hormat,

Bu Dewi

Tinggalkan Balasan