KMAC-3 “Gimana, dok kondisi saya? Apa ada perubahan? Apa yang mesti saya lakukan?”, tanya Budi pada dokter yang merawatnya.
Dokter itu menghela nafas panjang beberapa saat lalu sambil memperlihatkan foto rontgen bagian kolonnya dia menjelaskan dengan sangat hati-hati. Pandangannya tajam menatap maink mata Budi, namun suaranya halus terdengar. Dia menenangkan pasien ketika menjelaskan dan harus membuat pasiennya mengerti dan memahami penyakit yang dideritanya, tanpa mengecilkan harapan untuk sembuh. Secara psikologis seorang dokter harus menyakinkan pada pasiennya bahwa selalu ada harapan sembuh, selalu ada mukjizat yang Allah berikan pada hambaNya.
“Pertumbuhan sel-sel kanker dalam tubuh Bapak sudah cukup jauh. Pertumbuhan ini bisa menyebar ke jaringan yang lain bahkan bisa ke organ yang ada di sekitarnya. Dengan kemoterapi saja kurang efektif karena sel kanker pada kolon anda ini termasuk yang pertumbuhannya cepat. Maka….jalan satu-satunya adalah dengan melakukan kolostomi pada anda. Memotong bagian kolon tersebut dan dibuatkan lubang untuk pembuangan feses di perut “
“Apakah nanti ada harapan sembuh dok.”
“Tentu. Sebagian besar orang akan hidup secara normal dengan kantong kolostom. Mereka bisa menjalani kehidupannya dan kemungkinan untuk sembuh tetap ada, tetap melakukan kemoterapi. Walau pada awal-awal pemakaian perlu adaptasi dan tubuh yang baik akan merespon keadaan ini tidak terlalu lama. tergantung sikap anda dan yang penting dukungan keluarga sangat membantu proses penyesuaian dan kesembuhan anda.”
“Kemungkinan terburuk apa dok, seandainya tidak dilakukan kolostomi.”
“Seperti yang saya katakan tadi, bahwa kolostomi ini bertujuan agar feses ataupun gas buangan hasil sisa pencernaan dapat dibuang melalui lubang kolostum yang dibuat dengan menarik rectum keluar dan dibuatkan lubang permanen keluar dari perut. Kolostum ini bertujuan agar feses tidak menuju ke anus. Karena beberapa senti diatas anus, di situlah pusat kankernya. Bila feses tetap keluar lewat anus, sementara feses adalah sisa-sisa atau kotoran yang harus keluar dari tubuh akan bergesekan dengan sel-sel kanker tadi, tentu akan memacu perdarahan dan juga sel-sel akan cepat berkembang.”
“Apakah ada efek samping dari tindakan kolostomi ini, dok?”
“Secara umum, hal yang dialami pasca operasi kolostomi adalah rasa sakit di sekitar stoma (lubang) yang dibuat itu. Kadang-kadang disertai mual dan muntah. Pasien pelu penyesuaian tubuh terhadap stomanya dan perlu belajar memasang dan melepas kantung kolostum saat feses penuh atau kantungnya membesar berisi gas buangan. Jangan sampai dibiarkan penuh feses, karena bisa meledak.”
“Baik dok terima kasih penjelasannya. Akan saya bicarakan dulu dengan keluarga.”
“Sama-sama, Pak Budi. Silakan dibicarakan dengan keluarga. Bagaimanapun keputusan ada di tangan Anda. Kami hanya memberi saran yang terbaik untuk anda.“
“Permisi. Sekali lagi terima kasih banyak penjelasnnya.”
Keduanya lalu berjabat tangan. Budi meninggalkan ruang praktek dokter Uut, dokter muda spesialis kemoterapi di RS Karyadi Semarang. Dia merasa nyaman bisa konsultasi ataupun curhat dengan dokter itu. Selain ramah, dokter Uut, sapaan dokter yang memiliki nama lengkap Selamet Utomo itu dikenal sebagai dokter yang memiliki jam terbang tinggi, menangani banyak kasus kanker yang pasiennya menjalani kemoterapi.
Budi melangkah keluar dari ruangan Dokter Uut. Fikirannya terus berputar setelah mendengar penjelasan Dokter Uut. Memakai kantong kolostom? Membuang kototran lewat perut? Tak pernah terbayangkan dia akan mengalaminya. Tapi kepututsan harus dia ambil untuk mencegah pertumbuhan kanker lebih mengganas. Demi kesembuhannya dia harus berjuang, dia harus berusaha, apapun yang disarankan untuknya, tentu itu yang terbaik demi kesembuhannya. Tapi, memakai kantong kolostom tentu ada sisi baik buruknya. Apakah Evi istrinya mau menerimanya?
bersambung …