“Jangan salah, Bung Karno itu dulu pernah jadi santrinya HOS Cokroaminoto yang menjadi pendiri dari Syarikat Islam. Bung Hatta juga anak dari seorang mursyid tarekat Naqsyabandiyah. Sehingga keduanya yang merupakan proklamator bangsa ini, pernah merasakan didikan islami. Islam dan bangsa tidak bisa dibenturkan”, ini adalah pesan yang saya tangkap dari pembicara kedua pada hari ketiga, hari rabu pada saat Persiapan Keberangkatan di Hotel Accacia, Jakarta Pusat bersama 114 santri dari seluruh Indonesia oleh LPDP dan disampaikan oleh Bapak Yudi Latif, MA., P.Hd. yang pernah menjadi ketua BPIP.
Tadi, setelah mendengarkan Ibu Amany Lubis yang menjadi rector Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta hingga waktu dhuhur, kami beristirahat. Menunaikan shalat dhuhur dan makan siang di restoran hotel. Saya shalat dhuhur sekalian dijamak dan diqoshor, dikumpulkan dan diringkas menjadi masing-masing dua rakaat untuk shalat dhuhur dan ashar. Banyak juga teman-teman yang mengikuti jejak saya, namun banyak juga yang tetap ingin sempurna dengan melaksanakan shalat duhur empat rakaat dan nanti sore shalat ashar empat rakaat ketika sudah datang waktunya.
Waktu benar-benar kami gunakan sebaik-baiknya, berjalan sangat cepat. Usai makan dan ngopi untuk stamina hingga malam hari nanti. Jam 13.00 tepat, music di aula hotel tempat acara PK, sudah diperdengarkan. Lagu arab dengan nada music yang asyik. Kami semua memasuki ruangan besar dan luas, yang memiliki dua pintu masuk. Rupanya, tim Mas Gilang sudah diberikan waktu oleh Pak Rafi untuk acara Ice Breaking, untuk mendinginkan dan merefresh suasana dan otak yang sudah mendengarkan materi sejak pagi tadi.
Pertama kali yang dilakukan oleh Mas Gilang adalah mengajak kami berdiri, berbaris, lalu lagu diangkatan diputarkan. Ada beberapa teman yang ditunjuk untuk maju memimpin gerakan kereografinya. Cantrikabinaya Nagarajaya menghentakkan kami untuk menyanyikan dan menghayati makna kata-kata yang ada di dalam lagunya. “Berfikir semesta, berkhidmah sesama, berjiwa Nusantara”, inilah jawaban serentak ketika setelah bernyanyi, Mas Gilang menyebutkan kata Cantrikabinaya Nagarajaya.
Acara masih berlanjut, sambil menunggu pembicara yang belum hadir. Mas Mukhlis dan Mas Jufri meminta kami, masing-masing kelompok untuk maju ke atas panggung, bukan untuk menampilkan aksi dari kelompoknya, namun akan diminta untuk foto bersama Pak Rafi. Dalam PK kali ini, Pak Rafi merupakan making maker. Bahkan, cerita dari teman-teman, Pak Rafi juga yang menjadi PIC dari semua PK, penanggung jawabnya. Sehingga dari jajaran kepengurusan di LPDP, Pak Rafi lah yang paling akrab dengan kami, kami bersinggungan langsung, mulai dari acara pra PK, PK, hingga pasca PK.
Yang ditunggu tiba, Bapak Yudi Latif. Secara pribadi, saya mengetahui nama beliau sejak kuliyah S1 dulu di IAIDA (Institut Agama Islam Darussaalam) Blokagung, Banyuwangi, sebelum saya melanjutkan S1 di Universitas Al-Azhar Mesir. Setiap mata kuliyah Pancasila dan diminta untuk membuat makalah oleh dosen, rujukan yang berkaitan dengan Pancasila, yang saya dapatkan, pasti ada buku-buku yang ditulis oleh Bapak Yudi Latif.
Setelah puluhan tahun lamanya, akhirnya tahun ini saya bisa bertemu secara langsung dengan tokoh nasional ini. Layaknya santri, kami semua berdiri untuk menyambut. Teman-teman yang berada di jalur depan lewatnya Pak Yudi Latif, disamping berdiri, juga satu persatu menyalami beliau sebagai bentuk rasa hormat.
