Abraham Raubun, B.Sc,S.Ikom
Seusai magrib beberapa teman mengajak jalan-jalan menelusur tepi pantai Losari-Kota Makassar. Sepanjang jl. Penghibur itu sudah ramai oleh pedagang makanan dan minuman. Pengunjungpun mulai padat berdatangan.
Ketika melangkahkan kaki sepanjang pantai itu, pikiran saya menerawang kembali ke masa lalu sekitar tahun 1955, ketika pertama kali sampai di kota Makassar. Kami sekeluarga mengikuti ayah yang seorang anggota TNI-AD dipindah tugaskan dari Bali kesana.
Sambil menunggu penempatan di asrama, untuk sementara kami ditampung di benteng Fort Rotterdam yang terletak di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar. Benteng ini merupakan peninggalan sejarah dari Kerajaan Gowa-Tallo. Dibangun oleh Raja Gowa ke 10 yang digelari Karaeng Tunipalangga Ulawaeng sekitar tahun 1545.
Kala itu pantai Losari tentu penataannya tidak seindah dan seramai sekarang. Soal pedagang memang sudah banyak. Tetapi ketika terang bulan didominasi oleh pedagang martabak manis. Karena itu disebut kue terang bulan. Nama ini nampaknya sekarang tidak dikenal lagi.
Bagi kami anak-anak panganan itu terasa nikmat, karena meskipun banyak dijual orang, jarang-jarang kami dibelikan. Ayah memang terkenal disiplin kalau soal jajanan dengan alasan menjaga kesehatan. Lebih baik makan kue yang dibuat ibu di rumah. Tapi diam-diam ibu sesekali membelikan juga.
Pisang Epe pun sudah dijual orang di Pantai Losari tapi tidak sebanyak sekarang. Konon baru sekitar tahun 70an mulai bermunculan para pedagang pisang Epe merebak di sepanjang pantai Losari ini. Rasanyapun beragam dengan selera moderen. Dulu campuran gulanya cuma durian jika sedang musim.
Kini pantai Losari dan pisang Epe tak dapat dipisahkan. Ingat Losari tentu ingat pisang Epe. Kata Epe dalam bahasa Makassar berarti jepit. Karena dijepit bentuknya jadi gepeng. Pisang kepok mengkal yang dijual dalam bentuk gepeng Dan dibakar ( panggang) denganĀ siranan gula merah Dan toping beragam ini sudah jadi ciri khas kuliner di pantai Losari mengalahkan kue terang bulan dari masa lalu.