Kebakaran hutan dan lahan ( karhutla) terjadi lagi dan lagi!. Ya, karhutla seolah terus berulang dan hingga kini belum menemui solusi tuntas. Saat ini, wilayah Samosir sedang membara. Kebakaran ini melanda area empat desa seluas 49 hektare. Hingga 8 Agustus kemarin, petugas dari Korps Manggala Agni masih berjibaku memadamkan api yang terus melahap ekosistem hutan di wilayah Sumatra Utara itu.
Sejak awal tahun 2022, seluruh wilayah di Indonesia memang sudah bersiap menghadapi bencana kebakaran hutan dan lahan. Bahkan, lima provinsi di Indonesia, yakni Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat, sudah menetapkan status siaga darurat karhutla.
Sesuai prediksi, kebakaran di kawasan hutan luaspun tak terhindar. Sejak Januari hingga saat ini telah terjadi ratusan kasus karhutla. Pada periode Januari—Juni 2022, luas karhutla di tingkat nasional mencapai 59.130 hektare. Padahal, pada periode yang sama tahun 2021, karhutla “hanya” mencapai 52.578 hektare. (Kompas, 28/07/2022).
Kapitalisasi Pengelolaan SDA
Karhutla memang masih jadi masalah besar bagi Indonesia. Dari tahun ke tahun, luas kawasan yang membara terus meningkat. Penyebabnya beragam, namun yang paling dominan adalah faktor manusia, utamanya terkait pembakaran yang disengaja. Pembakaran lahan dan hutan ini dilakukan oleh korporasi untuk tujuan pembukaan lahan.
Pada masa lalu, Indonesia dengan wilayah yang hutan tropisnya terluas kedua di dunia, setelah Brazilia.
Kini hutan Indonesia terus menyempit. Pada 2015, statistik Kementerian LHK mencatat 63% wilayah Indonesia merupakan kawasan hutan dengan luar sekitar 120.773.440 ha. Sayangnya, pengelolaan hutan dengan paradigma kapitalistik, kini sebagian hutan menjadi sumber bencana besar. Dengan dalih mendongkrak pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan, dan penciptaan lapangan kerja, pengelolaan mayoritas hutla telah diserahkan pada korporasi.
Sejak pemerintahan orde baru, pemerintah Indonesia telah mengakomodasi segala usaha pengolahan hasil hutan dengan berbagai pemberian konsesi pada korporasi. Misalnya, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan hingga konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).
Tercatat, sejak tahun 1986 hingga sebelum industri hutan limbung di tahun1998, telah terdapalat 600 perusahaan yang diberi hak mengelola hutla. Mereka diberi hak mengelola hutla dengan luas lebih dari 64 juta hektare. Sementara saat ini, tersisa 201 perusahaan yang mengelola konsesi seluas 19 juta hektare.
Diberikanya hak pengelolaan ini telah menyebabkan puluhan juta hektare hutla berubah menjadi objek eksploitasi dan kapitalisasi. Korporasi-korporasi itu bergerak di berbagai bidang industri, mulai dari kayu, sawit, food estate, termasuk pertambangan, dan lain-lain. Bahkan, terkait proyek Ibu Kota Negara (IKN), banyak perusahaan yang menerima hak membuka hutan untuk kawasan bisnis dan perumahan.
Jamak diketahui bahwa kaum kapitalis pemilik korporasi cenderung tidak mau rugi. Tak sedikit pihak industri yang terlibat dalam perusakan lingkungan demi keuntungan dengan menekan biaya produksi. Akibatnya, selain menimbulkan bencana yang merugikan secara ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Proyek ini telah menyebabkan konversi dan deforestasi yang tanpa terkendali. Jika data statistik KLHK 2015 mencatat luas hutan Indonesia sebanyak 120 juta ha, pada 2021 telah menciut hingga hanya tinggal 95,6 juta ha.
Dampak lanjutan dari deforestasi bukanlah hal sepele. Keseimbangan ekosistem menjadi menjadi taruhannya. Bencana longsor, puting beliung, dan banjir pun kerap terjadi layaknya langganan. Bahkan, konversi dan deforestasi melalui karhutla telah berpengaruh besar pada perubahan iklim dunia. Sumber ketersediaan air bersih menyusut di mana-mana.