Pak Yudi Latif merupakan alumni Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo. Satu angkatan saya di PK Santri ini juga banyak sekali yang alumni Gontor. Beliau mendapatkan beasiswa di sekolah, bahkan sejak SMA, yang di Gontor disebut dengan Mu’allimin dan nama Mu’allimat untuk santri putri. Lalu beliau melanjutkan jenjang pendidikannya di Australia hingga selesai Doktoral. Karir beliau memperlihatkan kecemerlangannya saat berkiprah di LIPI. Hingga pernah diberikan amanat untuk menjadi ketua BPIP yang menjadi singkatan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
“Janganlah beragama seperti gincu”, beliau berpesan satu hal ini. Perkataan ini pernah diucapkan oleh Bung Hatta sebagai bapak proklamator Indonesia bersama Bung Karno. Kata itu memiliki arti bahwa, orang bisa melihat merahnya, tapi tidak bisa merasakan gincunya. Beragama hanya untuk pamer saja. Beragama itu seperti garam di lautan, tidak terlihat garamnya, tapi bisa dirasakan asinnya. Ini adalah kata saripati dari ucapan Rosulullah Khoirunnas ‘Anfauhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberikan manfaat kepada manusia yang lain.
Dengan basic pesantren yang beliau miliki, Bapak Yudi Latif menghubungkan antara peran seorang santri, agama Islam dengan bangsa Indonesia ini. Beliau bercerita bahwa Bung Karno bisa dibilang merupakan seorang santri. Walaupun tidak mondok layaknya santri seperti kami, Bung Karno pernah belajar ngaji kepada pendiri Syarikat Islam, HOS Cokroaminoto. Bung Karno juga rajin shilaturahim ke para ulama. Bahkan bukan hanya ulama’ dari negeri Indonesia saja, Bung Karno dekat dengan presiden Mesir, Gamal Abdul Naser dan para ulama’ kharismatik di Al-Azhar Mesir.
Bung Hatta juga memiliki basic yang sama, bahkan keislaman beliau sudah dimulai dari keluarganya. Ayah Bung Hatta merupakan mursyid, pimpinan dari Tarekat Naqsyabandiyah. Ayahnya Bung Hatta adalah seorang Kyai di Batu Sangkar. Artinya kedua proklamator negara ini memiliki sejarah islami yang kuat di kehidupannya. Walaupun bangsa ini berasaskan bukan Islam, tapi banyak nilai-nilai islami yang terkandung, bukan hanya di dalam Pancasila sendiri, tapi juga para pembawanya yang memperjuangkan. Negara ini didirikan oleh orang-orang yang memiliki jaringan keagamaan yang kuat.
Setelah menjelaskan tentang peran santri dalam pendirian bangsa Indonesia, Bapak Yudi Latif melanjutkan paparannya tentang Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan banyak sekali bahasa, adat istiadat, perbedaan-perbedaan di dalamnya. Satu-satunya negara di dunia dengan pulau terbanyak dan bisa disatukan dalam satu negara.
Beliau mengulangi pesannya di awal tadi, bahwa santri haruslah bisa berperan di negara yang besar layaknya seperti garam di lautan. Eksistensinya bisa jadi tidak terlihat, tetapi hasil dari peran yang dilakukan, bisa dirasakan oleh masyarakat. Besarnya bangsa ini tentu memerlukan banyaknya peran rakyat yang ada di dalamnya, termasuk jaringan santri nusantara.
Pak Yudi Latif pada saat menjelaskan, tidak hanya duduk di atas panggung saja. Beliau turun ke bawah, menyapa secara langsung para peserta. Bahkan, beliau meminta untuk disediakan spidol dan kertas besar pengganti papan tulis yang digunakan untuk menulis keterangan yang beliau utarakan. Kebetulan sekali, pada sesi ini, kelompok saya di Sultan Agung mendapatkan giliran untuk duduk di belakang lagi, sehingga saya tidak bisa melihat keterangan apa yang sedang dituliskan oleh Pak Yudi, kami hanya bisa memahami penjelaskan beliau dari mendengarkannya.
Usai presentasi panjang lebar, beliau membuka sesi pertanyaan. Penanya pertama adalah Pak Hapipi, beliau seorang dosen di NTB dan akan melanjutkan S3 di UGM. Pertanyaannya adalah bagaimana eksistensi Pancasila di masa depan? Bagaimanapun Pancasila adalah kesepakatan bersama yang dibuat para pendiri bangsa ini. Dengan Pancasila, perbedaan yang luar biasa yang ada di dalam diri bangsa Indonesia bisa disatukan. Namun, sampai kapan kira-kira Pancasila ini akan bertahan?.
