Jadikan NIK Sebagai NPWP, Strategi Sapu Bersih Pajak

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan meresmikan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tujuannya, untuk mempermudah wajib pajak dalam melakukan transaksi pelayanan pajak
Liputan6.com, 19/7/2022.

Sah!, jeritan kesedihan rakyat karena tekanan pajak pun membahana di Nusantara hingga muncul seruan #StopBayarPajak. Tagar ini viral di medsos beberapa waktu lalu.

Bergantung pada Pajak

Viralnya seruan untuk berhenti membayar pajak adalah cermin kondisi masyarakat yang terbebani dengan pungutan ini. Kondisi ekonomi masyarakat sudah berat akibat pandem belum juga pulih, kini harga bahan pokok melejit, beratnya beban membuat rakyat kian menjerit.
Ditambah lagi, pada April lalu, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 10% menjadi 11%. Meski tidak berlaku untuk semua komoditas, nyatanya kenaikan PPN cukup ubyuk mengerek naik harga berbagai barang.  Dengan kondisi demikian, wajar jika seruan untuk berhenti membayar pajak bergaung di dunia maya. Ditambah banyak kasus korupsi yang terjadi sehingga membuat rakyat makin skeptis terhadap penggunaan dana pajak.
Sayangnya, gaung seruan #StopBayarPajak tidak berlangsung lama. Suaranya kini tidak lagi terdengar sebab pemerintah telah menegaskan bahwa pajak wajib dibayar rakyat. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, “Mereka yang menyampaikan hashtag enggak bayar pajak, ya berarti Anda tidak ingin tinggal di Indonesia atau tidak ingin lihat Indonesia bagus, itu saja.” (Kontan, 19/07/2022).

Demikianlah kekuatan sistem. Ketika sistem sudah mewajibkan sesuatu, rakyat terpaksa taat. Begitu juga ketika sistem mewajibkan pajak, rakyat pun tidak bisa menolak. Meski berat dan mencekik, rakyat terpaksa bayar juga. Jika mangkir, sanksi siap menanti.

Kini, pemerintah getol menggenjot pemasukan dari  sektor pajak. Salah satu strateginya adalah memperluas basis pajak. Pemerintah telah meresmikan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kebijakan ini berlaku mulai 14/07/2022 dan berlaku penuh pada 01/01/2024.

Memang, pemerintah  telah menyatakan bahwa tidak semua orang yang memiliki NIK otomatis menjadi wajib pajak, melainkan hanya yang memiliki penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Namun, dengan kebijakan ini, tampak jelas bahwa strategi sapu bersih tengah dilakukan. Hal itu karena akan terkoneksi data wajib pajak dengan  NIK.

Inilah yang terjadi ketika negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, dimana pajak menjadi sumber pendapatan utama negara. Karena hakekat pajak adalah pengambilan harta rakyat oleh negara,  maka upaya menjadikan NIK sebagai NPWP merupakan upaya   perluasan sasaran penarikan pajak. Ironisnya, kekayaan alam yang Allah Swt. berikan secara gratis untuk dinikmati rakyat, justru pengelolaannya diserahkan kepada piklhak asing dengan nilai yang sangat murah.

Memang, cara paling mudah untuk mendapatkan pemasukan negara adalah dengan pajak. Tingga pungut dari rakyat. Pun rakyat pun tidak bisa menghindar karena aturan mengikat secara ketat. Jika menolak, tinggal kenakan sanksi.

Sistem Dolim

Hilangnya hak atas manfaat dari harta milik publik  tergantikan dengan keharusan untuk membayar upeti alias pajak kepada negara, itulah  yang terjadi. Sampai kapan rakyat menerima ketidakadilan  seperti ini? Jawabnya adalah selamanya. Selamanya rakyat akan terus dikejar pajak, karena pajak  menjadi sumber penerimaan andalan bagi negara dan akan terus menjadi andalan. Kalau bisa tiap tahun targetnya terus ditingkatkan.

Dalam kapitalisme, pajak berlaku permanen. Selamanya rakyat akan dipajaki, bahkan subjek dan objek pajak akan terus diperluas hingga tidak ada satu celah pun yang lolos dari pajak.

Meski seseorang sedang tertimpa musibah, sedang bangkrut, ia dan keluarganya sedang sakit, maupun beraneka kondisi lainnya, tidak ada jalan lain, pajak tetap harus dibayar. Benar-benar zalim! Ironisnya, begitulah konsep pajak dalam kapitalisme yang jelas berbeda secara tegas dengan konsep Islam.

Sistem Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam tidak mengenal konsep pajak sebagaimana kapitalisme. Memang ada istilah “dharibah” dalam Islam yang sering diartikan ‘pajak’. Akan tetapi, konsepnya sangat berbeda dengan pajak dalam kapitalisme sehingga tidak bisa menyamakannya.
Dharibah tidak diberlakukan secara permanen, melainkan temporal. Saat kas negara Khilafah sedang kosong, sedangkan ada kebutuhan darurat dan wajib ditunaikan, barulah dharibah dipungut. Ketika kas negara tidak kosong, tidak ada pungutan dharibah.
Kapitalisme menjadikan semua warga negara pemilik NIK menjadi wajib pajak dan calon wajib pajak. Sementara itu, Islam menetapkan dharibah hanya dipungut dari warga negara muslim yang kaya saja. Standar “kaya” dalam Islam sendiri sangat tinggi, yakni telah terpenuhinya seluruh kebutuhan dasarnya berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan, juga masih memiliki harta simpanan dalam jumlah yang mencukupi.

Ini tentu berbeda dengan standar wajib pajak orang pribadi dalam kapitalisme yang menetapkan PTKP adalah sebesar Rp54 juta per tahun atau Rp4.500.000 per bulan.
Artinya, dalam Islam, pungutan dharibah terjadi secara adil karena hanya pada orang kaya. Orang miskin tidak dipungut, bahkan justru mendapatkan santunan dari negara.

Tatkala kas negara sudah terisi dan kebutuhan yang darurat dan wajib sudah terpenuhi, pemungutan dharibah akan dihentikan. Jadi, dharibah tidak dipungut terus-terusan seperti di sistem sekarang.
Lebih dari itu semua, sistem ekonomi islam tidak mengandalkan penerimaan negara dari dharibah. Negara akan bekerja keras mengelola SDA dengan kekuatan sendiri, tidak menyerahkan pada swasta. Dengan demikian, hasilnya cukup untuk memakmurkan seluruh rakyat.

Inilah bedanya sistem islam dengan kapitalisme. Islam menyejahterakan, sedangkan kapitalisme justru mencekik rakyat dengan pajak. Semestinya ini menjadi penguat kita untuk memenuhi seruan agar hidup dengan aturan-Nya.
Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Anfal: 24,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَجِيْبُوْا لِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ اِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْۚ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ يَحُوْلُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهٖ وَاَنَّهٗٓ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْن
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila ia menyerumu kepada sesuatu yang mpemberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” Wallahualam.

Tinggalkan Balasan