Ironis dan Dilematis
Ironis! Mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas perusakan ekosistem hutan acapkali tak tersentuh hukum. Kalaupun ada yang dikenai hukum, hanya administratif semata, seperti pencabutan izin atau denda. Itu pun tidak mampu membuat kasus-kasus pelanggaran hukum berkurang. Bahkan kadang kasusnya menguap.
Tidak sedikit kasus yang sudah sampai ke pengadilan, berujung pada ketidakjelasan. Simbiosis mutualisme
alias kongkalikong antara pengusaha dan penguasa acapkali terjadi dalam negara korporatokrasi. Bahkan, tidak sedikit penguasa yang terjun jadi pengusaha, atau sebaliknya.
Memang ada perusahaan yang tidak lolos hukum, misalnya kasus PT Putra Lirik Domas di Kalimantan Barat. MA telah memutuskan bagi perusahaan
ini untuk membayar kerugian materiel lingkungan hidup sebesar hampir Rp200 miliar karena terbukti terlibat dalam karhutla. Prihatinnya, untuk memutus satu perkara ini saja membutuhkan waktu lebih dari lima tahun. Di sisi lain, banyak kasus yang menguap tak jelas jluntrungannya.
Mirisnya lagi, pada saat hukum negara mandul menyolusi kasus di dalam negeri, negara pun tidak bisa menghindar dari tekanan internasional. Di bawah isu perubahan iklim dan pemanasan global, Indonesia juga terkena berbagai kewajiban.
Untuk mengatasi karhutla dan dampaknya setidaknya, negara harus menganggarkan triliunan rupiah bila dengan target zero burning. Namun, pada praktiknya, target ini sulit diwujudkan karena berbenturan dengan peraturan yang ada. Misalnya, aturan yang masih memberi celah pembukaan lahan hutan di bawah dua hektare dengan cara dibakar. Aturan ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai dalih untuk menghindari jerat hukum ketika pembakaran itu dilakukan.
Negara seolah ada pada posisi dilema. Di satu sisi tidak berdaya tekan kepada pihak korporasi pengguna lahan hutan. Di sisi lain, negara harus menanggung beban tekanan internasional terkait penjagaan iklim. Negara harus bertanggung jawab secara moral, politi serta finansial.
Perlu Paradigma Baru
Dilema di seputar karhutla tak akan terurai bila negara dan dunia internasional masih didominasi paradigma berpikir sekuler kapitalistik neoliberal. Paradigma yang memunculkan sifat rakus dan tak peduli pada lingkungan yang dampak ekonomi dan sosialnya terbukti sangat besar, serta berjangka panjang.
Terkait hal ini Allah Taala telah mengingatkan,
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ، أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ}
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqarah: 11—12)
Oleh karenanya, menyetop kebakaran hutan dan segala jenis problem lingkungan harus dimulai dari perubahan paradigma, yakni dengan mencampakkan paradigma sekuler kapitalistik neoliberal dan menggantinya dengan paradigma Islam.
Manusia diciptakan sebagai hamba sekaligus khalifah pengurus alam. Untuk itu, Allah Swt. menurunkan risalah Islam sebagai tuntunan hidup agar tujuan tersebut dapat diwujudkan hungga islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Salah satunya, Islam mengatur soal kepemilikan harta kekayaan berikut mekanisme pengelolaannya. Twk terkecuali yang berkait, penngaturan kepemilikan dan pengelolaan lahan dan hutan.
Menurut Islam, hutan dan lahan termasuk harta milik umum, bukan milik individu atau milik negara. Rasulullah saw. bersabda,
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ»
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang gembala, dan api. Harganya (menjualbelikannya) adalah haram.” (HR Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Oleh karenanya, haram bagi siapa pun, termasuk negara, untuk mengkapitalisasi hutla dengan menyerahkan kepemilikannya kepada individu atau korporasi dengan alasan apa pun. Negara diwajibkan untuk mengelolanya dengan baik agar fungsi dasar dari SDA tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal bagi kemaslahatan umat.
Kewajiban negara ini tak sebatas berdimensi duniawi, namun juga ukhrawi. Untuk itu, negara akan serius dalam melakukan berbagai langkah, membuat sistem manajemen, dan mengeluarkan kebijakan tertentu, termasuk menegakkan sistem hukum yang dipandang baik untuk menjaga dan memanfaatkan hutla demi maslahat rakyat.