Bapak Yudi Latif langsung menjawab pertanyaan dari Pak Hapipi ini dengan sebuah teori, karena pertanyaannya adalah juga berdasar teori dan belum terjadi. Bahwa, sebuah nilai-nilai dasar dan mengandung kebaikan, menurut pengalaman selama ini, akan bertahan melawan waktu. Pancasila berisi nilai-nilai dasar kebaikan. Dia akan bertahan melawan waktu hingga massa yang tidak bisa ditentukan. Kebaikan selalu akan bertahan. Itulah jawaban beliau yang saya fahami.
Kyai Syaviq Muqofi yang akan melanjutkan S3 di UIN Yogyakarta lalu bertanya, bagaimanakah cara menanamkan Pancasila bagi mereka yang anti Pancasila? Sebagaimana kita ketahui, Indonesia yang majemuk ini, tidak semuanya mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Ada golongan yang menganggap bahwa Pancasila adalah ciptaan manusia, sehingga tidak perlu untuk ditaati, yang perlu ditaati itu adalah syari’at Islam, misalnya, yang merupakan ciptaan Tuhan.
“Ciptakan dialog. Jangan pernah menyerah untuk memahamkan mereka”, itulah jawaban dari Bapak Yudi Latif. Dengan cara dialoglah, kesamaan akan didapatkan. Tidak dengan cara kekerasan fisik. Kekerasan justru akan memperdalam perbedaan dan justru melahirkan permusuhan baru. Musyawarah, dialog adalah jalan terbaik untuk menanamkan Pancasila kepada orang yang belum mengerti tentang makna dan arti dari Pancasila.
Saya jadi teringat dengan pesan Maulana Habib Lutfi bin Yahya, agar kita senantiasa untuk mencintai bangsa ini. Bukan hanya mencintai ideologi bangsa, Pancasila saja. Tapi mencintai keseluruhan dari bangsa ini, baik dan buruknya. Beliau mengibaratkan bangsa ini seperti layaknya seorang istri. Ketika pertama kali menikah, cinta itu masih kuat sekali, karena istri masih cantik, masih muda dan seksi.
Seiring berjalannya waktu, akan memasuki masa tua, disitulah kesetiaan diuji, apakah tetap akan cinta dan setia. Begitu juga dengan bangsa, dulu sebelum eksploitasi bangsa ini dilakukan, Indonesia adalah ijo royo-royo, bangsa ini adalah cuilan dari surga. Namun, sekarang ini, banyak sekali wilayah-wilayah yang sudah rusak akibat kesalahan tangan manusianya. Namun, apakah kita tetap bisa mencintai bangsa ini dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki?!.
Menjaga kehormatan bangsa juga hampir sama dengan menjaga kehormatan istri. Jangan sampai ada yang mengambil satu helai rambut pun darinya. Bangsa ini, satu jengkal tanah saja, bahkan rumput yang sudah mengering, tidak boleh diambil untuk bangsa yang lain. Karena kedaulatan sebuah negara adalah nomor satu. Hubbul Wathon minal Iman. Seperti yang digaungkan oleh KH. Hasyim Asy’ari agar rakyat Indonesia mencintai bangsanya.
Siang hingga sore ini, Bapak Yudi Latif mengajarkan kepada kami semua para santri untuk tidak lupa terhadap bangsa ini. Siapa lagi yang akan berjuang untuk mencintai bangsa yang besar ini kalau bukan rakyatnya, kami semuanya. Jangan sampai kita baru sadar untuk mencintai bangsa ini setelah kehilangan. Sampai kapanpun, dalam kondisi apapun, kami mesti cinta bangsa ini. Kami dilahirkan di tanah ini, kami makan dari rezeki tanah ini, kami minum dari airnya bangsa ini, kami dibesarkan di tanah ini. Apakah kami akan ‘meludahi’ makanan kami sendiri?!.
Terimakasih Bapak Yudi Latif, terimakasih LPDP. Terimakasih Indonesia. Aku selalu mencintaimu Indonesia. Sampai kapanpun!
Yudi Latif meninggalkan jabatan Ketua BPIP suatu perjuangan bathin melawan lingkungan nan berdebu syahwat dunia. Salute